Menghibur Katherine

960 Words
“Beruntung, kau tidak menyiramkan air bekas pel an itu ke kepala pria sombong itu. Jika iya, entah bagaimana nasibmu ke depannya?” sungut Risa dengan wajah memelas. Kathe terkekeh pelan. “Lah, aku malah sedang memikirkannya.” “Bar-bar!” “Biarin! Sekalian, mau aku pukul kepalanya pakai gagang pel an resto yang berat dan sudah sedikit berkarat itu, biar kadar songongnya sedikit menurun.” Risa terkikik geli mendengar perkataan Katherine."Astatang bin hayati. Lihat, aku punya induk beruang di sini ..." Kathe memukul jidat Risa yang mulai kumat mengeluarkan bahasa alay dari otaknya yang sering rusuh. "Hush! Aku tidak segalak itu Risa!" sungutnya. “Astogeh, sapa tau, yey, kesurupan setan khilap, terus jatuh cintrong sama itu pria Hot jelelot.” “Risa ... Kumat ya?” Kedua wanita itu tertawa bersama di tengah pekatnya malam, dan sunyinya jalanan yang mereka lewati setiap pulang dari bekerja. Tidak menghiraukan dingin dan lelahnya tubuh mereka setelah berusaha mencari pekerjaan seharian, ke dua sahabat itu selalu apa adanya. "Terima kasih banyak, kau sahabat terbaikku," ucap Risa memeluk Kathe erat. "Kau pun juga, Risa," Jawab Kathe dengan lembutnya. "Oiya, kenapa malam-malam begini, kau masih belum pulang?” Tanya risa setelah melepaskan pelukannya. Kathe meremas sudut kemejanya, malu mengatakan keadaan sebenarnya pada risa. "Ayolah Kathe ... aku sahabatmu. Jangan selalu simpan masalahmu itu sendirian. Setidaknya, sedikit saja terbukalah padaku Kathe. Lagi pula, aku merasa berhutang padamu. Kau sudah menolongku dari singa jantan itu," ucap Risa—memaksa. "Sudah kubilang, itu kewajiban Risa ..." Risa mengangkat kedua tangannya, dan memasang tampang menyesal. " Baiklah ... baik. Maafkan aku. Tapi, sedikit saja. Jujurlah padaku Kathe ...." Kathe menghela nafasnya lemah. Risa sangat keras kepala. Dia tidak akan berhenti bertanya sebelum mendapatkan jawabannya. Satu-satunya kunci agar perdebatan itu berhenti adalah memberikan Risa Jawaban. "Aku sedang mencari pekerjaan Ris, tapi tak satu pun ada tempat yang mau menerimaku. Aku bingung. Semua tempat yang ada di daerah ini, tak ada yang mau memberiku pekerjaan. Sekalipun hanya sebagai pelayan. Aneh bukan?" tanyanya. Risa mangut-mangut. Memang aneh sih. Untuk mencari pekerjaan standard sebagai pelayan, tentu tidak akan sesulit itu. Apalagi, kota mereka besar dan maju. "Memang terdengar aneh Kathe," jawabnya sarkatis. "lalu bagaimana?" Kathe menundukkan kepalanya. Menyembunyikan wajahnya yang mulai dialiri oleh cairan bening yang berjatuhan dari manik mata sendunya. "Malam ini, aku tidak bisa memberikan uang untuk ayah. Aku takut untuk pulang. Ayah pasti akan memukuliku lagi. Hiks .. Hiks ...." Risa menarik Kathe dalam pelukannya. Memberikan rasa nyaman dan aman yang saat ini, memang sangat dibutuhkan oleh sahabatnya itu. “Kenapa tidak kau tinggalkan saja si b******k itu Kathe?!" ucap Risa—berang. Memang selama ini, Risa tidak pernah menyaring panggilannya jika itu bersangkutan dengan ayah Kathe. Sekalipun sangat tidak sopan untuk orang tua. Tapi baginya, ayah Kathe tidak pantas untuk dihormati sebagai orang tua. "Malam ini, tidurlah di rumahku. Lagi pula rumahku sedang sepi." "Tapi Ris,” sanggahnya sambil mengusap air matanya. "Tidak ada tapi-tapian. Pilih menginap di rumahku, atau aku yang akan menginap di rumahmu. Dan jangan salahkan aku, jika aku terlibat perang dengan si b******k itu jika berani macam-macam denganmu!" ancamnya. Kathe pun mengangguk. kembali dia harus mengalah dan mengiyakan permintaan Risa. Atau sahabatnya itu, akan benar-benar memerangi ayahnya dan membuat rumahnya terjadi kegaduhan. " Baiklah, aku mengalah ...." Risa tertawa pelan. Dia pun. menarik tangan Kathe dengan semangat. "Cemong ho...ney...” “Risa ....” “Eh salah ya? Maaf deh. Kebanyakan nonton pilm cabe-cabean, kebanyakan halu juga.” Kathe hanya tersenyum tipis. Beginilah Risa. Sahabatnya yang baik, apa adanya dan sering ngawur. Jika sudah dekat Risa, semua penatnya menghilang begitu saja. “Btw, on the busway. Besok, aku akan membantumu mendapat pekerjaan baru. Okay beb?" Kathe menatap risa dalam. Betapa beruntungnya dia. Di saat tidak ada satu pun yang berpihak padanya. Dia punya Risa yang selalu menghiburnya. Tidak seperti persahabatan di luar sana, yang kadang menusuk sahabatnya dari belakang atau bersembunyi di balik selimut kemudian menikam. "Terima kasih, hanya kau satu-satunya yang aku punya Ris. Hiks.. Hiks .... " ucap Kathe kembali terisak. Risa memutar bola matanya—jengah "Aduh ... Mewek lagi, mewek lagi. Apalah gunanya, aku jadi marsupilami jika ujung-ujungnya mukamu tetap jelek begini. Nanti, mana ada CEO yang mau coba? Ya Tuhan, berikan hamba kesabaran,” ucap Risa dengan wajah sok tertindas. Kathe hanya mendengus mendengar ucapan Risa. "Hus! Mimpinya jangan ketinggian bet, ntar gak kesampaian, jatuhnya sakit, nggak bisa bangkit!” “Lupa ya? Takdir siapa yang bisa menerka coba? Jalan hidup kamu itu kan masih panjang. Entah kejutan apa yang Tuhan sudah persiapkan untuk kamu nantinya.” Kathe mencubit pipi Risa gemas. “Uluh-uluh, sahabatku yang keseringan bar-bar, terus nge halu nikah sama Chriss Hemsworth mendadak bijak sekarang.” Risa melototkan matanya yang sipit. Keseringan Kathe bilang, jarang cuci muka jadi ke tutupan belek. “Cekek nih?” ancam Risa sambil membuat mimik wajah drakula. “Jangan dong, aku masih mau nikah terus hamil anaknya Chriss Evans! Kebayang, anak kita nantinya pada unyu-unyu, nggak jauh-jauh sama bapaknya.” “Kalau anakku sama Chriss Hemsworth, bakalan cute-cute sangar. Secara, kloningan Thor gitu,” balas Risa tak mau kalah. “Ish, lebih keren kapten amerika ke mana-mana tauk. Wajah pengin di tatap gitu muluuu ...” “Aduh ... Gusti,” ucap mereka bersamaan kemudian tertawa terbahak-bahak. Istilah baru itu, Risa dapatkan saat menonton salah satu blog kuliner dari salah satu negara di Asia. Akhirnya, mereka kembali ke peradaban mereka. Dunia halu, yang membuat mereka melupakan sejenak kesedihan, lelahnya berjuang, atau pun rasa sakit yang pernah mendera. Itulah hidup, ada saatnya kau berjuang untuk keadaan, ada saatnya juga kau menghibur diri. Kedua wanita itu pun melangkah beriringan, tanpa tau, seseorang berpakaian serba hitam, mengawasi gerak-gerik mereka sejak tadi. "Gadis malang ...” lirih pria itu sambil mengekori langkah mereka dari balik mobil hitamnya yang mengkilap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD