39 - April - The Reason

1079 Words
    Kami terbang melintasi langit biru yang terbentang luas selama beberapa jam. Tidak terasa akhirnya kami tiba juga di bandara China dengan selamat. Sebuah mobil kerajaan telah menunggu sang pangeran. Aku berada di mobil yang berbeda dengan Xu Qiang karena status kami yang berbeda.     Sesampainya kami di istana kerajaan, Sean memberikanku sebuah kamar yang sangat luar biasa menurutku. Kamar itu luasnya seperti kamar seorang raja dengan perabotan mewah. Aku langsung bertanya pada Sean dimana Xu Qiang sekarang.     “Tuan tidak bisa datang melihatmu untuk sementara waktu,” hanya itu jawaban yang keluar dari bibirnya hingga membuatku mengernyit heran. Melihat pandangan bertanyaku, Sean menatapku dingin.     “Pangeran masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilaksanakan. Dan kau juga punya beberapa pekerjaan yang sedang menunggu. Sampai aku memberikan instruksi, jaga kelakuanmu. Seperti yang sering kukatakan padamu, menjauhlah dari masalah.” kata Sean dan ia meninggalkan ruanganku.     Tentu saja aku akan mengerjakan pekerjaanku selama di sana. Apalagi ketika tim dokter dari Jepang yang akhirnya tiba juga. Aku harus menemani mereka untuk mengobservasi rumah sakit, menerjemahkan beberapa dokumen, mengorganisir data dan diskusi kelompok yang dilakukan setiap hari.                                                                                   ***       Pikiranku melayang-layang membayangkan kondisi ayahku. Aku bahkan tidak bisa tidur dengan nyenyak karena sangat khawatir pada beliau. Hanya ayah seorang keluargaku yang masih tersisa. Aku bisa sangat terpuruk jika terjadi apa-apa padanya.     Untung saja Tomoka berada di sisiku dan memberikan semangat untukku. Kalau tidak, aku pasti sudah tidak bisa berpikir dengan benar lagi. Melihatnya tersenyum menenangkan seperti itu, aku ingin mengenalkannya pada ayahku nanti. Aku ingin ayah mengenal wanita yang dicintai anaknya.     Saat kami tiba di China, kami langsung dijemput dan aku dipisahkan dari Tomoka. Tapi, tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu sekarang. Prioritasku adalah kesehatan ayahku.     “Sean, selama aku sibuk nanti, tolong jaga Tomoka.” pesanku pelan pada Sean agar tidak terdengar oleh pengawal kerajaan.     “Baik, tuan.” Sean mematuhiku tanpa banyak bertanya. Ia juga tahu jika hubunganku dengan Tomoka tidak boleh diketahui oleh siapapun saat ini.     Aku langsung dibawa menuju istana dan langkah kakiku sangat cepat menuju kamar ayahku dimana dia dirawat. Kulihat banyak peralatan medis yang ditempelkan ke tubuh ayahku. Bunyi detak jantungnya sangat pelan sehingga membuatku sangat khawatir. Beberapa dokter kerajaan yang sedang sibuk memeriksa beliau pun langsung menoleh ke arahku dan memberi hormat.     Aku berjalan mendekati ranjang ayahku dan melihatnya memejamkan mata dengan alat bantu pernapasan. Wajahnya sangat pucat dan kurus sekali. Aku tidak menoleh dari wajah ayahku.     “Bagaimana keadaannya?” tanyaku pelan pada para dokter.     “Tidak baik, tuan. Setelah presiden muntah darah pagi tadi, beliau sudah tidak sadarkan diri. Tekanan darahnya juga sangat rendah dan detak jantungnya melemah. Beliau bahkan tidak bisa bernapas dengan normal sehingga kami harus memberikan bantuan alat pernapasan,” jelas dokter kepala.     Aku terdiam kembali mendengarnya. Kenapa ayah bisa tiba-tiba parah seperti ini???     “Apa ada pemicunya sehingga tiba-tiba keadaannya berubah seperti ini?” tanyaku lagi kali ini memandang mereka semua dengan sangat serius.     Semua dokter itu tidak bisa menjawabnya karena memang penyakit ayahku masih tidak diketahui penyebabnya. Apalagi gejalanya yang sama persis dengan ibuku membuatku semakin takut dan khawatir. Rasanya aku ingin sekali berteriak pada dokter-dokter ini. Bagaimana bisa mereka menjadi dokter kerajaan jika mereka tidak bisa menyembuhkan ayahku???     Sebenarnya aku tahu itu bukan salah mereka. Tapi, saat ini aku hanya membutuhkan orang yang bisa disalahkan. Mataku kemudian berhenti pada sosok pria tua yang berdiri di sudut ruangan dengan tenang seperti sebuah robot. Dia adalah paman Lu, ayah Sean yang menjadi asisten ayahku. Keluarga Sean turun-temurun selalu melayani keluarga kami. Istri paman Lu juga dulu melayani ibuku sampai ibu akhirnya meninggal. Sekarang beliau hanya menjadi kepala pelayan wanita.     Aku berjalan mendekati paman Lu. Ia menunduk memberi hormat padaku. Aku tahu paman Lu selalu bersama ayah sehingga dia yang pasti lebih tahu apa saja yang dilakukan oleh ayah.     “Semuanya tolong keluar kecuali paman Lu,” perintahku sambil menatap paman Lu yang memandang lantai dengan tenangnya. Dia persis seperti Sean yang jarang sekali panik dan selalu tenang di situasi apapun.     Saat semua orang telah keluar, aku hendak membuka mulutku untuk menanyainya. Namun, paman Lu tiba-tiba berjalan ke arah meja kerja ayahku di seberang ruangan dan mengambil sesuatu. Aku mengernyit berusaha melihat apa yang dilakukannya.     “Saya tahu tuan pasti akan bertanya pada saya. Jadi, yang bisa saya beritahu pada anda adalah ini,” paman Lu memberikan sebuah buku klasik padaku. Aku bingung untuk apa dia memberikanku buku sejarah seperti ini?     Paman Lu tidak berkata apa-apa sehingga membuatku membuka-buka halaman buku itu. Tiba-tiba selembar foto jatuh dari lembarannya ke lantai. Aku memungut foto itu dan mengerutkan kening melihat potrait seorang wanita yang mengenakan kimono. Wanita itu terlihat sangat anggun dan tenang. Wajahnya cantik menawan dan terkesan pintar. Dalam sekejap, aku langsung teringat dengan wanita bernama Shouko yang diceritakan ayah. Selama ini aku tidak pernah melihat fotonya sama sekali dan aku tidak tahu jika ayah ternyata memilikinya.     “Tadi pagi saat presiden selesai membaca semua dokumen yang harus ditandatanganinya, dia melihat foto itu cukup lama. Saya pikir beliau sepertinya sedang memikirkan wanita itu dan tiba-tiba presiden langsung muntah darah. Beliau bahkan berusaha agar tidak mengotori foto itu dan menyuruh saya untuk menyimpannya lagi. Saya akhirnya memindahkan foto itu agar presiden tidak melihatnya dan kambuh kembali,” jelas paman Lu. Aku tertegun mendengarnya.     “Memangnya dimana biasanya foto ini diletakkan?” heranku.     “Presiden selalu meletakkannya di depan meja kerjanya. Tepatnya ia membingkainya di sana,” paman Lu menunjukkan sebuah pigura kosong yang ada di atas meja. Aku tidak pernah melihat pigura itu di sana sebelumnya.     “Bukannya... dulu tidak ada?” gumamku. Paman Lu mengangguk.     “Semenjak kondisi kesehatan presiden menurun, beliau meletakkan foto itu di meja kerja dan memandanginya setiap hari,” jawab paman Lu lagi.     “Apa paman Yu melihat ini?” tanyaku lagi. Paman Yu adalah pamanku yang mengurusi pemerintahan sementara semenjak ayah sakit. Nama lengkapnya adalah Fang Zhi Yu dan ia merupakan adik dari ayahku.     “Tidak, tuan. Presiden melarang siapapun untuk mendekati meja kerjanya selain saya. Jadi, saya yang menjaga ruangan beliau selama beliau sakit,” jawab paman Lu. Aku mengangguk lega mendengarnya. Jika paman Yu tahu mengenai masalah ini, ia pasti akan menggunakannya untuk membuat rencana lagi.     Terkadang aku tidak tahu apakah pamanku itu sebenarnya orang yang baik atau jahat. Dia terlalu sering ikut campur dan selalu mengaturku sehingga aku tidak memiliki kebebasan. Dengan dalih ayah yang memberinya izin untuk mengurusku seperti anaknya sendiri, dia benar-benar mengaturku dengan ketat.     Aku tahu ayah pasti sangat merindukan Shouko sampai-sampai kondisi kesehatannya berubah memburuk seperti ini. Sepertinya aku harus segera menemukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD