Sia-sia

1215 Words
"Maaf Nona, tidak ada lowongan pekerjaan di sini.” "Sudah penuh, silakan cari di tempat lain.” "Cari di tempat lain saja, di sini sudah banyak yang bekerja.” "Kosong:” "Tidak menerima pekerja baru ....” "Maaf, tidak ada.” "Huft .... " Katherine menghela nafas lelah. Sudah sekitar 15 tempat yang dia datangi untuk melamar pekerjaan. Mulai dari restoran besar sampai rumah makan biasa, sekolah-sekolah, bahkan sampai ke instansi penyapu jalanan. Tapi semuanya nihil. Tidak ada satu pun yang mau menerimanya, sedangkan tempat yang di mintainya pekerjaan hanya sebatas pelayan atau OG saja. Tapi, sesulit itukah untuk mencari pekerjaan di level rendah itu? Kenapa hari ini terasa sangat aneh? Tidak ada satu pun tempat di kota ini yang mau menerimaku? Ahh-- harus ke mana lagi aku mencari pekerjaan baru? Kathe menundukkan kepalanya. Menyembunyikan wajahnya di antara lekuk lengan yang bertumpu pada lututnya. Sesekali hembusan angin malam menerpa, menembus kulit putih pucatnya dan melambaikan anak rambutnya yang menutupi telinga. Malam terasa sangat dingin dan sunyi. Tapi, Kathe tidak bergeming sedikit pun dari tempatnya duduk menyendiri. Dia memilih menikmati sentuhan angin malam walaupun dingin menembus kulitnya, dari pada gegabah pulang merumahnya dan mendapat luka baru lagi. Bingung? Mungkin lebih dari sekedar itu. pikirannya kacau. Semua usaha dan pencapaian yang ingin di wujudkannya menemui jalan buntu. Jika dia tidak mendapat pekerjaan baru hari ini, bagaimana dia akan memberikan uang pada ayahnya seperti yang dia janjikan tadi malam? Sepertinya, Kathe harus siap mendapat memar, atau luka baru lagi. Tapi, bukan itu yang Kathe takutkan. Dia takut, ayahnya benar-benar gelap mata dan membuktikan ucapannya. Kathe takut, ayahnya akan menjual dirinya ke tempat pelacuran. Tidak! Kathe tidak mau terjerumus ke dalam kubangan hitam itu walaupun hidupnya sangat sulit dan menderita. Lebih baik, dia mati kelaparan, atau mati di pukuli ayahnya, dari pada harga dirinya harus diperjual belikan. Kathe mengambil dompet di dalam tas kusamnya. Membukanya penuh semangat berharap masih memiliki sisa asa di sana. Tapi, begitu melihat isinya. Kembali dia harus menghela nafasnya pasrah. Sisa uangnya tak akan cukup untuk diberikan pada ayahnya. Ahh--lebih tepatnya, setoran rutinnya. Karena Kathe tak ubahnya orang lemah yang di jarah preman setiap malam. Kathe berpikir ulang. Jika dia merelakan lembaran-lembaran terakhir di dalam dompetnya itu diberikan kepada ayahnya, bagaimana dia akan makan untuk 2-3 hari ke depan? Sedangkan belum 1 pun pekerjaan yang dia dapat sebagai penyambung hidup untuk hari-hari berikutnya. Lelah? Semua kerumitan ini, memang sangat melelahkan untuknya. Mungkin lebih terasa seperti mencekiknya erat, menyiksa batinnya kemudian membunuhnya secara perlahan. Badai penderitaan tiada henti menimpanya. Bukan hanya aspek materi, bahkan psikisnya terkikis di setiap harinya. Bolehkah dia menyerah? Sungguh, Kathe merasa, kehidupannya sangatlah tidak adil. Selama hidup, belum pernah dia merasakan apa itu bahagia? Dan apa itu disayangi? Rasa yang bahkan orang lain rasakan setiap harinya, justru hanya bisa dia mimpian selama ini. Kenapa Tuhan, membuat jalan hidupnya seperti ini? Dia tidak akan selamanya kuat dan bertahan. Ada kalanya, dia akan menyerah dalam hidup dan mungkin, kematian adalah satu-satunya jalan terbaik. Kathe menggeleng kuat. Menepuk-nepuk pipinya beberapa kali. Mengenyahkan pikiran-pikiran pesimis yang mulai memprovokasi otaknya. Tidak, aku tidak boleh lemah. Aku bukanlah wanita lemah yang akan mudah menyerah hanya karna masalah sepele ini saja. Sudah begitu banyak, masalah yang aku hadapi selama ini. Aku kuat, dan apa pun keadaannya, sesulit apa pun itu, aku yakin, tuhan ada bersamaku dan membantuku untuk melewatinya. Yakinnya. Kathe mendongak dengan penuh semangat. Sebuah senyuman terbit di bibir merah muda miliknya. Jika Tuhan, menguji hidupnya seperti ini, berarti Tuhan menciptakannya berbeda dari perempuan lain. Tuhan tau, jika dia bisa melewati semua badai ini. Artinya, dia mampu dan memiliki hati yang besar. Tapi, seketika senyuman itu kembali pudar saat mengingat yang menjadi titik permasalahan nya saat ini. Bagaimana dia akan pulang dengan tangan kosong? Ayahnya tidak pernah menerima alasan. Apa pun itu. Dan sudah pasti. Malam ini, ayahnya akan kembali mengamuk dan membuat tubuhnya menjadi bulan-bulanan kekejamannya. Ya Tuhan ... Bagaimana ini? "Kathe!" Panggilan seseorang membuat kepalanya menengok ke arah asal suara itu berasal. Ternyata Risa. Sahabatnya itu sedang berjalan tergopoh menghampirinya. "Ehh ... Risa!” pekik Kathe sambil melambaikan tangannya. Dia pun berdiri menyambut kedatangan Risa. Risa menatap Kathe. Penampilannya sedikit lusuh, dan jelas terlihat raut wajah lelah di wajah sahabatnya itu. Sangat kentara dengan sosok Kathe yang biasanya ceria dan penuh semangat. Hari Juga sudah malam. Tapi, kenapa? Kathe masih belum pulang dan malah dudu menyendiri di jalanan? Pikir Risa. "Kenapa malam-malam begini, kau masih belum pulang Kathe?” tanya Risa memasang tampang curiga. Kathe bukanlah wanita yang suka keluyuran malam-malam. Dia tahu betul, bagaimana perangai sahabatnya itu. Kathe tersenyum kikuk. “Tidak ada Risa. Emm—ini pun aku sudah akan pulang kok, " jawabnya dengan tenang. Risa menyipitkan matanya. Ada hal mencurigakan yang terjadi pada sahabatnya itu, dan dia tahu harus mengorek informasi itu, se detail mungkin. "Kathe, maafkan aku. Karena aku, kau kehilangan pekerjaan itu,” ucapnya sambil menunduk--menyesal. Sebenarnya, Risa juga kehilangan pekerjaannya, karena restoran tempatnya bekerja, sudah benar-benar dirobohkan hari ini. Entah nasib sial apa, bisa-bisanya Risa dan Kathe bisa bertemu dengan pelanggan sombong itu. Kathe menggeleng kuat. Tangannya terangkat mengusap bahu Risa lembut. "Tidak masalah Risa. Aku hanya tidak terima, melihat orang lain di perlakukan tidak adil. Apalagi kau sahabatku. Orang yang paling dekat denganku.” Risa menatap Kathe dengan berkaca-kaca. Dirinya mungkin sama seperti Kathe. Terlahir dari golongan orang tak punya, hidup sederhana, dan harus bekerja keras untuk bisa menyambung hidup di setiap harinya. Tapi, dia jauh lebih beruntung. Karena, di tengah peliknya hidup, Risa masih punya seorang ibu yang menyayanginya. Sedangkan Kathe? Kathe malah mendapatkan penyiksaan dari ayahnya, dan itu setiap hari tanpa jeda. “Kau perempuan ter hebat yang pernah aku temui,” ucap Risa, kemudian memeluk sahabatnya itu dengan erat. “berjanjilah, untuk selalu bertahan, apa pun yang terjadi nanti,” lanjutnya membuat Kathe mengangguk di balik punggung Risa, dengan mata yang berkaca-kaca pula. Inilah yang membuatnya lemah. Kasih sayang Risa, sudah seperti membuat Katherine merasa memiliki saudara. Risa melepaskan pelukannya. Mereka sama-sama melempar senyuman lebar. Saling menyemangati satu sama lainnya. “Ehh—btw on the busway. Apa kau tau siapa pria itu?” tanya Risa, dan Kathe mengangguk sambil menahan senyuman. Logat Risa yang sering jenaka dan entah bahasa dari mana, selalu berhasil menghiburnya. “ternyata, dia pria yang—“ Risa mengetuk pelipisnya. Mencoba menemukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan sosok pria yang hari ini, merobohkan restoran tempatnya bekerja. “Berbahaya!” sambung Risa setelah menjeda ucapannya untuk menemukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan sosok sang penguasa yang ditakuti dan sialnya terlibat percekcokan dengan sahabatnya itu karena dirinya. Katherine tergelak. Dia ingat jelas, bagaimana raut wajah pria sombong itu yang mendadak kesal dan marah tanpa bisa berbuat sesuatu padanya untuk membalas perkataannya yang sukses membuat pria itu bungkam seribu bahasa. "Ya, aku tau, dan Aku tidak takut, Risa,” jawabnya mantap. "sekalipun pria kemarin adalah sang pemegang thrones tertinggi, di kota ini. Dia harus diberi sedikit pelajaran agar tidak semena-mena pada orang-orang yang lebih rendah darinya. Seharusnya, dia melindungi kaumnya yang lemah. Bukan bersikap murahan, dengan menyombongkan diri karena tahtanya itu." Sambung Kathe dengan wajah pias.  Andai saja dia punya kesempatan untuk memutar waktu, Katherine pasti akan menyiramkan air bekas pel an di dalam embernya ke wajah pria sombong itu. Coba saja kau bayangkan berada di posisi Kathe saat itu? Kira-kira, apa yang akan kau lakukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD