73 - August - The Second Chance

1191 Words
    Tomoka terkejut melihatku menunggang kuda. Mungkin dia sedang terpesona pada seorang pangeran berkuda putih yang mendatanginya. Saat aku melajukan kudaku, Tomoka terlihat panik dan ketakutan. Aku menyuruhnya untuk memeluk pinggangku daripada ia terjatuh nantinya. Tangan kecil itu melingkar di pinggangku dan aku tersenyum merasakannya.     Aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Tomoka sementara kami menunggang kuda menuju tempat privasiku. Tapi, ia tiba-tiba memelukku dengan sangat erat sehingga membuatku tertegun. Mungkin ia juga berat harus meninggalkanku lagi.     Aku menunjukkan pada Tomoka pemandangan dari bukit yang selalu menjadi tempat favoritku. Dari tempat itulah aku bisa melihat seluruh negeriku terbentang luas dan disaat yang sama aku juga menyadari tanggung jawabku yang begitu besar pada negeri ini. Namun, dibalik tanggung jawab itu aku juga masih seorang manusia biasa yang memiliki perasaan dan ego.     Aku ingin menyampaikan sesuatu pada Tomoka. Namun, sebelum aku sempat mengatakannya ponselku berdering dan Sean telah memanggil agar kami segera kembali. Aku tahu aku tidak akan sempat mengatakannya pada Tomoka. Mungkin lebih baik aku tidak mengatakannya dan menyimpannya saja di dalam hati.     Jadwalku sudah hampir tiba sehingga Sean mengantarku lebih dulu. Aku memandang Tomoka untuk terakhir kali karena setelah ini aku pasti tidak bisa menemuinya lagi. Walaupun begitu, aku tidak ingin mengatakan 'selamat tinggal' padanya. Karena itulah aku hanya mengatakan ''sampai jumpa'. Siapa tahu aku bisa bertemu dengannya lagi.     Aku berbalik dan langsung masuk ke ruang pertemuan di mana para wartawan sedang menunggu. Sebenarnya ini hanya pertemuan yang tidak membutuhkan waktu lama menurutku. Hanya saja formalitas menuntutku untuk tetap berada di sana menyaksikan keseluruhan acara.     Setelah aku menyelesaikan pidatoku yang singkat, pikiranku mulai terbang kemana-mana. Aku memikirkan Tomoka dan bayangannya tidak bisa hilang dari benakku. Apa yang ingin kukatakan tadi padanya terus berputar di kepalaku. Hatiku merasa tidak nyaman karena tidak bisa mengungkapkannya.     Tiba-tiba, muncul pesan di ponselku dan aku meliriknya. Damian mengirimkan pesan padaku bahwa pembatalan pertunanganku dengan Garel telah disetujui dan telah diumumkan di Mongolia. Hanya menunggu beberapa saat lagi sebelum beritanya masuk ke China. Damian juga bersedia untuk melakukan kerjasama denganku.  Membaca pesan itu langsung membuatku mengambil keputusan.     Ah! Aku tidak bisa begini! Aku harus mengatakannya pada Tomoka daripada aku menyesal di kemudian hari!     Aku langsung berdiri di tempatku dan membisikkan pada panitia acara jika ada urusan penting yang harus kulakukan dan mendesak. Tanpa menunggu jawaban darinya, aku langsung bergegas keluar dari ruangan dan tidak peduli wartawan memandangku dengan penasaran. Beberapa dari mereka bahkan sempat-sempatnya memotret kepergianku. Aku tahu aku pasti bakal jadi berita besok. Paman Yu dan Sean pasti akan marah besar padaku. Tapi aku tidak peduli sama sekali.     Buru-buru aku keluar dari gedung dan segera memberhentikan sebuah taksi. Supir taksi itu kelihatan syok melihatku yang naik dan ia membelalakkan matanya. Yah, wajar saja... aku masih lengkap dengan pakaian formal kerajaan yang mencolok dengan atribut-atributnya. “Pak, tolong segera ke bandara! Cepat!” perintahku padanya dan supir taksi itu mengangguk seakan baru tersadar jika ia tidak bermimpi seorang pangeran menjadi penumpangnya.     Aku melirik arlojiku beberapa kali karena aku takut terlambat. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan terakhirku sehingga aku menjadi tidak sabaran. Kakiku bahkan menyentak pelan seakan berharap jika mobil ini bisa terbang. Yah, biasanya aku tidak pernah kena macet sama sekali karena menggunakan mobil kerajaan. Tapi, karena aku naik taksi umum, macet langsung menantiku sehingga aku benar-benar kehilangan kesabaran.     Cepat-cepat aku langsung membayar supir taksi itu dan keluar di tengah jalan. Macet ini sepertinya akan menyita waktu cukup lama karena ternyata ada kecelakaan di depan. Aku langsung berlari sekencang mungkin menuju bandara. Tidak kupedulikan lagi rasa lelah karena berlari cukup jauh dan banyak orang yang memperhatikanku. Aku tahu aku sangat mencolok di jalanan seperti ini tapi aku benar-benar tidak peduli. Semua isi hatiku harus kusampaikan saat ini juga.                                                                                   ***   “Sean, terima kasih untuk segalanya,” kataku saat kami sampai di bandara. “Aku hanya melaksanakan tugasku,” jawab Sean. Seperti biasa, nadanya selalu sinis seperti itu. Tapi, ia sudah tidak terlalu dingin padaku seperti dulu.     “...aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku berterima kasih padamu karena hubungan antara China dan Mongolia berubah ke arah yang lebih baik. Aku masih belum sepenuhnya menerimamu, tapi aku tetap akan berterima kasih padamu,” ia memandangku dengan mata cokelat keemasannya.     “Tomoka, kedatanganmu kali ini patut dihargai,” Sean tiba-tiba tersenyum ke arahku. Hal itu sama sekali tidak pernah terjadi semenjak aku mengenalnya.     “Sean...” aku mulai merasakan sesuatu menyumbat hidungku. Jika aku tidak berhati-hati, aku pasti akan mulai menangis meraung-raung seperti bayi kecil di sana.     “...baiklah, kurasa aku harus berangkat sekarang. Tolong sampaikan dukunganku untuk Xu Qiang.” “Tentu saja. Jaga dirimu,” Sean menunduk memberi hormat padaku dan ia juga berjalan menghilang dalam kerumunan.     Aku sebaiknya pergi check-in sebelum terlambat. Kali ini benar-benar menjadi perpisahanku dengan negara China. Koperku berderit saat kuseret menuju gerbang penerbanganku. Aku tidak bisa berhenti berpikir mengenai alasan lain untukku bersama Xu Qiang di sini. Sudah terlambat bagiku untuk memikirkan alasan-alasan seperti itu.     Aku telah mengutarakan perasaanku yang sesungguhnya padanya dan ia juga telah mendengarkanku. Itu saja sudah cukup... Aku mencoba menahan air mata yang mendesak ingin keluar dari pelupuk mataku. Ketika aku mencoba menguatkan diriku sendiri, aku mulai bergumam pelan.     “Mimpiku akhirnya telah berakhir...”     Aku berjalan masuk ke gerbang penerbanganku sebelum akhirnya aku mendengar sebuah teriakan yang memanggil namaku.     “Tomoka !!!”     Apa? Suara itu... Aku terkejut saat melihat lelaki yang baru saja kutinggalkan beberapa saat lalu. Xu Qiang berlari ke arahku dengan napas yang tersengal-sengal. Yang lebih mengherankan lagi, ia hanya datang sendirian. Tidak ada pengawal maupun Sean yang menemaninya seperti biasa.     Tidak mungkin... kenapa? Hal ini terlalu mengejutkanku dan aku mencubit pipiku mengira aku hanya bermimpi. Sakit. Aku mengusap mataku beberapa kali untuk meyakinkan diriku, tapi sosoknya tidak menghilang juga.     “Terima kasih Tuhan... aku masih sempat...” Xu Qiang berdiri di depanku sambil mengatur napasnya.     “Xu... Xu Qiang, bukankah kau ada pertemuan bisnis?” aku masih melongo melihat dirinya.     “Aku sudah tidak bisa menahannya lagi, makanya aku kabur. Kurasa sekarang semuanya pasti sedang heboh karena aku menghilang lagi,” ia tertawa kecil ketika ia sudah bisa mengontrol napasnya yang masih memburu.     “Apa yang kau pikirkan sampai kau berbuat seperti ini?!” marahku padanya. Xu Qiang tidak terlihat takut sama sekali.     “Apa itu aneh? Yang bisa kupikirkan hanyalah datang ke sini untuk menemuimu,” ia tersenyum padaku. “Xu... Xu Qiang...” aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa mendengar kata-kata lembutnya itu.     Xu Qiang terus memandangku dengan penuh perasaan. Karena gugup, aku terus menunduk menghindari pandangannya.     “Aku baru saja mendengar berita dari pangeran Damian beberapa saat yang lalu. Pembatalan pernikahanku dengan putri Garel telah diumumkan ke publik,” kata Xu Qiang.     “A...apa?” aku mengerjap-kerjap berusaha mencerna apa yang baru saja kudengar.     “Dia juga bilang walaupun akan memakan waktu lama, ia bersedia bekerja sama denganku untuk memperbaiki keadaan kedua negara,” lanjutnya.     “Ia memahami perasaanmu akhirnya...” aku menghembuskan napas lega dan tersenyum ke arahnya. Xu Qiang pun mengangguk gembira.     “Umm... apa kau kemari hanya untuk mengatakan hal itu?” tanyaku heran. Xu Qiang menggeleng.     “Tidak. Ada yang lebih penting dari itu untuk kukatakan,” ekspresinya berubah menjadi sangat serius.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD