36 - April - The Shocking News

1116 Words
    Tiba-tiba, Xu Qiang mengejarku hingga membuatku terkejut. Apakah dia mengikutiku?     “Kenapa kau meninggalkan pesta?” tanyanya.     “A... aku... itu... gaunku kotor... maaf, padahal kau sudah khusus menyiapkannya untukku...” kataku dengan rasa bersalah.     “Jangan khawatirkan masalah itu. Apa kau baik-baik saja, Tomoka?” tanya Xu Qiang kembali. ia memperhatikan noda anggur itu dan sepertinya menebak ada sesuatu yang terjadi. Mata Xu Qiang menatapku dengan cemas.     “Ya, aku baik-baik saja. Tapi, aku tidak bisa mendampingimu dengan penampilan seperti ini, Xu Qiang. Aku akan pulang dan berganti pakaian...” ujarku berusaha menenangkannya. Aku tersenyum sebisa mungkin agar ia tidak curiga sama sekali.     Aku berbalik dan mulai berjalan meninggalkan istana kedutaan. Tapi, tiba-tiba Xu Qiang menahan tanganku. Aku memandangnya dengan bingung.     “Karena kita sudah di sini, maukah kau berdansa denganku, nona?” senyumnya. Mataku membelalak tak percaya. “A-apa ???” kagetku. “Aku tidak bisa berdansa denganmu kalau kau memakai celana biasamu itu, ya ‘kan?” cengirnya.     Suara alunan musik mulai terdengar dari dalam istana kedutaan. Aku mulai merasa gugup. “Aku tidak bisa berdansa,” kataku pelan. Xu Qiang tersenyum padaku. “Yang harus kau lakukan hanya mengikuti langkahku saja,” katanya dan ia meletakkan tangannya di pinggangku dan menarikku semakin mendekat padanya.     Langkah kaki Xu Qiang mengikuti irama musik Waltz yang sedang mengalun lembut. Kami perlahan-lahan mulai berdansa. Aku berusaha menyesuaikan langkahku dengannya walaupun jantungku tidak berhenti berdebar-debar.     “Ini lumayan memalukan...” bisikku pelan. Xu Qiang tertawa kecil.     “Hmph, kenapa kau harus malu? Kita sudah saling mengenal satu sama lain!” katanya dengan tertawa lagi. Wajahku langsung merona merah mendengarnya berkata seperti itu.     Ini adalah pertama kalinya aku berdansa. Tapi, berdansa bersama Xu Qiang sangat menyenangkan. Kupandang wajahnya dengan senyum mengembang. Xu Qiang balas menatapku dengan ekspresi gembira. Xu Qiang memeluk pinggangku lebih erat dan berbisik di telingaku.     “Sayang sekali. Padahal gaun ini cocok sekali denganmu,” katanya.     “Aku hanya merasa kalau dengan pakaianku yang biasa, aku lebih merasa nyaman saja.” jawabku dengan kembali menunduk.     “Ya, kurasa kau memang harus begitu. Kau hanya boleh berdandan untukku. Karena satu permohonanku yaitu untuk memonopoli keindahanmu,” Xu Qiang memandangku dengan tatapan sayangnya.     Aku langsung merasa bahwa Xu Qiang ingin mengatakan bahwa aku tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa selama aku bersamanya. Tiba-tiba, perasaan sayangku padanya semakin membesar hingga membuatku sesak.     Xu Qiang mengalihkan perhatiannya dariku hingga membuatku cukup heran. Ia kelihatan sedang bergumam dengan dirinya sendiri.     “Kau cantik sekali hari ini, Tomoka. Aku jadi tidak bisa tenang sama sekali,” suaranya kecil sekali hingga membuatku menajamkan pendengaran kembali. “Bicaramu cepat sekali, aku tidak bisa mendengarnya. Apa yang barusan kau bilang?” tanyaku sambil memandangnya.     “Kau selalu mendengar apa yang kukatakan saat aku tidak ingin kau mendengarnya. Kenapa sekarang kau malah tidak mendengar kata-kata yang aku ingin kau dengar???” protesnya. Aku langsung menunduk meminta maaf pada pangeranku ini. Xu Qiang menarikku agar semakin mendekat padanya.     “Tidak bisa. Permohonan maafmu sama sekali tidak memuaskanku,” lanjutnya sambil tersenyum nakal. “Apa? Apa maksudmu dengan memuaskan, hah?” kagetku.     Ia tersenyum dan langsung mengecup bibirku perlahan. Wajahku kembali memerah dan tanpa sadar aku langsung mendorong Xu Qiang. Ia membiarkanku lepas dari pelukannya dan tersenyum lebar. “Hmph, wajahmu memerah...” katanya dengan geli. Aku terkejut dan memegang kedua pipiku yang menghangat karena malu. “Kau seharusnya tidak menciumku di tempat terbuka seperti ini...” kataku dengan suara kecil. Dengan cepat kupandangi sekelilingku untuk memastikan tidak ada siapa-siapa di sana.     Tidak ada satu pun bayangan mencurigakan dan orang yang melintas di tempat itu. Xu Qiang nampaknya tidak peduli dengan hal itu dan lebih memusatkan perhatiannya pada ekspresiku. Senyum tidak lepas-lepasnya tersungging di wajahnya. “Bukankah sangat menegangkan melakukannya di sini?” ia kembali mengisengiku hingga wajahku merah padam. Kenapa dia suka sekali mengangguku sih???     Xu Qiang memelukku dengan hangat. Debaran jantungku masih tidak bisa berhenti dan aku berharap tidak ada yang datang untuk membangunkan mimpiku. Sayangnya, suara Sean langsung menyadarkanku.     “Tuan! Anda di sana???” panggilnya. Sean berlari menghampiri kami dan nada suaranya meninggi panik. Baru kali ini aku mendengarnya seperti itu.     Aku tahu bahwa pasti ada sesuatu yang terjadi dan pasti ini masalah yang cukup besar untuk membuat seorang Sean terlihat panik. “Ada apa? Kenapa mesti ribut-ribut, Sean?” Xu Qiang langsung melepaskan pelukannya dan berbalik memandang Sean. “Saya baru saja mendapat kabar dari China...” katanya sambil terengah-engah. Dari China? Ada apa??? tanyaku dalam hati.     Sean berhenti berlari sampai di depan Xu Qiang dan wajahnya pucat pasi. Si pangeran memandangnya dengan kening berkerut. Ia juga pasti tahu kalau berita ini mungkin tidak akan menyenangkan.     “Ayah anda... beliau tidak sadarkan diri!” ucap Sean hingga mengejutkan kami.     Aku memang tahu kalau ayah Xu Qiang sedang mengidap sebuah penyakit serius. Begitu mendengar berita ini, Xu Qiang langsung memerintahkan untuk kembali ke tanah airnya secepat mungkin. Aku masih dapat mengingat bagaimana wajah Xu Qiang berubah menjadi pucat dan membeku seperti es.     Kami segera pulang dari istana kedutaan dan bersiap-siap untuk kembali ke China. Sean dan para pelayan sibuk membereskan semua kebutuhan pangeran. Mereka mondar-mandir hingga membuatku bingung harus melakukan apa. Kutawarkan pada Xu Qiang apakah dia membutuhkan bantuanku. Tapi, jawabannya malah mencengangkanku.     “Jangan khawatir masalah itu. Kau harus mengkhawatirkan barang-barangmu yang belum dibereskan sama sekali itu,” katanya terburu-buru. Apa??? Aku masih merasa mungkin aku salah dengar.     Xu Qiang menjelaskan padaku bahwa dia telah mengajak para dokter dari rumah sakit Akiyama untuk berangkat ke China juga. Tapi, mungkin mereka akan tiba beberapa saat setelah keberangkatan Xu Qiang dan ia membutuhkanku sebagai penerjemah bagi para dokter itu.     Wajahku tidak bisa menunjukkan ekspresi lain selain keterkejutan yang luar biasa. “Tapi, kau pasti punya banyak penerjemah di China, bukan?” heranku. “Ya, memang. Ada penerjemah kerajaan. Tapi, dia tidak sebaik dirimu. Tentu saja alasan lainnya adalah aku ingin membawamu bersamaku,” Ia tersenyum sekilas sambil mengambil beberapa barang.     Aku mulai berpikir mengenai kata-katanya barusan. Aku dapat merasakan bahwa Xu Qiang menyimpan rasa percaya pada diriku dan itu membuatku cukup senang. Tapi, tetap saja aku masih terkejut ketika kami harus berangkat besok pagi???     Kuambil ponselku dan mulai berpikir kembali. Seharusnya pada jam segini, Pak Fuji masih ada di kantor. Ia selalu lembur untuk menyelesaikan laporan-laporannya. Pas sekali Pak Fuji yang mengangkat teleponku. Aku langsung menjelaskan semuanya dengan cepat.     “Dari awal tertulis di kontrakmu bahwa kau juga akan menemani tim paramedis jika mereka berangkat ke China. Apa aku tidak memberitahumu?” heran Pak Fuji. Aku kembali terkejut mendengarnya.     Aku berharap jika Pak Fuji memberitahuku hal sepenting ini dari awal. Dia memang tidak menjelaskan padaku mengenai isi kontrakku atau aku yang tidak mendengarkan. Ah, ya sudahlah... yang penting ini berarti aku dapat pergi dengan Xu Qiang!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD