Back to The Past pt. 2

2174 Words
Kenangan terkadang justru jadi kelemahan seseorang, tapi kenangan juga dapat menjadi kekuatan pada saat-saat tertentu.   *****   7 April 2002.   “Makannya pelan-pelan saja, Kim! Nanti kau tersedak,” Oh Sehan kembali mengingatkan sang kekasih, Kim Dain agar makan dengan hati-hati, tapi lagi-lagi hanya dianggap angin lalu. Gadis itu makan dengan sangat lahap, bahkan terlihat seperti orang kelaparan. Tingkahnya ini membuat Sehan hanya mampu menggelengkan kepala tak percaya.   Saat ini keduanya berada di kedai jajjangmyeon langganan Dain, merayakan hari jadi hubungan mereka yang pertama. Sebenarnya hari jadi mereka jatuh pada esok hari, yaitu tanggal 8 April, tapi Dain dan Sehan memutuskan untuk merayakannya lebih awal. Mereka sudah punya rencana ingin menghabiskan waktu bersama selama sehari penuh, maka dari itu mereka memilih hari ini karena sekarang hari Minggu.   “Kau tahu sendiri kan, kalau aku sangat menyukai jajjangmyeon? Itu sebabnya aku makan dengan bersemangat,” Dain merespons setelah menandaskan segelas air putih. Seporsi jajjangmyeon yang tadi disantapnya sudah habis tidak bersisa. Senyum lebar terlukis di wajah cantiknya.   “Iya aku tahu,” Sehan merespons sembari ikut tersenyum. “Membahagiakanmu itu mudah, ya? Hanya tinggal mengajakmu makan jajjangmyeon dan kau pun tersenyum lebar.”   Dain tertawa dan Sehan menghadiahinya cubitan di ujung hidung, kebiasaan jika sedang gemas dengan sang kekasih. Sepasang sejoli itu tidak terlibat obrolan lagi sampai Sehan berhasil menghabiskan makanannya. Setelah membayar, keduanya pun pergi ke tujuan selanjutnya, yaitu tempat karaoke.   Seperti biasa, daftar lagu yang mereka nyanyikan didominasi oleh pilihan Dain. Maklum saja, Sehan bukan orang yang sering mendengarkan musik atau tahu banyak lagu seperti sang kekasih. Selain tahu banyak lagu, Dain rupanya juga hobi bernyanyi. Bahkan ia juga memiliki suara yang cukup bagus. Daripada ikut bernyanyi, sebenarnya Sehan lebih suka mendengarkan suara kekasihnya itu. Apalagi jika lagu yang dinyanyikan adalah lagu favorit Dain.   Seperti yang dilakukan Sehan saat ini. Pemuda itu hanya tersenyum memperhatikan Dain yang mulai heboh menyanyikan lagu S.E.S, I’m Your Girl. Tidak hanya itu, Dain bahkan hafal gerakan tari yang ditunjukkan oleh ketiga anggota girlgroup populer tersebut.   “Ayo!” Dain terus membujuk Sehan sambil menarik-narik pemuda itu agar ikut menari bersamanya. Sehan menggeleng, tapi Dain tak gentar. Dain terus merayu Sehan sehingga ia pun akhirnya takluk dan mengikuti apa yang dilakukan oleh sang kekasih.   Malam pun menjelang. Sehan mengantarkan Dain pulang. Tadinya Dain tidak ingin pulang secepat ini, tapi Sehan terus meyakinkannya agar mau pulang. Ia beralasan tidak ingin dicap pemuda yang buruk di mata ibu Dain dan juga adik kembarnya, Jeongin kalau pergi dengan gadis itu sampai larut malam. Lagi pula, besok mereka juga harus sekolah.   “Terima kasih untuk hari ini,” Dain berujar sambil tersenyum manis menatap Sehan.   Sehan mendaratkan tangan di puncak kepala Dain dan mengacaknya pelan. “Terima kasih juga karena sudah mengajakku bersenang-senang hari ini,” balasnya. Dain mengangguk.   “Ya sudah, sana masuk!” lanjut Sehan.   Mendadak senyum Dain luntur dan digantikan oleh rengutan sebal. Ia menggeleng keras. Tentu saja hal ini membuat Sehan tergelak. “Hei, kau harus masuk!”   Lagi-lagi Dain menggeleng. “Aku tidak mau masuk kalau kau tidak memberiku ciuman selamat tidur dulu!” Seketika Sehan membelalakkan matanya ketika Dain memajukan wajahnya sambil mengerucutkan bibir. Sehan langsung membekap Dain dengan sebelah tangan.   “Mmph!”   “Kim, kau gila? Mana mungkin aku menciummu di depan rumah seperti ini? Kalau Bibi Sora atau Jeongin melihatnya bagaimana?” Sehan berbisik, seolah takut kalau ada orang lain yang mendengarkan percakapan mereka.   Dain berusaha sekuat tenaga membebaskan diri dari Sehan. Rupanya ia tidak butuh waktu lama karena Sehan tidak terlalu kuat membekapnya. Dain langsung memprotes, “Kau ini apa-apaan sih? Kenapa membekapku?”   “Salah siapa kau—“   “Tenang saja, di rumah sedang tidak ada orang kok.”   “Hah?”   Dain menghela napas sejenak sebelum membuka mulut untuk menjelaskan, “Ibu dan Jeongin pergi ke rumah Bibi Eunjung di Busan. Mungkin sekarang mereka masih di perjalanan pulang. Kau tega membiarkanku sendirian di rumah menunggu mereka pulang?”   “Kenapa kau tidak bilang sejak tadi?” Sehan menatap Dain tidak habis pikir, tapi gadis di hadapannya itu hanya mengangkat bahu.   “Aku sengaja ingin menggodamu.” Dain terkikik geli saat melihat raut Sehan usai ia bicara begitu. “Aku sudah menduga kalau reaksimu akan seperti tadi. Lagi pula, tadinya kukira mereka sudah pulang, tapi ternyata belum. Lihat saja! Lampu di dalam rumah masih padam.”   Bukannya merespons Dain dengan kata-kata, Sehan justru menyentil dahi gadisnya. Rautnya tampak kesal.   “Aduh! Kenapa kau menyentilku?” Dain mengusap-usap dahinya sambil mengerucutkan bibir, tak terima.   “Salah siapa malah mengerjaiku, hm?”   “Iya, maafkan aku! Yang penting sekarang temani aku dulu, oke?” Tanpa perlu mendengar jawaban Sehan, Dain langsung mengajak kekasihnya itu ke dalam rumah. Ia mempersilakan Sehan duduk di sofa ruang tengah sementara ia berganti pakaian di kamar. Lima menit kemudian, gadis itu keluar dengan mengenakan kaos oblong dan celana pendek setengah paha. Ia langsung melesat ke dapur.   “Kalau kau ingin menonton televisi, nyalakan saja! Anggap rumah sendiri!” Dain setengah berteriak dari dapur. Sepertinya ia sedang menyiapkan minuman dan camilan untuk Sehan.   Alih-alih merespons, Sehan justru bangkit dari sofa dan menyusul sang kekasih. Melihat Dain yang tampak sibuk di dapur membuatnya tersenyum.   “Kenapa tersenyum?” tanya Dain sambil mengangkat nampan berisikan dua cangkir the dan setoples makanan ringan kemudian membawanya ke ruang tengah. Sehan hanya menggeleng dan mengekorinya.   “Lucu juga ya ternyata melihatmu seperti itu?” ujar Sehan sambil melesakkan pantatnya ke sofa. Dain menatapnya tak mengerti dan ikut duduk di samping kekasihnya.   “Melihatku seperti apa maksudmu?” Dain bertanya, tapi atensinya tidak terfokus pada Sehan. Tangan gadis itu menjangkau remote televisi dan menyalakannya, mencari saluran yang menarik untuk ditonton.   Sehan mendekatkan wajahnya ke arah Dain dan berbisik tepat di telinganya. “Seperti gadis rumahan yang manis.”   “Aku kan memang manis!” Dain langsung menyergah dan menoleh. Namun, posisinya dan Sehan yang sangat dekat saat ini membuat keduanya sukses bertatapan dalam diam.   Semakin lama tatapan mata mereka semakin dalam. Tangan Sehan yang tadinya berada di paha kini mulai terangkat guna merangkum wajah Dain. Ibu jarinya mengusap lembut pipi sang kekasih. Sehan tersenyum tipis sebelum mendekatkan wajahnya. Tidak lama setelah Dain memejamkan mata, sebuah kelembutan pun menyapa bibirnya. Mereka berciuman dengan penuh ketulusan.   *****   4 Juli 2002.   “Pindah ke New York? Kenapa?” Sehan menatap kedua orang tuanya bergantian, tampak terkejut dengan info yang baru saja disuapkan ke telinganya.   Oh Seungjun selaku ayah Sehan terlebih dahulu bertukar tatap dengan Minhye, istrinya sebelum menjawab, “Perekonomian keluarga kita sedang tidak baik, jadi akan lebih baik jika kita ke pindah ke New York, Sehan. Lagi pula, Soohyuk menawarkan Ayah kerjasama—“   “Tapi aku tidak bisa pergi sekarang, Ayah!” Sehan menggeleng tak setuju. Raut tak suka menghiasi wajah tampannya. “A-Aku tahu kalau kondisi ekonomi keluarga kita sedang sekarat, tapi aku benar-benar tidak bisa pergi secepat ini—“   “Apa ini gara-gara kekasihmu itu?” tukas Seungjun cukup kasar. Raut pria paruh baya itu tampak mengeras. “Kau tidak ingin pergi karena tidak ingin meninggalkannya, kan?” Sehan hanya bisa menunduk, tak berani menjawab.   Seungjun tergelak, tak habis pikir. “Jadi gadis itu lebih penting daripada keluargamu sendiri, ya?”   “Bukan begitu, Ayah!” elak Sehan sambil mengangkat kembali kepalanya yang sejak tadi tertunduk. “A-Aku hanya tidak siap pindah secepat ini. Kumohon, paling tidak biarkan aku menamatkan sekolah di sini.”   “Sayang,” kali ini giliran Minhye yang angkat bicara. Tangannya terulur guna menjangkau milik sang sang suami yang duduk di sebelahnya. Wanita cantik yang masih tampak awet muda itu mencoba membantu sang putra semata wayang untuk membujuk Seungjun. “kurasa Sehan benar. Tidak ada salahnya jika kita menunggu sampai Sehan lulus, kan?”   “Tapi tawaran Soohyuk tidak akan datang dua kali, Sayang. Apalagi kondisi ekonomi kita juga semakin buruk setiap harinya. Kita tidak punya banyak waktu.”   “Iya, aku tahu, tapi—“   “Bagaimana kalau kalian saja dulu yang pindah?” Sehan menginterupsi perdebatan kedua orang tuanya. “Setelah lulus, aku janji aku akan menyusul kalian ke New York.”   Seungjun menjadi orang pertama yang membuka mulutnya hendak merespons, tapi langsung disela oleh Minhye. “Sayang, tidak ada salahnya jika kita mengikuti usulan Sehan. Lagi pula, Sehan sudah besar. Aku yakin dia bisa menjaga diri. Ada Bibi Song juga yang akan menemaninya selama kita pergi mengurus bisnis di New York.”   Seungjun masih tampak sangsi mendengar penjelasan Minhye. Pria itu tampak mempertimbangkan. Setelah sekian lama berpikir, Seungjun pun bangkit dari sofa dan berkata, “Ya sudah, kita lihat saja nanti bagaimana baiknya.” Kemudian, ia beranjak pergi meninggalkan ruang santai menuju kamarnya di lantai dua.   Sehan menghembuskan napas lega, begitu pula dengan Minhye. Sepasang ibu dan anak ini saling bertatapan dan tersenyum. “Terima kasih, Bu,” Sehan berujar.   Minhye hanya mengangguk dan bangkit dari sofa yang ia duduki. Setelah kedua orang tuanya pergi, Sehan hanya sendiri di ruangan itu. Saat ia hendak pergi ke kamarnya, telepon rumah berdering. Sehan pun mengangkat panggilan itu, namun satu berita mengejutkan langsung menyapanya dari ujung sambungan. Membuat tubuhnya seketika mati rasa.   Kim Dain baru saja meninggal dunia. Membuat dunia yang dipijak Sehan terasa runtuh dalam sekejap mata. Kematian sang kekasih hati rupanya membuat perasaan Sehan hancur dan memutuskan untuk ikut pindah ke New York beberapa minggu kemudian.   *****   4 Juli 2012   Tepuk tangan meriah menyambut Kim Nara usai dirinya meniup lilin berangka 10 di atas kue. Hari ini adalah hari ulang tahunnya dan seperti biasa, ia merayakannya di rumah dengan mengundang teman-teman sekolahnya. Nara tampak cantik dengan pakaian ala putri Disney lengkap dengan mahkota kecil yang menghiasi kepalanya.   “Selamat ulang tahun, Sayang!” Junhwan dan Jihyun kompak mencium pipi anak perempuan mereka. Bersamaan dengan itu, sebuah foto pun tercipta. Potret keluarga kecil bahagia.   Usai acara tiup lilin dan potong kue, Nara pun berbaur dengan teman-temannya. Mereka bermain dengan penuh sukacita sampai akhir acara menjelang. Setelah teman-temannya pergi, Nara pun disibukkan dengan agenda buka kado. Gadis cilik itu mendapatkan banyak sekali mainan. Ia tampak begitu gembira.   Akan tetapi, kebahagiaan Nara petang itu harus diselingi kesedihan karena Junhwan harus pergi. Sejatinya ia harus menghadiri sebuah konferensi di luar negeri, tapi ia menunda keberangkatan demi menghadiri acara ulang tahun putrinya dulu. Saat ini, ia beserta anak dan istrinya sudah sampai di bandara.   “Ayah harus membawakan Nara oleh-oleh, ya!” ujar Nara setelah mendapatkan ciuman perpisahan dari sang ayah. Wajahnya masih saja ditekuk, kecewa karena Junhwan meninggalkannya di hari paling istimewa dalam hidupnya.   Junhwan tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja Ayah akan membawakan oleh-oleh untuk Nara. Nara tidak usah khawatir, oke?”   Dengan bibir yang masih mengerucut sempurna Nara mengangguk sebagi respons. Junhwan pun beralih pada sang istri dan berpamitan pada wanita itu. Tadinya ia ingin sekali mengecup bibir Jihyun, tapi karena ada Nara dan mereka juga sedang berada di tempat umum, ia urung melakukannya. Ia hanya mampu mendaratkan ciuman di dahi sebagai tanda perpisahan.   “Jaga diri baik-baik, ya!” Junhwan berpesan sebelum benar-benar pergi dari hadapan istri dan putrinya.   “Kau juga!” balas Jihyun sembari melambaikan tangannya. Nara ikut melambaikan tangan kepada sang ayah.   Usai memastikan kalau Junhwan sudah benar-benar tidak terlihat lagi, Jihyun pun mengajak Nara pulang. Perjalanan yang cukup jauh dari bandara menuju rumah membuat Nara tertidur di dalam mobil. Namun, di dalam tidurnya Nara ternyata mimpi buruk. Gadis cilik itu kelihatan gelisah dan ia terbangun sambil berteriak, “Oh Sehan!” Kemudian ia menangis.   Mendapati sang anak menangis dan tampak histeris, Jihyun pun merasa panik. Dengan sigap wanita itu menepikan mobilnya dan menanyakan keadaan Nara. “Nara kenapa? Nara bermimpi buruk, ya?” Jihyun memeluk putrinya sambil menenangkan gadis cilik itu. “Tenanglah, Sayang! Ada Ibu di sini. Jangan menangis lagi.”   “Ibu,” Nara menarik diri dari dekapan sang ibu. Ia menatap Jihyun yang balik menatapnya bertanya-tanya. “aku sudah ingat semuanya, Bu. Aku sudah ingat siapa aku.”   Tentu saja perkataan Nara membuat Jihyun tak mengerti. “Apa maksudmu, Sayang? Kau itu Kim Nara, putri kesayangan Ayah dan Ibu—“   Gelengan keras yang Nara berikan membuat kata-kata Jihyun terputus. “Aku tahu siapa diriku yang dulu, Bu. Aku ingat kehidupanku sebelum ini.”   Jihyun menatap Nara terkejut, tapi ia tidak mampu berkata-kata.   “Sepuluh tahun yang lalu aku hidup dengan nama Kim Dain. Aku tinggal dengan seorang ibu bernama Kim Sora dan saudara kembar bernama Kim Jeongin. Ayahku sudah meninggal sejak aku masih balita. Aku bersekolah di SMA Hawon dan di sana aku memiliki seorang kekasih bernama Oh Sehan.” Kim Nara tiba-tiba tercekat usai melontarkan deretan kalimat itu. Sambil menggigit bibir, ia mencoba menata hatinya kembali dan melanjutkan, “Tepat pada hari ini sepuluh tahun yang lalu, aku ditabrak mobil hingga meninggal. Lokasi penabrakannya adalah di tempat ini, Bu.”   Lagi-lagi Jihyun tidak mampu merespons dan hanya bisa menatap putri semata wayangnya tidak percaya. Di tengah-tengah kebingungan yang melanda, wanita itu melihat sekeliling kemudian menarik Nara ke dalam pelukannya. Ia ikut menangis bersama sang buah hati yang kembali menumpahkan air matanya.   Ibu, Jeongin, Sehan … aku merindukan kalian. Aku harus bertemu dengan kalian, Nara bertekad dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD