54 - June - Choosing

1097 Words
    “Saya tidak berpikir demikian, tuan. Coba saja anda pikirkan, memangnya ada orang yang bisa jatuh cinta pada orang lain hanya dalam satu hari? Apalagi sebelumnya sudah ada orang yang dicintainya mati-matian?” Sean menyeringai ke arahku. Aku tertegun mendengarnya. “Seandainya begitu aku pasti akan sangat senang sekali mendengarnya. Tapi, sayangnya aku tidak tahu apa yang dipikirkannya sampai dia ingin kembali ke Jepang bersama dokter itu,” balasku dengan suara lemah. “Mungkin saja karena terpaksa? Anda 'kan tidak bertanya padanya,” Sean memutar bola matanya.     Aku benar-benar tertegun mendengar kata-kata Sean. Dia benar, aku tidak pernah menanyakan alasannya pada Tomoka sehingga aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Bisa jadi Tomoka memang mempunyai alasan tersendiri dan tidak mau mengatakannya padaku. Sayangnya, kini aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tomoka juga sudah pergi dan mungkin hidupnya akan lebih bahagia daripada di sini bersamaku.     Pintu ruang kerjaku diketuk dan aku menoleh langsung. Sean juga ikut berbalik karena penasaran. Aku hanya mengedikkan bahu ke arah pintu untuk menyuruhnya memeriksa siapa yang datang. Sean langsung membuka pintu dan sedetik kemudian ia berbalik memandangku sambil mengatakan, “Putri Garel datang mengunjungi anda, tuan.”     Aku langsung menghela napas mendengarnya. Mau apa lagi putri itu mendatangiku terus-menerus? Sebelum aku memerintahkan Sean untuk mengizinkannya masuk atau tidak, putri Garel langsung masuk begitu saja. Melihat hal itu, alisku langsung terangkat. “Apa kau mau bilang aku tidak punya sopan santun atau etika lagi?” putri Garel membelalak padaku sambil bertolak pinggang. “Aku bahkan sudah mengetuk pintu daripada menerobos masuk begitu saja,” lanjutnya. Aku hanya bisa menghela napas. “Baiklah, terima kasih sudah lebih memiliki sopan santun, tuan putri.” balasku dengan malas.     Putri Garel langsung duduk di sofa sebelum aku persilahkan dan aku malas berdebat dengannya mengenai masalah itu. Aku biarkan saja dia di sana dan kembali sibuk pada dokumenku. Aku masih belum memiliki cara untuk mengatasi masalah pertunangan ini.     Anehnya, si putri tetap duduk diam dan tidak berbicara sama sekali sehingga membuatku cukup heran. Tumben sekali gadis cerewet sepertinya tidak bersuara? Biasanya saat dia masuk ke ruanganku, dia akan berkicau seperti seekor burung dan hal itu benar-benar membuatku sebal mendengarnya. Di tengah-tengah kesibukanku, aku masih tetap merasa aneh dan akhirnya aku melirik ke arahnya. Ia duduk sambil menyilangkan tangan di d**a dan memandangku saja.     “Apa maumu datang kemari?” tanyaku akhirnya. Mungkin si putri ini berharap ditanya lebih dulu makanya dia diam saja.     “Kapan kau santai sih? Aku sudah mulai bosan berada di istana ini,” jawabnya. Aku langsung menghela napas. “Aku tidak pernah santai, tuan putri. Pekerjaanku sangat banyak sampai-sampai waktu istirahatku saja sangat kurang. Kalau kau bosan berada di istana ini, kenapa kau tidak meminta pamanku untuk mengantarkanmu jalan-jalan? Dia pasti akan dengan senang hati melakukannya,” balasku. “Aku tidak mau pergi dengannya. Aku capek mendengarkan mulut manisnya itu,” gerutu putri Garel.     Apa? Apa aku tidak salah dengar? Tumben sekali putri Garel mencela paman Yu? Biasanya mereka selalu kompak berdua jika menyangkut masalah merepotkanku. “Bukannya kau akrab dengannya?” tanyaku penasaran. “Tidak. Aku hanya bersikap sopan saja padanya yang lebih tua. Tapi, setiap kali dia bertemu denganku, dia selalu memujiku sampai-sampai aku bosan mendengarnya,” jawab putri Garel dengan wajah masam. “Bukankah kau suka dengan pujian?” sindirku. “Memangnya kau bisa senang dipuji oleh kakek-kakek tua???” putri Garel membelalak ke arahku. Aku langsung mendengus tertawa mendengarnya. Aku sampai berharap jika paman Yu mendengar ucapan putri Garel dan mungkin dia akan syok karena dikatai kakek-kakek tua. “Kalau dipuji kadang-kadang, aku masih maklum. Tapi, kalau setiap kali melihatku dia selalu memujiku, aku sampai meragukan apakah pujiannya itu sungguhan atau hanya basa basi saja,” lanjut putri Garel sambil menggerutu. “Yah, namanya saja kau tamu di sini. Wajar saja dia berbasa basi padamu,” komentarku dan aku kembali memandang dokumenku lagi. Tumben sekali saat aku mendengar ocehannya yang satu ini, aku sedikit terhibur.     “Kau sepertinya tidak cocok dengan pamanmu?” kali ini putri Garel memandang penasaran ke arahku. Aku hanya menaikkan alis tanpa memandangnya. Aku tersenyum hambar mendengarnya. “Menurutmu? Kau melihatnya dengan sangat jelas sepertinya,” balasku. Aku melirik dari sudut mataku bahwa putri Garel mengangguk-angguk menyetujui. “Aku yang datang sebagai tamu saja bisa merasa muak padanya, apalagi kau yang masih satu keluarga dengannya,” balas putri Garel. Aku hanya mendengus tertawa kecil mendengarnya.     Putri Garel tersenyum melihatku tertawa sekilas seperti itu. Sepertinya ia merasa sangat senang bisa membuatku berbicara santai dengannya. Yah, selagi dia tidak membuatku sebal, aku juga tidak mungkin ketus padanya. Setidaknya aku ingat kalau dia masih tamu agung di negaraku. “Jadi, kau tidak akan mengajakku jalan-jalan hari ini walau aku sudah membuatmu tertawa?” tanya putri Garel dengan penuh makna.     Aku langsung berhenti bekerja dan menarik napas dalam-dalam. Aku memandang si tuan putri dan memaksakan senyum kepadanya.     “Tuan putri yang terhormat, bukankah anda sudah mendengar jika saya sedang banyak pekerjaan? Walaupun anda berusaha menyenangkan saya, tapi pekerjaan saya tidak mungkin saya tinggalkan hanya untuk menemani anda jalan-jalan yang tidak penting, bukan? Urusan saya juga masih sangat banyak dibandingkan mengurus masalah sepele anda,” ucapku dengan menekankan setiap kata-kata dan berusaha untuk tidak marah padanya. Bisa-bisa mood-ku yang sedang tenang berubah menjadi hancur karena kesal lagi.     “Tapi, kau bisa menyempatkan waktu untuk menemui Tomoka.” celetuk putri Garel memandangku lurus-lurus. Ia nampaknya tidak takut membuatku marah dan gadis ini terlalu terang-terangan sekali di depanku.     Aku tertegun mendengarnya dan menghela napas panjang, “Aku hanya menemuinya jika aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Lagipula Tomoka berbeda denganmu, dia tidak protes atau merengek saat aku tidak sempat menemuinya. Dia wanita yang sangat sabar dalam menghadapiku,” balasku. Aku tidak senang mendengarnya membanding-bandingkan dirinya dengan Tomoka. “Berarti aku harus belajar sabar juga agar bisa membuatmu tertarik padaku,” gumam putri Garel. “Tidak perlu belajar. Kau tidak akan pernah bisa sama dengannya,” balasku langsung dan aku kembali pada pekerjaanku. “Kenapa kau bilang begitu? Aku ini cukup cepat dalam belajar kok!” protesnya.     Aku langsung memandangnya dengan serius dan mengatakan, “Karena yang kucintai adalah dia dan bukan kau.”     Putri Garel terlihat syok sekali mendengarnya dan ia menggembungkan kedua pipinya dengan kesal, “Tapi, dia sudah pergi! Kau juga harus mulai melupakannya! Tidakkah kau bisa mencoba untuk bersamaku???”     “Memangnya kau pikir semudah itu untuk melupakan seseorang yang kau cintai? Perasaanku padanya tidak bisa semudah itu untuk hilang begitu saja. Apalagi untuk mencoba bersamamu yang jelas-jelas kau tahu sendiri jika aku tidak menyukaimu. Atau harus aku ubah rasa tidak suka itu menjadi benci? Mana yang kau pilih?” aku memandangnya dengan sangat serius.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD