74 - August - His Promise

1247 Words
    Hal yang lebih penting dari perdamaian dengan Mongolia? Aku tidak dapat membayangkan apa yang lebih penting dari itu.     “...kelak aku akan menggantikan posisi ayahku. Dan aku akan diumumkan secara resmi menjadi seorang presiden. Aku sudah mempersiapkan diriku mengenai hal itu dan aku telah memutuskan untuk melindungi negara ini dengan segenap jiwaku. Tapi, perasaan itu dan perasaanku padamu adalah hal yang berbeda.”     Aku tertegun mendengarnya. Yang bisa kuucapkan hanyalah, “Apa?”. Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang dibicarakannya. Aku mengerjap-kerjap bingung sambil menatapnya.     “Ini tidak ada hubungannya dengan posisiku sebagai seorang pangeran. Sebagai diriku sendiri, aku mencintaimu... dan seperti takdirku yang dilahirkan sebagai pangeran, kupikir ini adalah takdir juga yang mempertemukanku denganmu hingga aku jatuh cinta padamu,” matanya tidak lepas dari mataku sama sekali. “Xu... Qiang...” gumamku dengan tidak percaya.     Kata-kata langsung dari sang pangeran benar-benar meresap ke dalam hatiku. Status sosial kami, kebangsaan kami, hal-hal itu sama sekali tidak menjadi masalah. Kami hanya sama-sama jatuh cinta. Bahkan perasaan ini telah semakin dalam di antara kami.     “...aku mungkin akan jatuh cinta padamu walaupun kau bukanlah seorang pangeran. Aku tidak berpikir aku akan merasakan jatuh cinta seperti ini lagi...” kataku tersenyum pelan padanya. Aku mencoba menahan air mataku karena aku tidak ingin sosoknya di mataku untuk terakhir kali akan dibuyarkan oleh air mata.     “Tomoka...” Xu Qiang meraih tanganku dan meremasnya lembut. Matanya masih memandang lurus ke arahku. Ia kembali membuka mulutnya untuk bicara.     “Tidak ada tempat untukmu di negara ini. Kau yang paling mengerti hal itu, bukan?”     “Ya...” jawabku lirih sambil mengangguk. Aku dapat mengingat kembali para pelayan dan masyarakat yang memperlakukanku dengan dingin dan menatapku seakan aku adalah sampah yang menjijikkan.     Walaupun pernikahannya dengan putri Garel telah dibatalkan, tapi orang-orang di China masih melihatku dari sisi negatif... bahkan negaraku pun juga dianggap demikian. Hal itu tentu saja tidak mudah dilupakan bagi mereka. Dan sebagai pendatang, aku tidak memiliki kekuatan untuk membuat mereka melupakan hal itu.     Tidak peduli seberapa besarnya cinta kami, tetap saja ada dinding besar yang tidak bisa kami lampaui. Setetes air mata akhirnya jatuh ke pipiku. Aku berusaha menyembunyikannya dengan menunduk secepatnya.     Tidak peduli seberapa menyakitkan dan seberapa menyedihkannya, aku tetap harus mengucapkan perpisahan padanya. Jika aku tidak melakukannya, aku tidak akan berhasil melupakannya kelak.     Walaupun aku tahu hal ini terus berputar di pikiranku, hatiku terus menjerit meminta agar bisa terlepas dari penyesalan dan rasa sakit ini. Tapi... kata-kata berikutnya menembus telingaku kembali. Dan kata-kata ini tidak pernah kubayangkan sama sekali.     “Walaupun begitu, aku tidak bisa membayangkan masa depan tanpa dirimu.”     “Apa???” aku terkejut mendengarnya.     “Aku sudah lama mengkhawatirkan masalah ini. Demi negaraku, haruskah aku melepaskan wanita yang kucintai? Demi kebahagiaan rakyatku, haruskah aku kehilangan semua mimpiku...? Tapi, kemudian aku menyadari bahwa aku tidak perlu memaksakan diriku untuk menjadi raja yang seperti itu. Aku bisa menggunakan seluruh kekuatanku untuk menjadi raja yang dapat mengubah negaranya,” Xu Qiang benar-benar sangat serius saat mengatakan hal ini.     “Mengubah... negara ini?” ulangku. Xu Qiang mengangguk cepat dan tidak menghiraukan pandangan kebingungan yang kulemparkan padanya.     “Ketika aku siap, aku akan datang menjemputmu. Aku berjanji aku akan datang untukmu.”     “Apa...” aku kehilangan kata-kata mendengarnya.     Sebelum aku sempat menanyakan apa maksudnya, Xu Qiang telah mengunci bibirku dengan bibirnya. Ia melingkarkan tangannya di pinggangku dan menarikku ke pelukan eratnya. Ketika bibir kami bertemu, aku dapat merasakan perasaan Xu Qiang mengalir ke dalam diriku. Lagi-lagi air mata menetes membasahi pipiku tanpa bisa kutahan lagi.     “Ciuman ini mengunci janjiku padamu. Jangan menikah dengan pria lain sebelum aku datang padamu,” Ia tersenyum dan mengecup keningku lembut. Ia memandangku untuk yang terakhir kalinya dan langsung berbalik meninggalkanku.     Dia berjanji? Benarkah? Aku masih berdiri tanpa ekspresi karena keterkejutanku. Pelan-pelan aku menyentuh bibirku yang masih dapat merasakan kehangatannya.     Dalam penerbangan pulang, aku dapat mengingat semua kenangan yang kuhabiskan bersama Xu Qiang. Kukira kisah cinta kami telah berakhir. Aku telah memutuskan untuk mencintainya sampai akhir hidupku. Tapi, rasanya ini belum berakhir?     Aku masih belum memiliki jawabannya, tapi mimpi ini masih belum berakhir dan aku percaya ia akan menepati janjinya.                                                                                                                          ***       Aku menyeruak berusaha melewati rombongan turis yang sedang berkerumun di depan pintu bandara. Sepertinya aku menerjang apapun yang ada di depanku tanpa peduli lagi. Aku tahu aku memancing perhatian tapi daripada aku tidak sempat mengejar Tomoka???     Aku langsung berlari ke arah keberangkatan dan karena ingin menerobos masuk. Petugas keamanan langsung menahanku secepat mungkin saat aku berusaha berlari ke arah mereka. “Anda tidak bisa masuk!!! Perlihatkan tiket dan identitas anda!!!” teriak mereka sambil menahanku. “Lepas!!! Aku harus mengejarnya! Ini penting! Lepaskan aku!” aku berteriak frustasi karena bisa saja Tomoka sudah terlanjur berangkat saat aku tertahan di sini.     “Tolong lepaskan tuan Fang Xu Qiang.”     Sebuah suara terdengar di belakangku dan kami semua menoleh. Sean dengan tenangnya berdiri di sana sambil mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya.     “Tu-tuan Fang Xu Qiang???” kaget mereka dan langsung memandangku. Mereka mungkin baru menyadari siapa aku karena sudah pasti semua orang di negaraku mengenalku. Wajahku sering muncul di televisi atau media massa lainnya.     Sean menunjukkan identitas dari kerajaan yang langsung membuat para petugas terdiam. Mereka melepaskan cengkeraman mereka padaku dan aku langsung mengibaskan pakaianku dengan sebal. “Tuan ada kepentingan mendesak sebentar. Mohon izinnya untuk masuk ke dalam. Dia harus mencari seseorang sebelum keberangkatannya,” jawab Sean yang langsung membuatku tertegun.     Memang asistenku yang satu ini sungguh handal. Aku tidak perlu menjelaskan apapun dan Sean sudah tahu maksudku. Aku langsung memperoleh izin dengan mudah dan segera berlari kembali ke dalam pintu keberangkatan.     Tepat ketika aku hampir sampai di pintu keberangkatan terakhir, aku melihat Tomoka sedang menyeret kopernya.     “Tomoka!!!” aku berteriak agar ia berhenti. Napasku benar-benar tersengal karena lelah berlari dari tadi. Aku mengatur napas sambil memandang punggungnya.     Jantungku berdegup kencang menunggu ia berbalik. Apakah ia mendengarku? Harusnya ya, karena aku berteriak sekuat tenaga sampai semua orang memandangiku.     Dia berhenti!     Dengan cepat aku langsung berusaha mengejarnya kembali. Tomoka berbalik dan kelihatan tidak percaya pada apa yang sedang dilihatnya saat ini. Mungkin dia tidak akan menyangka jika aku menyusulnya ke bandara. Aku benar-benar merasa bersyukur aku masih sempat mengejarnya. Tuhan nampaknya memang memberikanku kesempatan kedua yang tidak akan kusia-siakan.     Tomoka marah padaku karena aku nekad lari dari pertemuan bisnis itu untuk mengejarnya. Tapi, sudah kukatakan bahwa aku tidak peduli. Aku hanya ingin mengutarakan apa yang ada di hati dan pikiranku saat ini padanya.     Aku mengatakan padanya bahwa walaupun kelak aku yang akan menggantikan posisi ayahku untuk melindungi negaraku, aku tetaplah seorang manusia yang memiliki perasaan dan perasaan itu hanya untuk Tomoka seorang.     Aku mencintainya dan aku ingin bersamanya.     Tapi, aku tahu jika keberadaan Tomoka di China masih sulit untuk diterima dan aku perlu memperbaikinya agar semuanya bisa berjalan dengan baik. Kami berdua sama-sama tahu jika kami dipisahkan oleh dinding besar sehingga sulit untuk bisa bersama. Tapi, aku ingin menghancurkan dinding itu! Aku ingin mengubah negaraku dan pandangannya terhadap wanita yang kucintai.     Ketika aku berhasil melakukannya, aku berjanji bahwa aku akan menjemputnya. Aku tahu aku memang egois, tapi aku hanya memintanya untuk menunggu walau tidak ada kepastian seberapa lama Tomoka harus menungguku. Yang pasti aku akan mengusahakannya secepat mungkin.     Aku mengunci janjiku dengan mengecup bibirnya. Aku tahu aku sudah cukup gila untuk melakukannya di depan umum dan banyak orang yang memperhatikan. Bahkan beberapa kamera ponsel sibuk merekam kejadian itu. Tapi, aku tidak peduli. Aku ingin semua orang tahu jika wanita yang kucintai hanya Tomoka, tidak bisa digantikan oleh siapapun lagi...            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD