Penawaran

1195 Words
3 hari kemudian. Kathe tak juga mendapatkan pekerjaan. Hampir seluruh sudut di kota itu dia datangi. Mengharap, masih ada sedikit harapan untuk mendapatkan pekerjaan, agar dia bisa terus menyambung hidup. Kathe tidak punya tabungan lagi. Sedangkan, untuk biaya hidup selama 4 hari sebelumnya, dia sudah meminjam uang pada Risa—sahabatnya. Uangnya sudah tidak ada lagi. Dan untuk meminjam lagi, Kathe merasa enggan dan tak enak hati. Beruntung, kondisi ayahnya setelah tak sadarkan diri secara mendadak malam itu, membuat ayahnya lemah dan tak bisa bangun dari tempat tidurnya beberapa hari ini. Alhasil, bebannya sedikit berkurang, karena ayahnya tak lagi meminta uang untuk pergi berjudi dan mabuk-mabukan. Kathe meminum air putih yang tersisa sedikit dalam kemasan botol yang dipegangnya. Pikirannya benar-benar buntu. Dia sudah menyerah. Jungkir balik pun, dia tetap tidak akan mendapatkan pekerjaan di kotanya itu. Sepertinya, ucapan pria arogan tempo hari lalu, benar-benar terjadi. Pria itu sudah membuatnya menderita dengan menutup semua tempat untuk memberinya pekerjaan. Pria sialan! Arogan menyebalkan! Semoga pria itu, mendapatkan ganjaran atas kejahatannya padaku. Batin Kathe berteriak. Sungguh, untuk memberinya keadilan dengan melawan pria itu, sangat tidak mungkin. Bagaikan langit dan bumi. Wanita kelas miskin sepertinya, akan selalu disalahkan, atas semua yang terjadi. Lalu, apa lagi yang bisa dia lakukan selain pasrah dan menerima takdir? Menghela napasnya pelan, Kathe menjatuhkan botol minum yang dia minum tadi, kemudian menendangnya ke sembarang arah, dan Puk! Ternyata, tendangan Kathe yang asal-asalan, malah tepat mengenai sasaran. Dan sialnya, yang menjadi sasaran botol minuman bekasnya tadi, adalah kepala seorang manusia berjenis kelamin pria yang sedang bersandar ke badan mobilnya yang hitam mengkilat penuh kemewahan. “Ya Tuhan, sepertinya aku akan mendapatkan masalah lagi,” Kathe menghampiri pria itu. Kecerobohannya, sudah merugikan seseorang. Dia akan minta maaf atas kesalahannya. “Maaf, Tuan. Aku tidak sengaja, sungguh,” ucap Kathe setelah berada di dekat pria itu. Sungguh, dia merasa bersalah sekaligus ketakutan. Pria itu pun menoleh, dan alangkah terkejutnya Katherine begitu mendapati pria di depannya adalah, “Ka-kau!” pekik Kathe—kaget. Tak pernah Kathe duga sebelumnya, dia akan bertemu dengan pria berengsek yang sudah membuatnya kehilangan pekerjaan. Ya. Siapa lagi, jika bukan Maxime D’orion, The King Of London yang songongnya kebangetan. Maxime yang sedang menunggu Edlise membeli sesuatu di mini market, harus rela keluar dari mobil karena merasa bosan. Sampai beberapa detik kemudian, Maxime merasakan kepalanya di timpuk dengan botol minuman, dan pelakunya adalah, wanita lusuh yang sudah berani mempermalukannya di depan umum. Sialan! Wanita itu lagi? Batin Max. Dia tidak habis pikir. Kenapa wanita lusuh itu selalu membuatnya marah hanya dengan kekonyolannya atau sikap pembangkangnya yang menyebalkan? Kathe memutar tubuhnya dengan cepat. Jantungnya berdegup dua kali lebih kencang dari biasanya. Wajahnya terasa panas, tapi tubuhnya terasa dingin. Sepertinya, berada di dekat pria itu membuatnya kesurupan Setan gila. Tidak! Dia tidak mau lagi berurusan dengan pria menyeramkan itu. Sudah cukup, semua kesialan yang dia terima setelah berhadapan dengan pria itu beberapa hari yang lalu. Kabur. Yah, satu-satunya cara untuk bisa lepas dari pria itu adalah kabur. Kathe akan berlari sekencang mungkin agar pria itu tak bisa menangkapnya. Yang penting, dia sudah minta maaf untuk kesalahan kecilnya tadi. Maxime mengusap tatanan rambutnya yang sedikit berantakan karena ulah konyol wanita di depannya. Sialan memang! Wanita itu harus dia beri pelajaran. Max melangkah mendekat sampai-sampai dadanya menempel dengan punggung Kathe yang bergetar. Senang, melihat wanita pemberontak itu ketakutan sekarang. Dan hari ini, Max akan benar-benar membuat wanita itu menyesal. “Kau berani menantangku huh?!” lirih Max sambil menyentak kedua lengan kecil Kathe dengan telapak tangannya yang besar. “kenapa, kau senang sekali berurusan denganku? Kau tidak tau siapa aku?” lanjutnya membuat Kathe beberapa kali menelan salivanya yang terasa menyumbat tenggorokannya. Sungguh, Kathe benar-benar takut sekarang. Apalagi, jalanan itu sepi. Tak ada orang-orang yang berlalu lalang seperti biasanya. Dia harus minta tolong pada siapa? Atau adakah orang yang akan mau menolongnya? “Aku sudah minta maaf. Sekarang, lepaskan aku!” jawab Kathe sambil memberontak, mencoba melepaskan pegangan kuat tangan Max di lengannya yang mulai terasa nyeri. Maxime menyeringai kejam. Sebelah tangannya bergerak melingkar d**a Kathe, dan sebelah tangannya lagi, melingkari perut Kathe dengan erat. Sampai-sampai membuat pergerakan Kathe benar-benar terkunci sekarang. “Apa yang kau lakukan? Kau tidak sopan!” cecar Kathe. Dia tak menyangka, pria arogan itu akan bersikap se kurang ajar ini padanya. “Apa bedanya denganmu? Kau menimpuk kepalaku dengan botol minuman bekas! Apa perbuatanmu tadi, juga masuk dalam kategori sopan?!” “Aku tidak sengaja! Sedangkan, yang kaulakukan sekarang ini, sengaja! Jadi, kau tidak sopan!” “Cih, alasan!” Kathe menghela napasnya pelan. Tidak menyangka, pria yang tadinya dia kira bisu, ternyata banyak bicara dan membuat lawannya kalah berdebat. “Tuan?” Suara Edlise yang tiba-tiba terdengar di sana, membuat Max sontak melepaskan pelukannya tadi. Entahlah, tadi itu bukan sebuah pelukan. Dia hanya berusaha, membuat wanita itu tidak kabur. Itu saja. “Emm—dia sudah berani menimpuk kepalaku dengan botol itu. Aku mengikatnya dengan tanganku, agar dia tidak kabur!” Bolehkah Edlise tertawa sekarang? Dia memang sedikit terkejut, begitu melihat tuannya sedang memeluk seorang wanita, yang ternyata wanita itu adalah wanita yang selama ini tuannya incar. Tapi, penjelasan tuannya tadi, sungguh membuat perut Edlise seperti di gelitik. Demi apa, tuannya menyebut pelukannya tadi adalah sebuah ikatan? Ya Tuhan, sejak dahulu kala, yang namanya mengikat dengan tangan itu, ya namanya pelukan. Dan, apa katanya tadi? Wanita itu menimpuk kepala tuannya yang genius bin cerdik itu dengan botol minuman bekas? Astaga ... Sepertinya, setelah ini, Edlise akan memberikan wanita bernama Katherine itu sebuah penghargaan besar. Katherine mendengus—sebal. “Katakan pada tuanmu! Tolong lepaskan tanganku!” ucapnya, karena sebelah tangannya masih dipegang oleh pria gila di depannya. “dia sudah membuatku susah. Aku kehilangan pekerjaanku dan sampai sekarang, aku belum menemukan pekerjaan baru! Dia membuatku muak!” “Kau cukup bersujud di kakiku dan mohon ampunan. Maka, dengan senang hati, aku akan membebaskan hidupmu lagi.” Kathe berdecih pelan. Demi, almarhumah ibunya, dia tidak akan pernah bersujud di kaki pria berengsek itu. “Sampai aku mati kelaparan pun, aku tidak akan sudi untuk sujud di kakimu!” “Argh ... Sial!” Max memekik, begitu Kathe menginjak kakinya dan pergi dari sana. “dasar wanita gila! Aku pastikan, akan membuat hidupmu menderita!” teriak Max dengan kekesalan yang mencapai ubun-ubunnya. Sungguh, wanita itu membuat kesabarannya benar-benar habis tak tersisa. Kathe lari se kencang mungkin, walaupun dia masih sempat mendengar teriakan Maxime yang menyumpahinya di belakang sana. Akhirnya dia bisa lolos. Entah bagaimana nasibnya, jika masih berada di dekat pria sombong itu. Sepertinya, dia akan menjemput ajal di usia muda, dan gagal lah mimpinya, untuk menikahi Chris Evans sang idola dunia halu nya. Max mengusap wajahnya kasar. Dengan wajah merah padam, Max memasuki mobil dan membanting pintunya dengan keras. Jika saja, tidak ada Edlise yang memergokinya tadi, dia pasti sudah membuat perhitungan yang akan membuat wanita itu menyesal dan tak akan berani muncul di hadapannya lagi. Edlise mengunci mulut rapat-rapat. Dia tidak mau, mengeluarkan sepatah kata pun, jika suasana tuannya sedang memanas. Bisa-bisa, dirinya yang jadi korban. Cukup dia diam. Dan menganggap seolah tak terjadi apa-apa. Toh, dia bisa tertawa sepuasnya di apartemen—nantinya. “Kau sudah melakukan apa yang aku perintahkan?” Suara tuannya yang kembali terdengar, membuat Edlise mengangguk cepat. “Iya, Tuan,” jawabnya mantap. “Apa yang bisa kau pastikan?” “Besok, pagi. Wanita itu, akan masuk dalam perangkap dan tak bisa keluar lagi.” Tentu saja, jawaban Edlise, membuat sudut bibir Max terangkat membentuk sebuah senyuman licik. Besok pagi. Dia akan membuat wanita itu menyesal sudah berani berurusan dengannya. Lihat saja nanti
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD