Noel yang masih duduk di sofa ruang tengah di rumah Kanaya hanya bisa diam sambil menunduk. Entah bagaimana tapi, perasaannya mengatakan kalau dirinya sedang diawasi penuh oleh seseorang di luar sana menggunakan cctv yang berada di kitchen set. Sebuah cctv kecil yang bahkan jika dirinya mencoba melihat ke arah kitchen set itu pun, tidak akan terlalu kentara bahwa di sana terpasang sebuah cctv. Benda itu sangat kecil, berwarna putih tanpa lensa kaca yang seperti kamera pada umumnya. Benda itu terlihat berbeda dengan cctv, seukuran lubang stop kontak yang umumnya ada di rumah-rumah tapi memiliki lampu berwarna hijau seperti titik pada lubang jarum yang berkedip setiap lima menit sekali. Harus dia akui, perusahaan mana pun yang bisa membuat benda itu benar-benar luar biasa sampai bisa mengecoh pandangan siapa pun.
Meski pun Kanaya mengatakan kalau di rumah ini dipasang banyak cctv seperti itu tapi, dengan bentuk dan model yan demikian, mungkin akan sulit untuknya menemukan cctv satu dengan cctv lainnya. Hanya saja, untuk apa seorang mantan reporter memasang begitu banyak cctv seperti ini? Melindungi diri? Rasanya tidak perlu, mengingat karir seorang Kanaya Daniza sudah hancur sejak dia secara nekat meliput tentang kasus korupsi seorang anggota pemerintah kemudian kasus itu tidak terbukti sama sekali hingga membuat karirnya runtuh dalam sekejap.
Noel bukan tidak tahu siapa itu Kanaya Daniza. Dia sempat beberapa kali bertemu dengan mantan reporter itu dalam kasus-kasus luar biasa yang bahkan media lainnya sedikit kesulitan mendapat akses untuk masuk ke dalam area TKP tapi dia bisa dengan mudah melakukannya. Pertemuan demi pertemuan membuat Noel tahu bahwa Kanaya adalah orang yang cukup berpengalaman dalam meliput berita, terlebih dengan jam terbang dan koneksinya yang bisa dibilang luas. Namun, dengan koneksi dan jaringan yang tidak bisa dianggap remeh demikian, rasanya sedikit aneh ketika dirinya melihat bahwa Kanaya malah berakhir mencari uang dengan bekerja paruh waktu di sebuah pom pengisian bensin.
Noel tidak tahu kalau rumah yang dia masuki ini adalah rumah Kanaya. Satu sisi dia merasa kalau dirinya sangat beruntung tapi di sisi lain, dia juga merasa curiga kalau dirinya terancam karena mengingat Kanaya adalah salah satu reporter yang cukup dekat dengan kepolisian. Bukannya tidak mungkin kalau suatu saat nanti Kanaya akan melaporkannya pada polisi.
Dengan semua pikiran itu, Noel hanya bisa mendengkus dan mengusap wajahnya kasar. Dia memang harus kabur dari tempat itu sebelum Kanaya benar-benar melaporkan keberadaannya tapi dia juga tidak tahu harus pergi ke mana lagi setelah tahu bahwa saat ini seluruh negara sedang mencarinya.
Di tengah kebingungannya, Noel kembali melihat lencana kepolisian yang dia miliki, satu-satunya identitas yang masih menegaskan padanya bahwa dia bukanlah orang yang bisa dengan mudah melenyapkan nyawa seseorang hanya untuk kesenangan semata terlebih tidak ada dendam pribadi sebelumnya. Karena walau pun dia memiliki dendam pribadi pada atasannya, maka tidak perlu dia melampiaskan rasa kesal itu dengan menghabisi anak dan istri orang itu. Cukup menarik pelatuk revolver miliknya saja tepat di jidat atasannya saja sudah lebih dari cukup untuk memberi pelajaran pada dunia tidak perlu hal konyol dengan datang ke rumah orang lain lalu menghabisi anak dan istri orang lain, bahkan sekarang Noel pun tidak tahu bagaimana keadaan anak atasannya itu karena dari terakhir kali dia melihat ketika insiden itu, bocah perempuan berusia tujuh tahunan itu sudah berada diambang Kematian. Entah masih hidup atau sudah mati, Noel tidak tahu.
Ketika sedang melamun, tiba-tiba Noel kembali mendengar pintu rumah Kanaya yang dibuka. Buru-buru pria ini meraih semua barang-barang miliknya dan berlari ke arah kamar mandi yang berada tak jauh dari dapur, sebuah kamar mandi yang hanya berisi kloset juga wastafel dengan sebuah kaca tanpa shower atau pun bath tub. Sambil waspada dengan revolver di tangannya, Noel mendekatkan daun telinganya pada pintu, berjaga sambil berharap kalau orang itu tidak masuk lebih dalam atau menyadari keberadaannya di dalam sana. Namun, ketika dirinya tengah waspada, samar Noel mendengar suara Kanaya memanggilnya.
"Hei, aku membawa makanan untukmu. Cepat keluar!" Perintah Kanaya dibarengi suara dentingan gelas yang dia dengar dari rak atas kitchen set di dapur.
Sadar kalau itu hanya suara Kanaya sendirian, Noel pun menurunkan kewaspadaannya dan mulai membuka pintu kamar mandi. Di sana dia melihat Kanaya sedang mengambil gelas dan piring juga sebotol air mineral berukuran besar dari dalam lemari es kemudian membawanya ke meja di mana Noel duduk sejak semalam.
"Aku membawa makanan. Kau lapar, bukan?" Ucap Kanaya sambil berjalan membawa semua han dia ambil dari dapur kemudian menaruhnya di meja juga menyingkirkan selimut dan bantal yang sudah dilipat oleh Noel sejak pagi ke sisi lain sofa sementara dirinya mulai membuka kotak-kotak makanan yang dia beli tadi sebelum pulang.
"Kau bilang kalau kau sessng bekerja, kenapa sudah ada di rumah?" Tanya Noel usai keluar dari kamar mandi
"Ini jam istirahatku." Jawab Kanaya sambil membuka sebuah bungkus karton berwarna cokelat berisi ayam goreng dengan beberapa cup saus juga dua pelastik berisi pasta dan bola-bola daging sebagai campurannya, ditambah dengan dua bungkus burger double cheese yang juga ada di sana. Dengan hati-hati agar tidak tumpah di meja, Kanaya memindahkan pasta dengan saus tomat pedas itu ke dalam piring. Melihat makanan yang cukup banyak di meja makan, Noel pun melirik Kanaya beberapa kali dengan semua makanan di atas meja tersebut.
"Kau punya uang untuk beli semua ini?" Tanya Noel sambil menunjuk makanan-makanan di atas meja.
"Kau pikir aku semiskin itu?"
"Kau hanya bekerja sebagai petugas SPBU paruh waktu, kenapa gaya hidupmu boros seperti ini hanya untuk makanan?" Ujar Noel, spontan saja Kanaya berbalik dan menatap Noel dengan sebelah alis naik cukup tinggi.
"Memangnya kalau aku hanya bekerja paruh waktu di SPBU, aku tidak boleh membeli makanan seperti ini? Memangnya kau pikir kalau aku selama ini makan hanya dengan kentang rebus dan air putih setelah aku dipecat dari pekerjaanku?!" Ujar Kanaya marah. Benar, wanita ini sangat geram dengan kalimat Noel yang jika dia mendengarnya dengan kepala dingin mungkin kalimat itu hanya terdengar seperti ocehan biasa. Namun, entah bagaimana Kanaya yang sekarang malah sangat marah hanya untuk kalimat yang memang benar kenyataannya, bahwa dia memang tidak punya cukup uang untuk membeli makanan sebanyak ini.
"Sudahlah, makan saja!" Kanaya memaksa agar Noel duduk dan makan semua makanan yang sudah dia beli. "Kalau tidak habis, kau bisa menghangatkannya dan memakan itu untuk makan malam."
"Apa? Kau minta aku makan makanan sisa?" Noel memprotes.
"Kenapa? Baru saja kau bertanya apakah aku punya uang atau tidak, jawabanku adalah, malam ini aku tidak akan membelikanmu makanan lagi jadi kalau makanan ini tidak habis sebaiknya kau simpan untuk kau makan lagi nanti malam."
"Tapi kau tidak bisa hanya memberikanku makanan sisa." Noel masih memprotes dan hal itu membuat nafsu makan Kanaya berubah buruk dalam sekejap.
Sambil menaruh garpunya dengan perasaan marah, Kanaya mendengkus sementara mulutnya penuh dengan makanan, dia melotot ke arah Noel yang masih beridiri di hadapannya dengan wajah menuntut jawaban. "Dengar ya, tuan muda! Kau tinggal di rumahku sekarang jadi ikuti saja persturanku dan makan apa pun yang ada di rumah ini. Ingat posisimu sekarang, kau hanya seorang buronan! Jabarsnmu dinkepolisan tidak berguna karena sekarang seluruh satuan polisi dari seluruh negeri sessng mencari untuk mengeksekusimu jadi jangan bertingkah dan lakukan saja apa yan kukatakan karena sekarang, hanya aku satu-satunya orang yang mau membantumu."
Usai mengatakan itu, Kanaya langsung berdiri dan berjalan kembali ke arah dapur untuk mengeluarkan sekaleng bir dari dalam lemari es, setelah itu dia kembali duduk dan makan. Diikuti oleh Noel yang memilih utik tidak lagi membahas tentang makanan. Malah, Noel mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan seluruh uang tunai yang dia miliki lalu memberikannya pada Kanaya.
"Apa itu?" Tanya Kanaya kebingungan dengan sejumlah uang yang disodorkan oleh Noel padanya.
"Gunakan yang itu untuk keperluanmu dan tolong belikan aku pakaian dalam, aku tidak mungkin memakai pakaian yang sama selama berhari-hari seperti ini."
Mendengarnya, sontak Kanaya tersedak dan nyaris menyemburkan makanan yang ada di dalam mulutnya tepat ke wajah Noel. Namun, Kanaya masih mencoba menahan diri mengontrol emosinya meski dia sendiri.merasa malu ketika Noel bicara soal pakaian dalam dengannya.
"A—apa katamu? Kenapa aku harus melakukannya?" Kanaya terdengar membentak Noel.
"Karena kau tidak punya pilihan."
"Mengancamku?"
"Aku hanya mencoba membantumu dengan beberapa puluh lembar uang seratus dolar milikku dan jika kau membantu membelikanku dua atau tiga potong pakaian dalam, kurasa sisanya cukup banyak untukmu sendiri."
"Kau sedang mencoba menyuapku sekarang?"
"Aku tidak sedang mencoba menyuapmu, aku hanya ingin meminta tolong dengan memberimu uang agar kau membelikanku makanan yang layak, tiga kali sehari dan beberapa obat-obatan yang kubutuhkan selama aku dalam masa pemulihan." Jelas Noel sambil menyodorkan kembali uang-uang itu pada Kanaya.
Sambil menggosok hidungnya, Kanaya berusaha untuk menimang Sekanak tawaran Noel. Meski harus dia akui, menghidupi dirinya dengan satu perut saja itu sudah sangat melelahkan ditambah sekarang dia harus mengisi perut satu orang lagi di rumah ini. Dengan gaji yang tidak seberapa dari pekerjaan paruh waktunya, Kanaya memang harus jujur kalau dia membutuhkan uang itu untuk setidaknya membeli makanan yang layak untuk Noel.
"Apa yang kau inginkan?"
"Bantuanmu."
"Keuntungannya untukku?"
"Pekerjaanmu."
"Aku hanya bekerja di SPBU itu pun paruh waktu pekerjaan macam apa lagi yang kau bicarakan?"
"Kanaya Daniza, serosg reporter yan diberhentikan karena dituduh memberitakan berita palsu tentang salah seorang menteri yang tidak terbukti korup. Bahkan, lembaga anti korupsi negara pun tidak menemukan satu pun bukti otentik untuk menyalahgunakan dana pemerintah untuk kepentingan rakyat. Tapi—"
"Aku yakin kalau pria itu melakukan kejahatan yang seharusnya dihukum setimpal tapi, aku malah dipecat dan dipermalukan." Kanaya memotong kalimat Noel. "Tapi tunggu! Bagaimana kau tahu?!"
"Semua orang di kepolisian sudah tahu masalah ini, juga tentang kau yang menjalin hubungan dengan yuniorku, Sean Adelard."
"K—kau kenal dengan si bodoh itu?!"
"Dia yuniorku ketika pertama kali lulus dari akademi, dia langsung diperintahkan untuk ikut denganku jadi aku sering membawanya kemana-mana dan aku juga tahu kalau sebentar lagi kalian akan menikah."
"Omong kosong." Ujar Kanaya dengan suara yang terdengar mendesis. Mendengar suara Kanaya yang seperti seekor ular itu Kanaya melanjutkan suaranya, "kami sudah tidak ada hubungan lagi sejak dua bulan lalu dan karena kau seniornya di pekerjaan jadi, aku pikir kau tahu kenapa aku bisa menghentikan hubunganku dengan Sean."
Noel terdiam melihat Kanaya yang mengayakan hal demikian sementara tangannya kembali meraih piring berisi spaghetti dengan bola-bola daging berukuran cukup besar di piring miliknya, kemudian dengan sangat lahap Kanaya menyuap makanan-makanan itu terlihat seperti sangat nikmat meski Noel bisa melihat bagaimana kesalnya wanita itu sekarang.
"Baik, aku tidak akan membahas tentang Sean Adelard lagi. Sebagai gantinya, belikan aku semua yang kutulis di daftar belanjaan yang harus mau beli, setelah itu aku akan mengatakan apa yang harus kau kerjakan selanjutnya."
"Ha?!"