71 - August - Our Date

1071 Words
    Keesokan paginya aku terbangun di kamar tamu. “...apa? Bukannya kemarin aku...?” aku bergumam bingung berusaha mengingat apa yang terjadi tadi malam. Sepertinya aku terlalu banyak minum dan pastilah Xu Qiang yang membawaku kembali ke kamar.     Malam itu, Xu Qiang mengatakan bahwa dia mencintaiku... aku akan selalu, selalu mengenang kata-kata itu bagaikan harta karun berharga bagiku.     Perlahan aku menyentuh dadaku dan dapat merasakan kata-katanya terukir jauh di dalam hatiku...   ˜                                                                                        ***       “Apa? Kau yang akan mengantarku ke bandara?” aku telah mengemas semua barang-barangku dan menunggu di depan gerbang istana. Tapi, Sean yang datang menemuiku sendirian.     “Ya, tuan harus menghadiri pertemuan bisnis hari ini. Jadi, dia telah menyusun semuanya agar bisa menemanimu ke bandara,” jelas Sean.     “Xu Qiang?” heranku. Sean mengacuhkanku dan langsung membuka pintu belakang mobil.     Xu Qiang duduk menunggu di sana hingga membuatku terkejut. Aku tidak menyangka ia akan berada di dalam mobil itu.     “Cepat masuk. Kita akan segera berangkat,” perintahnya. Hari ini ia sampai mengenakan pakaian kerajaan yang sangat formal dan benar-benar mengesankan dirinya seperti seorang pangeran sejati.     Aku langsung masuk ke dalam mobil dan masih tidak menyangka kalau Xu Qiang akan pergi mengantarku. Walaupun terkejut, aku juga merasa senang.     Ketika aku duduk di sampingnya, aku kembali mengenang hari-hariku waktu menemaninya menerjemahkan kemana-mana. Aku sama sekali tidak pernah membayangkan hubungan kami akan menjadi seperti ini. Tapi, hari ini semuanya akan segera berakhir...     Semakin cepat mobil melaju, semakin cepat juga lah kami akan segera berpisah. Aku sudah meneguhkan hatiku sendiri walaupun aku masih merasa sedih dan kesepian.     “Tomoka, pesawatmu berangkat jam 1, bukan?” tanya Xu Qiang tiba-tiba hingga membuyarkan pikiranku. “Ya, ada apa?” tanyaku heran. “Berarti kita masih punya waktu. Sean, bawa kami ke sana.” perintah Xu Qiang tanpa menjawab pertanyaanku. “Saya mengerti, tuan.” angguk Sean.     Ke sana? Kemana itu? Pertanyaan itu terus membayangi pikiranku. Ketika mobil akhirnya berhenti, kami telah berada di padang rumput yang sangat luas hingga mata pun dapat memandang jauh tanpa melihat tepiannya. Angin lembut meniup rerumputan dan menyisakan perasaan tenang saat melihatnya. “Um... ini dimana?” tanyaku.     “Kau akan segera tahu sebentar lagi. Lihat saja,” Xu Qiang tersenyum dengan penuh kerahasiaan. Ia menepuk pelan kepalaku dan berjalan perlahan ke sebuah pondok terdekat.     Aku akan segera tahu? Apa maksudnya? Aku bahkan tidak bisa membayangkannya. Aku menunggu sesuai perintahnya, dan kemudian aku mendengar suara hentakan yang berirama. Apa? Bukankah itu suara derap kaki kuda? Aku berbalik ke arah datangnya suara itu dan melihat Xu Qiang menghampiriku sambil menunggangi seekor kuda putih.     “Ohh! Kuda yang cantik sekali!” seruku saat melihat bulu-bulunya yang halus dan surai lembut yang tertiup angin. Ini adalah pertama kalinya aku melihat kuda dalam jarak yang sangat dekat dan aku hampir menjerit kegirangan. Xu Qiang turun dari kudanya dan memegang tali kendali.     “Xu Qiang, kau bisa menunggang juga???” kagetku dengan mata yang berbinar-binar.     “Ya. Menunggang kuda adalah salah satu hobiku,” katanya dengan bangga sambil mengelus leher si kuda.     Aku tidak tahu kalau si kuda nampaknya sangat gembira melihat Xu Qiang dan ia melangkah mendekat padanya. “Apa ini yang ingin kau tunjukkan padaku?” tanyaku. “Tidak. Masih ada yang lain,” jawabnya. “Yang lain?” aku memandangnya dengan alis berkerut. “Ayo, kemarilah.” panggil Xu Qiang agar aku mendekat. “Umm... maksudmu?” aku merasakan perasaan tidak enak mengenai hal ini. Kakiku mulai mundur selangkah. Tapi, tiba-tiba Xu Qiang meraih lenganku. “Tentu saja, kita akan menunggang kuda.” katanya ringan. Aku membelalak memandangnya dengan tidak percaya.     Xu Qiang langsung mengangkat tubuhku yang ringan seketika. Sebelum aku menyadarinya, aku sudah duduk di punggung kuda putih itu. Tiba-tiba, aku memandang ke bawah melihat seberapa tinggi aku berada dan wajahku langsung memucat. Xu Qiang mengacuhkan hal itu dan langsung ikut naik di depanku.     “Ayo kita berangkat, Tomoka.” Xu Qiang langsung menghentak pelan tali kekangnya dan si kuda mulai berjalan. Aku masih dalam keadaan syok. Aku... aku belum pernah naik kuda sebelumnya!     Kami menunggangi kuda putih itu menyusuri padang rumput yang indah. Pemandangan segera berlalu dengan cepat dan aku dapat merasa angin menerpa pipiku dengan kuat. Aku terhentak ke depan dan belakang hingga aku sedikit ketakutan akan terjatuh. Tidak henti-hentinya pekikan kecil keluar dari bibirku. Xu Qiang tertawa gembira dan menoleh memandangku.     “Jika kau tidak berpegangan, kau akan jatuh,” katanya santai.     “Ta... tapi, dimana aku bisa berpegangan???” tanyaku dengan sedikit panik. Aku tidak mungkin memegang ekor si kuda. Bisa-bisa aku dilempar olehnya.     “Letakkan tanganmu di sekitar pinggangku. Kita akan melaju lebih cepat,” kata Xu Qiang terkekeh lagi.     “Apa??? Eeehhh!!!” aku kembali terombang-ambing karena hentakan kuda. Dengan cepat, aku langsung mengalungkan tanganku di pinggang Xu Qiang untuk mempertahankan tubuhku tetap di atas punggung si kuda.     “Tomoka, apa kau takut?” tanya Xu Qiang. “Sedikit...” gumamku.     “Ini adalah kuda terbaik, jadi kau bisa tenang dan percaya pada kemampuanku. Aku sudah memenangkan banyak penghargaan dalam kejuaraan menunggang kuda,” Ia kembali membanggakan dirinya. “A... ah, baiklah...” aku mengangguk dan ia tertawa gembira lagi.     “Ketika aku senggang, aku pasti kemari... aku sangat suka menunggang kuda... tapi, aku tidak pernah membiarkan seorang pun naik ke kuda favoritku ini,” ceritanya. “Oh, benarkah?” aku membelalakkan mata saat mendengarnya. “Ya, jadi jika kau kembali ke Jepang, kau bisa memamerkannya.” ujarnya sambil tertawa.     Xu Qiang semakin mempercepat laju si kuda dan aku bisa merasakan kehangatan punggungnya dari belakang. Hatiku pun kembali berdegup kencang. Aku sangat gembira jika bisa bersamanya seperti ini. Aku benar-benar mengerti kalau hal seperti ini tidak akan bertahan lama. Tapi, hanya pada saat ini aku ingin mimpiku terus berlanjut...     Saat aku merasakan kegembiraan dan kesedihan yang merebak di hatiku, aku memeluk Xu Qiang dengan lebih erat.     Setelah menunggang selama beberapa menit, Xu Qiang menghentikan langkah si kuda ke sebuah bukit kecil. “Fiuh... kita sudah sampai. Tungga sebentar,” Xu Qiang dengan cepat melompat turun dan menuntun sang kuda dengan diriku yang masih duduk di atasnya ke pepohonan terdekat.     Ia mengikat tali kekang ke pohon itu dan meraihku untuk menurunkanku.     “Kau bisa turun?” tanyanya. “Y... ya, kurasa begitu...” aku meraih tangannya dan melompat turun dari punggung si kuda.     Dalam sekejap, aku merasa tubuhku terjatuh ke dalam pelukan Xu Qiang yang memegangku erat. Ia menurunkanku dengan lembut. Selama beberapa detik, wajahnya sangat dekat denganku dan membuat jantungku hampir melompat keluar.            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD