51 - June - Another Man

1060 Words
    Sean mengangguk dan keluar dari ruanganku. Aku kembali tertidur selama beberapa saat sebelum akhirnya aku mendengar pintu kamarku terbuka dan Tomoka masuk. Aku menatapnya dan Tomoka langsung berlari ke arahku. Ia benar-benar cemas dengan keadaanku hingga Tomoka langsung menangis. Ia bahkan menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab kecelakaanku. Tapi, aku tidak pernah menyalahkannya karena akulah yang ingin menyelamatkannya. Aku ingin terus melindunginya dan berharap jika kejadian seperti ini tidak akan terjadi lagi. Tomoka tidak boleh dilukai lagi oleh siapapun dan aku yang akan berada di garis depan untuk melindunginya.     Tubuhku cukup lelah dan tanpa sadar aku kembali memejamkan mata. Aku belum tertidur namun mataku hanya terlalu berat untuk terus membuka. Aku bahkan masih sadar ketika Tomoka menyentuh pipiku dengan lembut. Aku tahu dia memikirkan banyak hal dan tetap cemas padaku. Ingin sekali kukatakan padanya agar ia tidak perlu mencemaskanku. Tapi, tubuhku rasanya terlalu lelah untuk bergerak.     Tomoka menangis lagi. Aku tahu karena saat ia mengecup pipiku, aku bisa merasakan ada sesuatu yang basah menetes ke wajahku. Hatiku sakit melihatnya begitu sedih seperti itu. Entah berapa lama Tomoka berada di kamarku dan terus menemaniku. Hingga aku hampir tertidur kembali sebelum tersentak akibat ketukan pelan di pintu. Ada yang datang ke kamarku.     Suara Dr. Hirata dan aku ingin mendengar apa yang mereka katakan. Aku tahu dokter muda itu yang merawatku dan sudah sewajarnya jika ia ada di kamarku. Mereka berbincang sesaat dan kemudian diam. Aku tidak bisa mengerti apa yang mereka katakan tapi aku menebak mereka sedang membicarakan kondisiku.     Setelah hening selama beberapa saat, Tomoka tiba-tiba mengucapkan sesuatu dengan nada lirih. Dr. Hirata terkejut mendengarnya sehingga membuatku sangat penasaran apa yang dikatakan Tomoka padanya.     Setelah itu, Tomoka mengatakan sesuatu dan aku hanya bisa menangkap arti 'Jepang' dalam ucapannya. Ada apa? Aku benar-benar penasaran sekali. Dr. Hirata bertanya padanya dan dari nada bicaranya ia sepertinya ingin memastikan ucapan Tomoka. Apa Tomoka meminta sesuatu darinya dan Dr. Hirata sampai harus memastikannya lagi? Tapi, apa itu??? Aku tidak bisa menebaknya sama sekali.     Tomoka kemudian menjawabnya dan nada bicaranya terdengar sangat optimis. Aku yakin sekali jika Tomoka ingin melakukan sesuatu dan membutuhkan bantuan Dr. Hirata. Aku berusaha berpikir apa yang mungkin mereka bahas. Namun semakin aku berusaha berpikir, kepalaku semakin sakit. Nampaknya aku tidak boleh berpikir banyak saat ini.                                                                                           ***       Malam itu, setelah tugasku sebagai penerjemah berakhir, aku memberitahu Xu Qiang dan Sean mengenai keputusanku untuk kembali ke Jepang. Xu Qiang mendengarkanku dalam diam di ranjangnya dan hanya mengatakan, “Aku mengerti.” ketika aku selesai berbicara.     Waktu berjalan cepat sekali sebelum kusadari bahwa hari keberangkatan kami telah tiba. “Pasti sudah malam begitu kita sampai di rumah,” kataku. “Ya. Aku tidak sabar untuk segera tidur di kasurku sendiri. Kamar untukku di istana itu terlalu mewah. Aku sampai tidak bisa tenang tidur di sana,” tawa Dr. Hirata. “Hehe, aku juga merasa demikian,” balasku dengan terkekeh pelan.     Dr. Hirata memandangiku selama beberapa detik sebelum ia masuk ke dalam mobil. Walaupun perlakuan para pelayan dan rakyat China buruk pada kami, tapi untuk kepulangan kami Xu Qiang langsung memerintahkan mobil istana untuk mengantar kami semua ke bandara.     Aku tahu kenapa Dr. Hirata memandangiku tadi. Mungkin hatinya cukup berat untuk bisa duduk di sampingku saat ini. Kenapa begitu? Karena sebelumnya ada yang terjadi di antara kami...     Setelah aku memutuskan untuk kembali ke Jepang bersama dengan Dr. Hirata, aku keluar dari kamar Xu Qiang dan pergi menuju taman yang sepi. Aku tidak ingin ada orang yang melihatku sedang menangis berusaha menguatkan diri agar tidak menyesali pilihanku. Tapi, sejujurnya aku memang tidak menyesal karena demi melindungi Xu Qiang, aku bersedia mengorbankan apapun.     Aku menangis hingga tubuhku tidak sanggup untuk berdiri lagi. Aku berjongkok di rerumputan itu sambil memeluk diriku sendiri. Agar tidak ada yang melihatku, aku sengaja bersembunyi di balik semak-semak yang telah dipangkas rapi sehingga berbentuk indah. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku menangis di sana hingga tubuhku gemetar sesengukan. Aku tidak berani bersuara terlalu keras karena takut ada yang mendengar.     Hingga akhirnya aku tersentak terkejut menyadari bunyi gemerisik dari semak-semak yang disingkirkan. Aku menoleh ke belakang dan melihat Dr. Hirata yang terkejut melihatku. “Aku mendengar ada suara tangisan... dan karena tidak ada orang di sini, kupikir lebih baik kuperiksa...” jelas Dr. Hirata.     Sebelum ia sempat bertanya lagi, Dr. Hirata terdiam melihat wajahku yang merah akibat menangis dengan mata sembab dan masih berlinang air mata. “Manami? Kau baik-baik saja?” tanyanya pelan dan Dr. Hirata menghampiriku.     Aku tidak bisa menjawab karena aku masih berusaha menahan sesengukan. Tapi, semakin aku mencoba menahannya, semakin sulit aku mengendalikan tangisanku. Aku kembali menangis dan tidak peduli walaupun Dr. Hirata ada di sana.     Melihatku seperti itu, Dr. Hirata melangkah maju dan ia menarik tubuhku. Diremasnya bahuku dengan lembut dan ia menyandarkan kepalaku pada dadanya seakan mengatakan jika aku boleh menenangkan diri padanya. Aku menguburkan wajahku di dadanya karena aku semakin sulit untuk mengendalikan tangisanku. Dr. Hirata tidak mengatakan apapun dan ia hanya mengusap-usap rambutku berusaha menenangkanku.     Aku sadar jika Dr. Hirata sempat memperhatikan sekeliling sembari menenangkanku. Karena jika ada pengawal atau pelayan yang melihat hal ini, mereka pasti akan semakin membuat gosip dan membenci kami. Untungnya karena malam yang sudah sangat larut, tidak ada yang melintas di taman itu. Hanya suara angin semilir dan bunyi jangkrik saja yang terdengar.     “Lepaskanlah... lepaskan semua beban yang ada di hatimu. Kalau dengan menangis kau bisa lega, menangislah sepuasmu...” ucap Dr. Hirata pelan setelah cukup lama aku menangis di pelukannya.     Entah karena pekerjaannya yang seorang dokter, kata-kata Dr. Hirata seperti obat yang menenangkan hatiku. Aku bahkan terus meluapkan semua perasaanku dalam tangisan hingga air mataku mungkin akan mengering.     Perlahan, aku bisa berhenti menangis walau wajahku merah dan mataku bengkak sekali. Aku mengusap wajahku dan akhirnya menarik diri dari pelukan Dr. Hirata. “Terima... kasih... anda telah membantu saya...” ucapku sambil menunduk memberikan rasa terima kasihku padanya.     Namun, Dr. Hirata tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatapku dalam-dalam dan ada ekspresi pilu di wajahnya.     “Apa aku tidak bisa membuatmu melupakannya?”     Pertanyaannya yang sangat mendadak itu membuatku terdiam luar biasa. Aku terhenyak karena aku merasa tidak memiliki perasaan apapun pada Dr. Hirata. Walaupun hanya dengan kata-kata seperti ini, tapi aku tidak bodoh untuk menyadari jika Dr. Hirata menaruh perasaan padaku.     “Maaf... anggap saja hal ini tidak pernah terjadi,” jawabku dan aku berbalik hendak pergi dari sana. Aku ingin keluar dari situasi canggung ini.     “Aku menyukaimu, Manami.”            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD