68 - July - The Two of Us

1138 Words
    Presiden telah siuman. Saat mendengar berita itu, Xu Qiang dan aku langsung pergi ke rumah sakit secepatnya.     Saat aku sedang menunggunya di koridor rumah sakit, Xu Qiang keluar dari kamar ayahnya setelah menjenguknya.     “Bagaimana keadaan beliau?” tanyaku. Xu Qiang tersenyum gembira.     “Ia sudah sepenuhnya sadar dan kesehatannya akan segera pulih. Tapi, mereka bilang ayah akan banyak istirahat untuk sementara waktu,” jelasnya.     Xu Qiang terlihat separuh khawatir dan separuh lega ketika ia memandangku.     “Tomoka, ayahku ingin bicara denganmu.” kata Xu Qiang tiba-tiba.     “De... denganku?” heranku sambil mengerutkan alis.     “Ya, aku telah menceritakanmu padanya,” senyum Xu Qiang.     “Ah, ba... baiklah... aku mengerti.”     Terkejut karena panggilan ini, aku mengetuk pelan pintu kamar rumah sakit itu. Presiden terbaring di ranjangnya dan terlihat sangat kurus dibandingkan saat aku melihatnya di TV. Beliau tidak terlihat menakutkan ataupun tegas. Ia sangat berwibawa.     Saat melihatku, ia tersenyum ramah dan aku dapat melihat persamaan antara beliau dan Xu Qiang.     “Su... suatu kehormatan bagi saya untuk berjumpa dengan anda, presiden.” aku menunduk memberi hormat dengan gugup. Presiden tertawa dengan suara rendahnya.     “Kau tidak perlu terlalu formal padaku. Hanya ada kita berdua di ruangan ini. Tidak akan ada yang marah padamu,” senyumnya. Aku mengangguk gugup kembali. Suara sang presiden menenangkan hatiku pelan-pelan.     “Sepertinya kau telah banyak direpotkan oleh Xu Qiang. Apalagi masalah pernikahannya dengan putri Garel... kudengar kau juga membantunya mencari anak laki-lakiku yang lain,” ujar presiden.     “Ya, tapi kami tidak berhasil menemukannya, walaupun kami telah berusaha sekuat tenaga...” aku mulai memikirkan keadaan presiden yang terbaring di rumah sakit dan entah kenapa hatiku sakit kembali.     “...aku masih sangat muda saat berjumpa dengannya...” tiba-tiba sang presiden memulai ceritanya.     “Aku tidak peduli mengenai kewarganegaraan ataupun posisiku. Aku memutuskan bahwa dialah satu-satunya wanita yang akan menjadi ratuku... tapi, masalah mengenai pernikahanku dengan putri Mongolia telah tersebar ke masyarakat. Tentu saja aku tetap memilih mengambil masa depanku bersamanya. Tapi, karena aku membatalkan pernikahan itu, ia meninggalkanku demi kebaikanku...” presiden memandang jauh ke jendela di sampingnya. Aku diam mendengarkannya menceritakan masa lalunya.     “Aku tidak bisa mengacuhkan negeriku begitu saja hanya untuk mencarinya... pada akhirnya untuk masa depan negeri ini, aku menikah dengan wanita lain dan dikaruniai Xu Qiang. Sebuah keluarga yang bahagia... di hari-hari tenang itu, ia berubah menjadi kenangan bagiku... tapi, beberapa tahun yang lalu, aku tahu kalau dia memiliki seorang putra setelah meninggalkanku dan kembali ke Jepang. Ia telah hamil saat ia pergi... jika aku tahu hal itu, bahkan sampai sekarang pun aku masih memikirkan hal itu... aku telah menyakitinya dan juga putri Mongolia,” Presiden terdiam sesaat dan melambai padaku untuk mendekat ke arahnya.     Dengan tangan putihnya yang kurus, ia mengenggam tanganku lembut.     “Aku tidak ingin Xu Qiang mengalami hal yang sama seperti diriku. Aku ingin ia hidup bahagia bersama perempuan yang dicintainya. Kita harus menghentikan tradisi lama dan aku akan bicara pada raja Mongolia. Aku berterima kasih padamu dari lubuk hatiku terdalam karena telah memberikanku kesempatan ini,” kata-katanya mengisi setiap sisi hatiku.     “Aku akan membuat negeri ini menjadi lebih baik. Itulah janjiku padanya... janjiku pada Hana.”     Apa? Hana? Kata-kata sang presiden membuatku berpikir. Aku yakin Xu Qiang mengatakan namanya adalah Shouko. Tapi, presiden baru saja mengatakan namanya Hana...     Mu... mungkinkah Shouko adalah nama belakangnya? Berarti nama lengkapnya adalah Hana Shouko. Pada saat itu, aku teringat bahwa aku pernah mendengar nama itu entah dimana.     Sepulangnya dari rumah sakit, aku kembali tinggal di istana. Mungkin karena para pelayan melihat pangeran Damian dan putri Garel tertawa bersamaku, tidak ada lagi sindiran dan perlakuan buruk terhadapku. Tapi itu tidak berarti negara ini telah menerimaku. Besok aku sudah harus kembali ke Jepang...     Dengan pemikiran seperti itu, banyak perasaan yang bercampur aduk di dalam diriku. Gelisah, lega, penyesalan semua memenuhi hati dan pikiranku. Aku tidak bisa tidur sama sekali. “Oh... angin yang sejuk,” aku menarik napas saat berjalan-jalan ke taman istana karena tidak mengantuk sama sekali.     Aku berjalan pelan di kegelapan taman dan mendengarkan bunyi angin yang meniup pelan pepohonan rindang. Tiba-tiba, aku mendengar langkah kaki di belakangku. Apa ada orang di sini?     Aku berbalik dan cukup terkejut melihat Xu Qiang berdiri di belakangku sembari tersenyum.     “Malam ini bulannya sangat indah,” katanya tiba-tiba.     “Xu Qiang... ada apa?” tanyaku memandangnya. “Aku melihatmu dari kamarku. Kau tidak bisa tidur? Kalau begitu ayo temani aku minum sebentar,” ajaknya. Aku tertawa pelan mendengarnya dan mengangguk.     Ketika aku melihat sang pangeran ternyata telah memegang dua gelas anggur di tangannya, aku langsung menaikkan sebelah alisku ke arahnya. “Apa ini artinya kau juga tidak bisa tidur?” seringaiku. Xu Qiang tertawa. “Haha, mungkin... terlalu banyak yang terjadi hari ini,” jawabnya enteng. Ia menengadah memandang bulan purnama yang sedang bersinar.     “Cheers.” kataku sambil beradu gelas dengannya. Aku mulai menyeruput anggurku. Aroma buah-buahan dan rasa yang menenangkan langsung memenuhi tenggorokanku.     “...Aku sudah bicara pada pamanku mengenai pembatalan pertunangan itu. Dan seperti yang kuduga, dia marah besar.” ujar Xu Qiang perlahan. Aku diam mendengarkannya.     “Ia bilang tidak peduli apa yang terjadi, aku adalah pangeran negeri ini...” Xu Qiang tersenyum pahit saat mengatakan ini. Ia langsung menenggak habis anggur di gelasnya. “Tapi... sekarang aku bebas. Pamanku tidak bisa berbuat sesuka hatinya lagi. Jika aku menggantikan ayahku kelak, akulah yang akan melindungi negara ini,” kata-kata Xu Qiang membuat hatiku berdegup kencang mendengarnya.     Ia tahu langkah apa yang harus dilaluinya. Dan aku juga tidak akan berbohong pada perasaanku sendiri lagi... aku harus memberitahu Xu Qiang yang sebenarnya.     Kutarik napasku dalam-dalam dan memutar tubuhku menghadap Xu Qiang hingga aku bisa memberitahunya hal penting ini.     “Um...mengenai Dr. Hirata dan aku...” belum sempat aku bicara, Xu Qiang langsung memotongku.     “Ya? Apa semuanya berjalan lancar?” tanyanya masih tersenyum.     “Dr. Hirata dan aku hanya berteman baik,” kataku tegas. Xu Qiang tertegun saat mendengarku. Mungkin dipikirnya ia salah dengar.     “Apa???” kagetnya. Wajahnya benar-benar menyiratkan keterkejutan.     “Hal itu tidak berubah sejak aku kembali ke Jepang,” aku kembali menegaskan kata-kataku.     “Tapi...” Xu Qiang nampaknya ingin mengatakan sesuatu. Ia menatapku cukup lama dan aku bisa melihat bola matanya dipancari oleh sinar kebingungan.     “Satu-satunya orang yang kucintai... dan satu-satunya pria yang pernah kucintai... adalah dirimu.” suaraku terdengar bergaung di taman luas itu. Xu Qiang terdiam mendengar kata-kataku.     “Aku ingin meminjamkanmu kekuatanku karena itulah aku datang ke negara ini,” Aku tersenyum tulus ke arahnya.     “Tomoka...” Xu Qiang terlihat syok selama beberapa saat. Setelah itu, ia tiba-tiba tersenyum lembut padaku.     “...Terima kasih... aku juga masih mencintaimu.”     Hanya kata-kata pendek seperti itu sudah cukup bagiku. Di bawah sinar rembulan, kami akhirnya dapat memastikan perasaan masing-masing. Ini adalah saat-saat bahagia dan juga menyakitkan...     Entah kenapa, anggur yang kami habiskan bersama meninggalkan rasa pahit di bibir...  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD