20 - February - Spending Night Together

1034 Words
    Aku terkejut melihat rumah orangtuanya yang ternyata sangat besar dan kuno sekali seperti rumah-rumah orang Jepang zaman dulu. Aku pernah melihatnya di televisi. Tomoka diam cukup lama di depan pintu rumahnya hingga aku mengernyit heran.     Seorang wanita paruh baya membuka pintu rumahnya tiba-tiba. Ia berbicara sebentar pada Tomoka sebelum memandangku. Wajahnya berubah merona dan ia tersenyum sangat lebar padaku. Kurasa dia adalah ibunya Tomoka. Wajahnya sedikit mirip dengan Tomoka. Mereka berbicara cepat sebelum ibunya berteriak ke dalam rumah. Sepertinya ia memanggil seseorang. Aku tidak mengerti apa yang mereka katakan dan mulai paham ketika Tomoka menjelaskannya padaku. Ibunya mengira aku adalah pacar Tomoka yang datang untuk melamarnya. Hahaha...lucu sekali. Tapi, entah kenapa aku sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. Aku malah melarangnya untuk memberitahu identitas asliku pada orangtuanya. Biarkan saja aku menjadi pacar Tomoka sementara. Gadis itu malah menggeleng-geleng tidak percaya dengan apa yang kukatakan.     Nah, kalau seperti ini lebih baik aku benar-benar bertindak seperti layaknya seorang kekasih bagi Tomoka agar orangtuanya tidak curiga sama sekali. Tampaknya keluarganya sangat senang melihatku. Mungkin Tomoka belum pernah membawa seorang pria ke rumah orangtuanya. Aku tahu orang Jepang memiliki kebiasaan memberi hormat pada orang yang lebih tua dan aku melakukannya. Tomoka hanya memperhatikanku tanpa berkata apa-apa. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya.     Mereka menyuruhku mandi di kamar mandi tradisional. Wah, aku benar-benar tidak tahu cara menggunakannya. Tapi, aku tidak boleh mengatakannya. Harga diriku bisa jatuh. Entah berapa banyak barang di kamar mandi itu tersenggol olehku hingga jatuh berkali-kali. Aku agak sedikit panik jadinya. Tomoka berkali-kali menanyakanku apakah aku baik-baik saja. Mungkin dia heran juga apa yang kulakukan hingga banyak barang jatuh yang pasti terdengar dari luar. Dia bahkan meneriakkan beberapa penjelasan padaku. Sepertinya dia menyadari aku tidak tahu cara menggunakan kamar mandi tradisional ini.     Akhirnya, Tomoka memutuskan untuk masuk ke dalam. Sepertinya aku terlalu lama di kamar mandi. Tapi, ya sudahlah tidak perlu malu padanya. Dia memang tahu aku tidak mengerti hal-hal seperti ini. Gadis itu berteriak saat masuk ke dalam kamar mandi. Wajar saja, aku tidak memakai apa-apa hingga dia menyuruhku memakai handuk yang kedengarannya aneh bagiku. Mau mandi kok pakai handuk? Setelah kupikir-pikir, wajar saja ia berteriak. Dia pasti malu melihatku seperti itu. Mungkin aku yang tidak tahu malu. Hahaha...     Saat aku menatapnya yang sibuk mengajari aku bagaimana menggunakan bak mandi itu, keisenganku muncul kembali. Aku menggodanya untuk mandi bersamaku. Tuh 'kan, wajahnya bersemu merah. Manis sekali. Aku sangat suka melihat wajahnya yang memerah seperti itu. Tomoka langsung keluar dari kamar mandi itu sementara aku terkekeh senang.     Dia membantuku memakai yukata yang sangat nyaman dipakai. Aku suka sekali dengan pakaian ini. Motifnya pun sangat indah. Tomoka menyadari kalung yang kupakai saat mengikat yukata-ku. Aku menceritakan sejarah kalung itu padanya. Kalung itu sangat berharga bagiku. Satu-satunya pemberian dari ibuku yang telah meninggal. Aku ingat hari-hariku bersama ibu yang dulu sering bermain denganku saat aku masih kecil. Dia belum sakit pada waktu itu dan lebih sering menghabiskan waktu denganku daripada ayah. Sayangnya, ibu tidak melihatku yang sudah dewasa ini. Ada perasaan sedih yang sangat menyesakkan dalam dadaku. Tomoka tetap mendengarkan ceritaku dengan sabar.                                                                                       ***        Kami berniat untuk meninggalkan rumah orangtua ku setelah mengeringkan diri. Namun, sungguh tak kusangka bahwa keluargaku menyiapkan pesta selamat datang untuk Xu Qiang. Di ruang makan sudah tersaji beberapa hidangan mewah yang biasanya kunikmati pada jamuan-jamuan tertentu saja. “Ayo, ayo. Duduk di sini,” panggil ibuku sambil memegang lengan Xu Qiang dan menariknya untuk duduk di sampingnya. “Ah, terima kasih…” Xu Qiang menunjukkan ekspresi terkejut dengan penyambutan untuknya. Ia langsung duduk di tatami dengan tenang. “Kau bisa menggunakan sumpit, nak?” tanya nenekku yang masuk ke ruang makan sambil membawa beberapa mangkuk nasi.     Nenekku merupakan mantan seorang guru dan penampilannya benar-benar mencerminkan seorang wanita Jepang sejati. Aku menerjemahkan pertanyaannya pada Xu Qiang. Wajah pangeran sedikit merona.     “Umm... sebenarnya aku tidak terlalu mahir dalam menggunakannya walaupun aku orang China. Kami biasa menggunakan sendok dan garpu karena perubahan zaman...” jawabnya malu. “Tapi, aku tetap akan makan dengan gaya orang Jepang! Kata pepatah, dimana bumi di pijak, di sana langit dijunjung,” lanjutnya pelan di sampingku. Aku hanya tersenyum mendengarnya.     Saat kami mengucapkan “Itadakimasu” sebagai selamat makan, Xu Qiang mengikuti dengan tenang. Dalam hatiku, ada perasaan senang karena si pangeran sama sekali tidak mengeluh. “Oh, masakan nenek memang yang paling enak!” pujiku saat menikmati stew khas buatan beliau. Aku memang rindu sekali dengan masakan keluargaku. Kulirik Xu Qiang sekilas untuk melihat caranya makan.      Dia kelihatan sangat kesulitan dengan menggunakan sumpitnya. Entah berapa kali dia terus mencoba untuk mengambil sepotong daging di depannya. Aku baru ingat kalau dia harus makan dari makanan yang di tes terlebih dahulu. “Apa kau bisa?” bisikku padanya. Ia mengangguk singkat tanpa menjawab. Ekspresinya serius sekali.     Setelah usaha yang kesekian kalinya, ia berhasil mengambil dagingnya. Semua keluargaku termasuk aku pun menatapnya dengan jantung yang berdegup kencang. Saat Xu Qiang memasukkan daging itu ke mulutnya, napas kami tertahan menunggu reaksinya. “Ini enak sekali!” pujinya dengan senyum yang sangat lebar. Kami langsung menghela napas lega dan tertawa ringan. “Ini lebih enak daripada makanan restoran!” mata Xu Qiang kelihatan berbinar-binar karena semangat. “Oh, anak baik. Makanlah yang banyak,” ibuku tersenyum dan meletakkan banyak lauk di mangkuk Xu Qiang.      Kami tidak dapat menolak permintaan orangtuaku yang menyuruh kami bermalam di sana. Saat aku menunjukkan kamar untuk Xu Qiang, aku terkejut luar biasa melihat dua buah kasur lantai di ruangan itu. Aku membelalak pada ibuku. “Selamat bersenang-senang~” ibuku menyeringai ke arahku. Aku benar-benar tidak habis pikir dengannya. “Oh maafkan aku, Xu Qiang. Aku akan tidur di kamar lain,” kataku sambil mengambil salah satu futon sebelum keluar dari kamar itu. “Tidak perlu,” katanya menghentikan gerakanku dengan menarik tanganku. Aku membelalak padanya.     Xu Qiang menarikku dan menyuruhku duduk di futon itu. Aku mengangguk bingung memandangnya. Tiba-tiba, ia menyandarkan kepalanya ke lututku kembali. Astaga, si pangeran menjadikan aku bantalnya lagi! Walaupun aku terlalu kurus katanya, tapi sepertinya dia sangat suka menjadikanku bantal. Aku pun sudah terbiasa menjadi bantal untuknya. Pelan-pelan, senyum tersungging di bibirku.     “Hei, seperti apa kau waktu kecil?” tanyanya pelan.     “Hmm... tidak terlalu berbeda dengan aku yang sekarang sepertinya. Aku suka membaca buku atau bermain di luar...” jawabku sambil merenung sesaat. Xu Qiang tertawa kecil, “Memang mirip denganmu yang sekarang.” timpalnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD