21 - March - He is Still a Man

1154 Words
    “Dulu aku punya teman waktu aku masih kecil,” ceritanya tiba-tiba. Aku hanya diam mendengarkan.     “Sean adalah teman pertamaku.” lanjutnya yang langsung membuatku tertegun.      Xu Qiang menyentuh kalung liontinnya sesaat sebelum kembali berkata, “Waktu itu, aku sama sekali tidak mengerti tentang urusan negara dan posisiku... aku hanya menikmati hari-hariku...” Xu Qiang tersenyum kecil seperti sedang mengingat kenangan itu.     “Aku ingin sekali kembali ke waktu itu...” gumamnya sambil menutup matanya. Aku benar-benar merasakan bahwa Xu Qiang sebenarnya sangat kesepian. Ada perasaan sedih saat mendengar kisahnya.     Aku mengusap rambutnya perlahan. Xu Qiang membuka matanya kembali dan menatapku lama. Jantungku mulai berdegup kencang saat melihat ke dalam bola matanya.     “Tomoka...” panggilnya lembut.     “Apa?” tanyaku. Dia tidak menjawab pertanyaanku sama sekali. Perlahan-lahan dia bangkit dan duduk menatapku.         Xu Qiang mendekatkan wajahnya ke arahku yang langsung membuatku merah padam. Si pangeran terlihat berbeda dengan biasanya. Tangannya meraih bahuku dan mendorongku pelan agar berbaring. Aku benar-benar terkejut dan takut dia akan melakukan sesuatu kepadaku. Saat aku ingin membuka suara, ia memberi tanda padaku untuk diam saja. Aku sama sekali tidak bisa bangkit karena tangannya menahan bahuku dengan kuat.     Aku kembali berusaha mengatakan sesuatu. Tapi, Xu Qiang langsung menatapku dalam hingga aku kehabisan kata-kata karena jantungku semakin cepat berdetak. Tubuhku mulai membeku saat wajahnya semakin mendekat ke arahku.     “Kau wangi sekali, Tomoka...” bisiknya sampai membuat wajahku semakin panas.     “He... hentikan Xu Qiang...” suaraku tercekat dan aku berusaha mendorongnya menjauh.     “Ssshh, tolong... berbaring sebentar saja...” pangeran kembali berbisik hingga membuatku heran. Ia memandang ke arah pintu kamar yang terbuat dari kertas.     Aku mendongak ke arah pintu di atasku dan menyadari bahwa keluargaku sedang mengintip dari bayangan kami yang terpantul dari balik pintu kertas. Aku langsung paham seketika kenapa pangeran mendorongku seperti itu. Tidak berapa lama, keluargaku meninggalkan kami. Sepertinya mereka berpikir takut mengganggu.     Aku menghela napas panjang dan berusaha untuk duduk kembali. Tiba-tiba tangan Xu Qiang tetap menahanku untuk berbaring. Aku membelalak padanya. tapi pandangannya padaku sangat berbeda.     “Tomoka...” panggilnya lagi. Wajahku kembali memerah dan aku hanya sanggup meliriknya sekilas. Jantungku berdebar-debar kencang.     Secara mendadak, Xu Qiang langsung menyingkir dari atas tubuhku. Wajahnya sedikit merona. Aku langsung duduk menatapnya.     “Ke... kenapa sih denganmu??? Kenapa kau harus mendorongku???” tanyaku.     “A... aku hanya mempermainkanmu... soalnya wajahmu lucu sekali...” jawabnya dengan gugup. Rona merah pada wajahnya semakin jelas. Aku mengerutkan kening melihatnya. Lucu? Tapi, kenapa wajahnya kelihatan marah?      Wajah Xu Qiang langsung merah padam secara mendadak dan ia melirikku sekilas sebelum berguling ke futonnya sendiri. Ia menarik selimutnya hingga menutupi wajahnya lalu berkata, “Aku mau tidur...”      Aku benar-benar bingung dengan tingkahnya. Tapi, sebelumnya aku harus menenangkan detak jantungku yang masih berdentum keras akibat tebaran pesonanya. Aku langsung berbaring dan menarik selimutku juga. Berusaha untuk tidur sepertinya cara yang baik untuk menghilangkan rasa maluku.                                                                                       ***       Aku terkejut dengan penyambutan yang mereka berikan untukku saat makan malam. Aku malah senang melihat hidangan-hidangan yang belum pernah kulihat. Aku sudah bosan dengan hidangan yang diberikan oleh koki kami. Saat nenek Tomoka menanyakan padaku mengenai sumpit, aku jadi malu sendiri. Sebagai orang China, aku malah tidak mahir menggunakan sumpit. Di istana, kami menggunakan sendok, garpu, dan pisau. Tapi, aku mau belajar menggunakannya di sini. Aku tidak boleh menyerah begitu saja!     Untuk mengambil sepotong daging saja, aku sudah mencoba menyumpitnya entah berapa kali. Aku sadar kalau mereka semua memperhatikanku yang terus berusaha. Tomoka malah khawatir aku tidak bisa menggunakannya. Akhirnya aku berhasil mengambilnya! Saat kumakan, memang makanan mereka lebih enak dari makanan yang biasa kumakan. Mungkin karena aku sudah bosan sekali dengan makananku sehari-hari. Ibunya sangat senang ketika aku memuji makanan mereka.     Orangtua Tomoka menyuruh kami untuk menginap di sana. Memang ini sudah terlalu malam untuk pulang. Aku pun berpikir tidak masalah menginap di sana. Aku merasa aman di rumah mereka.     Dua buah kasur disediakan di kamarku. Hng? Sepertinya orangtuanya benar-benar berpikir aku kekasihnya Tomoka. Tapi, apa boleh mereka seperti ini??? Ini sama saja mereka mengantar anak perempuannya ke kandang harimau. Walaupun mungkin aku tidak akan menyentuh Tomoka, tetapi aku tetap saja pria yang bisa tergoda. Sepertinya Tomoka berpikir hal yang sama hingga dia mengambil salah satu kasur untuk keluar dari kamarku.     Tiba-tiba, yang terpikir olehku adalah mungkin tidak masalah jika dia tidur sekamar bersamaku. Aku tidak mau mengecewakan orangtuanya yang kelihatan sangat berharap kami bersama. Lagian aku juga ingin bercerita banyak padanya. Sepertinya lumayan seru.     Kutarik tangannya agar ia duduk di kasur itu. Tomoka memandangku dengan bingung dan mulai paham ketika aku merebahkan diri di kakinya. Dia tahu kebiasaanku yang sering menjadikannya bantal. Tomoka tersenyum padaku.     Aku jadi menanyakan beberapa hal mengenai dirinya yang masih membuatku penasaran. Saat ia menceritakan dirinya saat kecil, aku jadi tertawa karena ceritanya sangat mirip dengan dirinya sekarang. Tiba-tiba, aku jadi teringat tentang masa kecilku. Sean selalu menemaniku dari kecil. Dulu aku sama sekali tidak tahu mengenai posisiku, aku mengajaknya bermain dan dia selalu tersenyum padaku. Tidak seperti sekarang, sepertinya dia berubah sejak aku mulai belajar pemerintahan. Mungkin jika aku bukan seorang pangeran, aku bisa memiliki banyak teman untuk bermain bersama.     Tomoka mengusap rambutku perlahan. Nyaman sekali rasanya. Saat aku memandangnya, ia sedang melihatku dengan ekspresi iba. Tanpa sadar, aku memanggilnya pelan. Saat aku beranjak duduk, terlihat olehku siluet beberapa orang dari pintu kertas itu. Tidak sulit menebak siapa yang mengintip karena lampu kamarku telah dimatikan hingga pantulan cahaya dari kertas yang masih membuatku bisa melihat dalam keremangan itu. Orangtua Tomoka sepertinya berharap terjadi sesuatu antara aku dan Tomoka malam ini. Ada-ada saja mereka...     Aku memikirkan cara bagaimana agar mereka meninggalkan kami sehingga aku bisa bicara leluasa dengan Tomoka. Aku sangat tidak suka diintip seperti itu.      Aku sengaja mendorong bahu Tomoka agar dia rebah di kasur itu. Wajahnya mulai ketakutan. Sepertinya dia berpikir aku akan macam-macam dengannya. Aku mendekatkan wajahku ke arahnya. Orangtuanya pasti melihat hal itu dari luar. Tercium aroma wangi dari tubuhnya yang membuatku hampir lupa tujuanku melakukan ini. Tomoka sepertinya akan bicara sesuatu, tetapi aku terus menatapnya hingga dia terdiam. Jika dia bicara, bisa ketahuan kalau ini hanya pura-pura!     Aku berbisik ke arahnya agar dia diam sebentar sambil melirik pintu untuk memberitahunya. Untunglah ia lumayan pintar dan segera menyadari apa yang terjadi.     Tidak berapa lama, keluarganya meninggalkan kami. Tapi, aku tidak sadar akan hal itu. Entah kenapa tanganku masih menahan bahunya agar tetap berbaring. Mata Tomoka sudah membelalak ke arahku. Tapi, wangi tubuhnya benar-benar membiusku. Apalagi ia juga mengenakan yukata yang memperlihatkan bagian lehernya yang jenjang. Aku benar-benar hampir lupa dengan sekelilingku.     Aku langsung tersadar seketika saat berpikir apa yang sedang kulakukan??? Kenapa aku begini??? Wajahku mulai memerah dan aku langsung menyingkir dari atas tubuhnya. Aku beralasan padanya bahwa aku sedang mempermainkannya. Tidak mungkin 'kan aku bilang padanya kalau aku jadi tertarik padanya???     Aku langsung menarik selimutku tinggi-tinggi dan beralasan mau tidur. Tomoka tidak berkata apa-apa. Mungkin dipikirnya aku orang aneh, ah biarkan saja. Lebih baik aku cepat tidur daripada pikiranku terganggu lagi akibat pesonanya.            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD