53 - June - His Empty Heart

1116 Words
    Paman Yu mendengus menyeringai karena ia sepertinya cukup memahamiku yang jelas-jelas tidak suka padanya.     “Baguslah, paman kemari hanya untuk menyemangatimu karena si penghalang yang membuatmu ragu itu sudah tidak ada. Tapi, nampaknya kau sedang tidak ingin diganggu saat ini. Jadi, paman akan membiarkanmu untuk mengenangnya untuk hari ini. Setelah itu, kau bisa fokus pada putri Garel. Dia sudah cukup bosan kau acuhkan terus-menerus,” paman Yu beranjak berdiri walaupun ia baru duduk tidak sampai lima menit di sana. Aku masih tidak ingin menoleh dan menggertakkan gigi geram mendengarnya. “Tapi, wanita Jepang itu cukup pintar juga untuk mengerti situasi. Setidaknya dia sadar diri jika dia tidak akan bisa diterima di sini,” lanjut paman Yu dan aku langsung mengerutkan kening mendengarnya. “Apa maksud paman? Apa jangan-jangan paman yang menyuruh pria-pria itu untuk mengejarnya?” aku berbalik dan memandangnya tajam. “Bicara apa kau? Memangnya kau pikir paman akan berbuat hal rendah semacam itu? Tanpa perlu paman perintahkan, para rakyat memang sudah membencinya! Itu murni isi hati mereka!” balas paman Yu dengan sengit karena ia merasa tersinggung dengan ucapanku. “Tentu saja mereka semua membencinya kalau bukan ulah paman menyebarkan berita itu! Jika tidak, mereka pasti tidak akan menyerang Tomoka!” balasku tidak kalah sengit juga. “Walaupun berita itu tidak muncul, lambat laun jika masyarakat tahu kau berhubungan dengannya, mereka juga akan lebih membencinya dan menyalahkannya sebagai perusak hubungan di antara kau dan putri Garel. Bukankah itu akan lebih parah?” paman Yu menaikkan alisnya memandangku sambil melipat kedua tangannya di d**a. “Tidak ada hubungan antara aku dan putri sialan itu! Paman tahu itu dengan jelas! Jadi, jangan mengatakan seolah-olah kami memang memiliki hubungan!” aku berdesis karena geram sekali. Rasanya aku benar-benar hendak meninjunya.     “Keluarlah dari sini! Atau aku harus mengusirmu untuk kedua kalinya???” aku membelalak ke arahnya. Paman Yu langsung manggut-manggut apalagi melihat Sean yang telah bersiap untuk mengusirnya lagi. “Tenang saja. Paman memang akan keluar dari sini daripada kondisimu bertambah parah. Kau harus segera sembuh, Xu Qiang.” ia tersenyum penuh makna dan keluar dari ruanganku.     Oh, rasanya darahku mendidih melihatnya. Ingin sekali aku mencekiknya karena sebal. Belum hilang rasa kesalku padanya, pintu kembali terbuka dan si putri menyebalkan yang datang ke kamarku. “Xu Qiang! Bagaimana kondisimu??? Semenjak mendengar berita kecelakaanmu, aku ingin langsung menjengukmu... sayangnya, mereka tidak mengizinkan aku masuk...” putri Garel memasang wajah sedih dan aku hanya menatapnya datar. “Aku yang tidak mengizinkanmu masuk. Dan kenapa kau seenaknya masuk sekarang? Memangnya aku mengizinkanmu? Apa ini etika seorang putri? Masuk ke kamar orang lain tanpa mengetuk terlebih dahulu?” balasku ketus. Aku memang selalu berbicara seperti ini padanya sehingga mungkin putri Garel sudah mulai kebal dengan ucapanku.     Putri Garel tidak membalas ucapan kasarku padanya. Ia malah hanya memandangku selama beberapa detik sebelum akhirnya ia berkata, “Aku tahu kau pasti sangat sedih karena gadis itu sudah pulang. Tapi, tenang saja. Aku akan berusaha membuatmu bisa melupakannya...”     Apa??? Apa katanya tadi??? Aku rasanya seperti salah mendengar. Kenapa dia bisa sangat percaya diri seperti itu menganggap dia bisa menggantikan posisi Tomoka di hatiku.     “Aku lebih senang jika aku bisa melupakanmu,” balasku dingin dan aku langsung menatap Sean. Kulirik Sean untuk mengusir putri itu agar tidak memperburuk suasana hatiku. Sean langsung mengangguk dan ia menghampiri putri Garel.     “Silahkan keluar, putri. Tuan Xu Qiang perlu istirahat.”     Sean tidak menunggu jawaban Garel dan ia langsung menggiringnya keluar dari kamarku. Putri Garel nampaknya ingin protes namun melihat Sean, ia otomatis teringat betapa kuatnya pria itu saat mengusirnya hingga ia tak berdaya. Putri Garel langsung menurutinya untuk keluar dari kamarku.     Kepalaku sudah mulai berdenyut akibat paman Yu dan sekarang si putri ini juga rasanya ingin menambahkan kekesalanku saja.     Kupandangi jendela kamarku lagi dan aku melihat sebuah pesawat sedang mengudara. Aku sampai berpikir apakah itu pesawat yang membawa Tomoka? Jika ya, bawalah ia menuju kebahagiaan...                                                                                     ***     Aku mengunjungi ayahku lagi. Aku tahu dia belum siuman namun aku selalu ingin melihatnya. Wajah tenangnya seakan bisa memberikan semangat bagiku untuk melewati semua ini. Aku duduk di samping ranjangnya dan hal itu cukup sering kulakukan. Aku sering mengobrol dengan ayah walaupun ia tidak merespon. Tapi, setidaknya aku ingin dia tahu semua yang terjadi.     “Ayah, apa ayah ingat dengan Tomoka? Gadis Jepang yang dulu pernah kuceritakan pada ayah,” ucapku pelan sambil memandangi wajah ayah yang terlelap. “Ayah tahu 'kan kalau aku mencintainya? Sayangnya aku tidak bisa bersamanya... dia pulang ke Jepang hari ini. Aku paham kalau dia mungkin tertekan dengan penindasan yang terjadi di sini terhadapnya. Tapi, aku ingin sekali mengubah keadaan agar semua orang bisa menerimanya. Apa aku salah, ayah?” aku menarik napas dalam-dalam dan perasaan sedih kembali menjalariku. “Aku tahu ada pria lain yang bisa menjaganya dengan baik. Jadi, kupikir aku harus bisa merelakannya. Aku yakin ini keputusan yang benar. Apa ayah setuju?” aku tersenyum dan memandang ke arah wajah ayah. Aku tahu dia tidak akan merespon tapi aku hanya membutuhkan tempat untuk bercerita saat ini. Jika perasaan sedih ini tidak kuluapkan, aku takut tidak akan bisa menghadapi kenyataan nantinya.     “Paman Yu sepertinya sangat senang dengan kepergian Tomoka. Yah, aku tahu dia selalu berusaha untuk membuatku menikah dengan putri Mongolia itu. Aku sampai bingung harus bagaimana menghadapinya. Terkadang aku sampai bertanya-tanya dalam hati apa benar paman Yu memang adik kandung ayah? Kenapa sifat kalian sangat berbeda jauh?” aku mendengus kecil sambil menggeleng-geleng.     Pintu kamar rumah sakit diketuk perlahan dan aku menoleh. Sean masuk, “Tuan, sudah saatnya kembali ke istana. Masih banyak laporan yang menanti persetujuan anda.”     Aku mengangguk dan menatap wajah ayah lagi, “Aku pulang dulu, ayah. Aku pasti akan datang lagi menjengukmu.” ucapku dan aku mengecup kening ayahku sebelum beranjak keluar dari kamarnya.     Setelah kepulangan Tomoka, aku berusaha untuk melupakannya. Namun, nampaknya hal itu sangat sulit kulakukan. Aku bahkan tidak sadar jika aku sering sekali melamun dan menghela napas. Aku merindukan senyumannya, sosoknya, dan bahkan tatapannya yang lembut. Aku sampai tidak menyadari jika Sean memperhatikan semua gerak-gerikku. “Kalau tuan keberatan, kenapa tidak menghentikannya?” tanyanya tiba-tiba sehingga membuyarkan lamunanku. “Hah? A-apa??? Apa maksudmu?” bingungku karena Sean yang berbicara tiba-tiba seperti itu.     Sean menghela napas panjang, “Tuan benar-benar seperti orang yang kehilangan rohnya akhir-akhir ini. Jika tuan sangat menderita dengan kepergiannya, kenapa tidak memaksanya untuk tetap di sini? Tuan 'kan orang yang pemaksa,” sindir Sean. “Memangnya aku bisa memaksakan keinginan orang yang menyukai orang lain?” gumamku dan aku menghela napas kembali. Sean tertegun mendengar ucapanku. “Maksud anda, Tomoka menyukai si dokter itu?” tebak Sean. Aku mengangguk pasrah.     Namun, sedetik kemudian reaksi Sean mengejutkanku. Ia mendengus hendak tertawa dan memandangku dengan tatapan mencibir. Aku mengerutkan kening melihatnya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD