26 - March - His Plan

1026 Words
    Setelah kami mengunjungi Miu-chan, Dr. Hirata menjelaskan pada Sean bahwa Xu Qiang hanya mengalami kelelahan dalam bekerja hingga jatuh pingsan. Aku telah memperingatkan mereka berdua untuk tidak melakukan hal seperti itu lagi dengan tatapan tajam.     Sean membatalkan jadwal kunjungan mereka ke pembukaan acara seni walaupun Xu Qiang telah sadar. Ia langsung memutuskan untuk membawa pangeran kembali ke hotel dan beristirahat. “Aku berharap operasinya berjalan sukses...” gumamnya pelan sambil  memegang kalungnya sesaat. Sean tidak ikut duduk bersama kami kali ini. “Kenapa kau akhirnya ingin mengunjunginya?” tanyaku memandangnya.     “Karena kau tidak akan bisa lagi melakukan sesuatu untuk mereka jika mereka telah meninggal. Jika ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk menolong orang lain, akan kulakukan. Tapi, alasan lainnya adalah karena aku tidak dapat melakukan apapun untuk ibuku... dan lagi...” ia tiba-tiba memalingkan wajahnya dariku. Telinganya mulai memerah.     “............aku tidak mau melihatmu sedih...” gumamnya.     “Aku menjenguknya bukan sebagai pangeran. Tetapi, sebagai diriku sendiri agar kau tersenyum... jika aku tidak melihatmu tersenyum, rasanya ada yang salah...” wajah Xu Qiang semakin memerah. Aku tersenyum memandangnya. “Terima kasih. Kau telah membuatku bahagia...” balasku. Aku tidak bisa mengatakan padanya seberapa bahagianya aku melihatnya melakukan hal itu. “Aku pikir sepertinya aku tidak mengerti tentang dirimu. Kenapa hal-hal seperti ini bisa membuatmu bahagia?” dia berbalik ke arahku. “Miu-chan sangat senang ketika aku mencium tangannya. Tapi......” Xu Qiang tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Apa dia masih memikirkan alasanku menolak ciumannya? Pipiku kembali memerah. “Itu... harus dengan orang yang kau suka...” gumamku pelan. “Orang yang kusuka?” ulangnya. Ia menatapku lama sekali. “Aku penasaran reaksi apa yang akan kau berikan sekarang. Aku akan mencari tahu,” katanya tiba-tiba. Aku mengernyit padanya. “Apa maksudmu dengan mencari tahu?” tanyaku. Xu Qiang tersenyum. “Jika kau tidak menyukaiku, yang harus kau lakukan adalah mendorongku seperti yang kau lakukan sebelumnya,” jawabnya enteng hingga aku membelalak, “Jangan-jangan......” aku mulai berkeringat kembali menebak apa yang akan dilakukannya.     Xu Qiang menyeringai padaku dan mendekatiku. Tangannya menyentuh kedua pipiku yang mulai membara. Aku benar-benar malu dan mungkin wajahku sudah merah padam hingga aku menutup mataku erat-erat. Aku tidak sanggup melihatnya. Dugaanku sepertinya benar, dia berniat untuk menciumku lagi!     Aku masih bisa mengingat bagaimana bibirnya menyentuh bibirku. Jantungku berdentum keras hingga bergema di telingaku. “Tomoka...” panggilnya pelan. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Tanganku mulai mendingin.     Tidak terjadi apa-apa setelah beberapa menit. Aku bingung dan membuka mataku. Dia memandangku dengan wajah yang sangat merah. “Aku sudah katakan padamu untuk mendorongku. Kenapa kau malah menutup matamu...? Aku benar-benar akan melakukannya loh...” ia melirik ke arah lain menghindariku.     Aku penasaran kenapa wajahnya juga ikut-ikutan memerah. Suasana di antara kami menjadi canggung. Xu Qiang melirikku dengan ujung matanya. “K... katakan sesuatu...” katanya tiba-tiba. “A... apa? Apa yang kau mau aku katakan?” tanyaku bingung juga. “Banyak yang bisa kau ceritakan, pilih satu topik yang menarik...” balasnya. “Aku tidak bisa memilih salah satu jika kau menyuruhku seperti itu!” aku hanya duduk diam sambil memandang ke arah lain.     Tiba-tiba, mobil kami berhenti mendadak hingga membuatku yang duduk di hadapan Xu Qiang langsung terlempar ke tubuhnya. Xu Qiang otomatis langsung menangkapku ke dalam pelukannya. Aku langsung menarik diriku darinya. “Ma... maaf...” kataku pelan. “Tidak masalah...” jawabnya. Sepertinya ia juga masih canggung.     Mobil kami kembali bergerak seakan tidak terjadi apa-apa. Kami masih berdiam diri. Aku harus mengatakan sesuatu daripada kami terus berdiam diri. Tapi, entah kenapa aku tidak bisa memikirkan apapun!     Jantungku masih berdebar-debar kencang. Aku bingung kenapa aku terus-terusan berdegup kencang bila berada didekatnya. Sepertinya memang aku telah jatuh cinta padanya.....                                                                                           ***     Hari operasi Miu tiba. Aku mengingat tanggal hari ini dengan baik karena aku memiliki sebuah rencana. Aku sudah memikirkan hal ini selama beberapa hari dan melakukan riset secara diam-diam mengenai lokasi acara pembukaan dengan rumah sakit Akiyama. Rasanya aku ingin sekali memberitahu rencanaku pada Tomoka, namun ini bisa membuat semuanya menjadi runyam karena aku tahu Tomoka tidak pandai berakting.     Kami tiba di rumah pelukis Jepang ternama itu yang entah kenapa sangat mirip dengan rumah keluarga Tomoka sehingga tidak membuatku terkejut melihatnya. Jantungku mulai berdegup kencang karena aku harus segera menjalankan rencanaku.     Aku berpura-pura pingsan dan langsung jatuh ambruk hingga membuat semua orang terkejut. Lumayan menyakitkan untuk jatuh di tanah yang keras namun ini namanya pengorbanan. Sesuai dengan dugaanku, Sean segera menghubungi mobil ambulans dan aku berharap jika dugaanku tepat kembali. Rumah sakit Akiyama adalah rumah sakit terdekat dari rumah si pelukis. Sebenarnya aku sedikit bersalah dengan si pelukis karena acaranya jadi gagal akibat ulahku. Tapi, kesempatan ini tidak akan datang dua kali...     Tomoka benar-benar panik dan menggoncangkan tubuhku beberapa kali. Aku sebenarnya ingin tertawa melihatnya begitu panik, namun aku harus menahannya. Ekspresinya yang sangat khawatir membuatku semakin sayang padanya. Aku tahu jika ia sangat mempedulikanku.     Aku dibawa mobil ambulans dan baru kali ini aku merasa senang melihat Dr. Hirata karena itu berarti rencanaku berhasil. Aku sampai di rumah sakit Akiyama sesuai perkiraan. Secara kebetulan, Dr. Hirata juga yang memeriksaku dan ini benar-benar kesempatan yang jarang terjadi.     Untung saja Sean dan Tomoka tidak ikut masuk ke dalam ruangan sehingga aku bisa menjalankan rencanaku berikutnya. Dr. Hirata dengan cepat sibuk memeriksa jantungku dan denyut nadiku. Keningnya berkerut karena sesuatu yang janggal. Ya wajar saja, karena aku memang tidak sakit apa-apa.     Aku kemudian menghela napas panjang sehingga membuat Dr. Hirata terkejut melihatku seperti itu. “Pangeran! Anda sudah sadar???” tanyanya dalam bahasa Jepang yang tidak kumengerti.     Ah, aku baru menyadari jika aku akan kesulitan untuk berkomunikasi dengan dokter ini. Ia tidak bisa bahasa Mandarin dan aku juga tidak bisa berbahasa Jepang. Hanya ada satu alternatif kalau begitu...     “Can you speak English?” tanyaku langsung sambil berharap jika dokter ini bisa berbahasa Inggris atau aku akan terpaksa meminta Tomoka menerjemahkan semua ucapanku.     Dr. Hirata tertegun mendengarku dan dengan polosnya dia berkata, “Sure, I'm a doctor and English is my priority lesson at medical.”     Oh, terima kasih Tuhan... aku akhirnya bisa berkomunikasi dengan dokter ini. Aku beranjak bangun dan Dr. Hirata terkejut melihatku bangkit seperti tidak terjadi apa-apa. “Don't move so much! You just fainted,” seru Dr. Hirata dan ia berusaha untuk membuatku berbaring lagi. “I'm alright. I'm just faking it,” jawabku sehingga membuat Dr. Hirata tertegun mendengarnya.     Aku bisa melihat jika wajahnya ingin protes dengan tindakanku tapi aku langsung memandangnya dengan serius.     “I'm here for that little girl.”            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD