Vacillate

2157 Words
Raga kami memang berbeda, tapi jiwa kami adalah jiwa yang sama. Ingatan dan perasaan kami tidak berubah. Kami mencintaimu, Oh Sehan.   -          Kim Nara   *****   "Kau berbohong.”   Dua kata itu terlontar dari bibir Sehan sebagai respons atas pernyataan yang Nara berikan beberapa saat lalu. Ia membutuhkan waktu hampir dua puluh detik untuk mengembalikan fungsi lidahnya yang sempat kelu karena syok.   Nara tampak tersenyum miring. Gadis itu tak langsung membalas dan hanya melangkahkan kaki semakin dekat dengan Sehan. Lima detik setelahnya barulah ia bersuara, “Aku tahu kau pasti akan bicara seperti itu, Guru. Tapi aku bisa membuktikan kalau aku tidak bohong.”   “Bukti?”   Lagi-lagi Nara tersenyum yang membuatnya tampak semakin misterius. Ia menunduk dan mengambil bunga krisan dalam genggaman Sehan. Sehan tidak menolak saat bunga itu berpindah tangan. Ia terus mengamati gerak-gerik gadis di hadapannya yang saat ini justru asyik menghirup wangi krisan.   “Salah satunya bunga ini,” Nara menjawab. “Bunga krisan pertanda kesetiaan ini adalah bunga favoritku. Bunga favorit Kim Dain.”   Sehan menggeleng dan tersenyum seolah meremehkan. “Itu bukan bukti yang cukup kuat. Bunga favorit setiap orang bisa saja sama—“   “Ya, aku tahu, tapi aku bisa menjelaskan kepadamu bagaimana awalnya Kim Dain menyukai bunga ini.”   Raut wajah Sehan berubah tegang. Ia mendadak takut sekaligus tidak siap dengan apa saja yang Nara coba jelaskan padanya. Lebih tepatnya, ia tidak tahu harus bersikap bagaimana nantinya. Sehan tidak ingin percaya, logikanya pun mendukung hal itu, tapi hatinya seolah berkhianat.   Nara tampak menerawang saat memulai ceritanya. “Sebenarnya sejak dulu Dain tidak suka bunga dan baru menyukainya setelah ada satu kejadian yang ia alami bersama dirimu. Saat itu kalian sekolah bersama dan duduk berdua di bus yang sudah penuh dengan penumpang. Seorang nenek yang membawa krisan tiba-tiba masuk dan kau mempersilakannya untuk duduk di tempatmu. Dain memuji betapa cantiknya bunga yang nenek itu bawa, lalu sang nenek bercerita banyak soal bunga krisan itu, mulai dari nama dan maknanya. Sejak itu Dain menjadikan krisan sebagai bunga favoritnya. Bahkan saat ulang tahunnya pun Dain pernah memintamu untuk menghadiahkannya bunga krisan, kan?”   Lagi-lagi Sehan tampak syok usai mendengar cerita Nara. Bahkan, pria itu juga tak sadar kalau matanya mulai berkaca-kaca. Kenangan manis sekaligus pahit itu sukses membuatnya teringat pada mendiang sang kekasih.   “Dari mana kau tahu soal itu?” Sehan angkat bicara setelah cukup lama terdiam. Netranya masih senantiasa berkaca-kaca, tapi tidak sampai meneteskan air mata.   “Sudah kubilang kalau aku adalah reinkarnasi Kim Dain, kan? Aku tidak hanya memiliki ingatannya, tapi juga perasaannya—“   “Tidak!” Sehan memundurkan tubuhnya sembari menggeleng tidak percaya. “Aku tetap tidak percaya padamu. Bisa saja kau mencari informasi mengenai dirinya dan mulai mengada-ada. Kau terlalu terobsesi padaku sehingga—“   “Kau benar!” Nara mengambil langkah mendekat, tapi Sehan justru semakin menjauh. “Aku memang terobsesi padamu, Oh Sehan. Kisah lama kita yang belum usai membuatku semakin ingin bersamamu lagi. Tapi aku berani bersumpah kalau aku tidak mengada-ada. Aku benar-benar reinkarnasi dari Kim Dain. Aku masih punya banyak bukti—“   “Kau tidak perlu membuktikan apa-apa lagi karena aku tetap tidak akan percaya.” Kata-kata itu menjadi penutup sebelum Sehan menghentakkan kaki pergi dari area makam. Sehan mengira kalau Nara akan mencegah atau bahkan mengejarnya, tapi hal itu tidak terjadi sampai akhirnya ia berhenti berjalan karena mendengar suara gadis itu.   "Hari ini aku berulang tahun, tepat tujuh belas tahun setelah kematian Dain."   Sehan masih saja diam. Ia tidak menoleh ataupun berbalik, tapi telinganya senantiasa mendengarkan.   "Dan kau tahu? Aku lahir di rumah sakit yang sama dengan tempat Dain mendapatkan perawatan medis dulu, Rumah Sakit St. Marry."   Informasi ini tentu saja membuat Sehan membelalak tak percaya, tapi sebisa mungkin ia berusaha tak acuh kemudian melanjutkan langkahnya yang tertunda. Mencoba abai pada kenyataan bahwa hati dan tubuhnya bergetar hebat, ingin mencecar Nara dengan segala pertanyaan yang berputar di otaknya, namun tidak bisa. Lidahnya terlalu kelu untuk sekedar bicara.   Begitu masuk mobil, pria itu sibuk terdiam dan mencoba meredakan amarah, rasa bingung, dan penasaran yang bercampur aduk menguasai benaknya. Berusaha menata hati dan perasaannya yang kacau akibat ulah sang Gadis Kim.   “Ya Tuhan, sebenarnya apa ini?” Sehan tak mengerti.   *****   Chanyoung menghela napas lesu untuk kesekian kali. Tatapannya enggan terlepas dari jalanan di seberang kafe tempatnya berada saat ini. Sudah hampir tiga puluh menit pria itu bertahan dengan posisinya, sampai-sampai kopi di atas meja ia anggurkan begitu saja.   “Sepertinya kau memang b***k cinta kopi buatan kafeku ya hingga rela datang jauh-jauh ke sini?” Suara seseorang tiba-tiba membuyarkan lamunan Chanyoung dan membuatnya mengalihkan atensi. Si tampan pemilik suara itu duduk di seberang Chanyoung. “Padahal kau bisa saja pergi ke restoran hotelmu atau kafe-kafe di dekat sana, tapi kau justru memilih pergi kemari. Ada apa, hm?”   Chanyoung terkekeh pelan menanggapi. “Aku tidak tahu kalau kau sudah kembali ke Seoul. Kukira kau masih Jeju.”   “Aku baru saja sampai di Seoul dan memang mau mampir ke kafe sebelum pulang, tapi karena ada kau, aku memutuskan untuk menyapamu dulu.”   “Woah, kau memang sahabat yang sangat baik! Betapa beruntungnya aku memilikimu, Kim Youngdae.” Chanyoung mengacungkan kedua jempolnya dengan gaya yang berlebihan lalu menepuk-nepuk bahu kiri Youngdae. Youngdae tergelak.   “Kau berlebihan!”   “Berlebihan apanya? Ini tanda cintaku padamu, Youngdae Sayang.”   “Menjijikkan!” Youngdae membuat gestur seolah akan melayangkan bogem mentahnya pada Chanyoung, tapi sang sahabat justru berakting seolah ketakutan.   “Youngdae, kenapa kau tega sekali padaku yang manis ini? Padahal aku hanya mengungkapkan rasa sayangku kepadamu sebagai sahabat. Dulu saja di pesta kelulusan kau memintaku untuk menciummu, kan?” Kali ini Chanyoung melancarkan aegyo yang sangat tidak cocok untuk pria dewasa sepertinya. Membuat Youngdae terkejut, semakin kesal, dan memasang wajah angker yang khas, seolah ingin memakan pria di hadapannya hidup-hidup.   "Hei, kau jangan bicara sembarangan, ya! Siapa juga yang minta dicium olehmu?"   Chanyoung memicing, seolah menggoda Youngdae yang wajahnya tampak memerah. "Kau lupa, hm? Kau sendiri yang begitu menikmati ciuman kita waktu itu."   "Itu karena aku sedang mabuk. Kalau aku dalam keadaan sadar, mana mau aku menciummu? Kau pikir aku gay? Aku masih normal, tahu!"   Lagi-lagi Chanyoung memasang gestur dan ekspresi menyebalkan yang membuat Youngdae semakin geram. Pria itu mengambil kopi Chanyoung dan mengangkatnya dari meja sambil berujar, “Hentikan sikapmu ini sebelum aku benar-benar—“   “Eh, baiklah aku berhenti! Tapi jangan siram aku, oke?” Chanyoung buru-buru mencegah. Ia menghembuskan napas lega saat Youngdae akhirnya meletakkan kembali kopinya di meja.   “Awas kalau lain kali kau berani membicarakan hal ini di depan calon istriku! Aku tidak segan-segan akan memotong telinga Yoda-mu dan menjadikannya makanan anjing!” Youngdae mengancam. Chanyoung meringis dan refleks memegang kedua telinganya.   "Astaga rupanya kau pria yang sadis! Padahal wajahmu seperti malaikat, tapi kelakuanmu sungguh kejam."   Mendadak Youngdae mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih ramah, tapi tetap ada kesan creepy di dalamnya. "Aku hanya bersikap seperti malaikat kepada orang-orang yang baik. Orang sepertimu tidak masuk kriteria karena kelakuanmu seperti iblis. Menyesatkan."   "Sialan!" Chanyoung tampak bersungut-sungut tak terima, sementara Youngdae langsung tertawa terbahak-bahak.   “Omong-omong sudah sejauh mana rencana pernikahanmu?” Chanyoung bertanya guna mencairkan suasana. Kopi yang sejak tadi dianggurkannya mulai ia sesap perlahan.   Senyum lebar Youngdae terkembang. “Hampir sempurna. Itu sebabnya aku pergi ke Jeju untuk meninjau tempat-tempat yang nantinya akan kujadikan sebagai tempat resepsi.” Chanyoung hanya mengangguk-angguk sebagai respon. Hal ini memantik rasa penasaran Youngdae sehingga melontarkan pertanyaan, “Bagaimana denganmu? Apa kau sudah menemukan pengganti Jung Soyi?”   Pertanyaan itu membuat raut Chanyoung seketika berubah. Tidak lama kemudian, ia justru tergelak dan membuat Youngdae gantian merasa aneh dengan sikapnya. “Hubunganku dan Soyi sudah lama berakhir, Youngdae. Untuk apa membahasnya lagi?”   “Ya karena seingatku setelah putus dengan Soyi kau tidak pernah terlihat bersama gadis lain lagi. Aku pikir kau belum bisa move on darinya.”   “Putus dengannya memang merupakan penyesalan terbesarku, tapi aku sudah move on sejak lama.” Mendadak Chanyoung terlihat begitu sedih. “Soyi pantas mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dariku. Lelaki yang bisa membahagiakannya dan tidak terikat dengan masa lalu sepertiku.”   “Memang kau punya masa lalu dengan siapa sebelum bersama Soyi? Seingatku kau tidak pernah seserius itu menjalin hubungan, kecuali dengannya.”   Chanyoung tersenyum dan seolah menerawang. “Ada beberapa hal yang tidak kau tahu mengenai diriku, Youngdae. Aku punya masa lalu yang membuatku tak pantas meresa bahagia hingga saat ini. Itu sebabnya aku merelakan Soyi pergi. Kalau aku sendiri saja belum merasa pantas bahagia, bagaimana bisa aku membahagiakan orang yang berada di sisiku?”   “Hei, kenapa kau bicara seperti itu? Setiap orang pantas untuk bahagia, termasuk kau. Terlepas dari bagaimana masa lalumu itu, aku selalu percaya akan adanya kesempatan kedua. Semua orang berhak mendapatkannya. Kau bisa memperbaiki masa lalumu di masa sekarang kalau memang itu bisa membuatmu bahagia nantinya.”   Chanyoung tersenyum sendu.   “Omong-omong soal pengganti Soyi,” tiba-tiba Chanyoung mengubah topik pembicaraan. Rautnya mendadak kembali ceria. “aku bertemu seseorang.”   “Benarkah? Ceritakan padaku!” Youngdae tampak antusias. Dan akhirnya sisa jam makan siang itu dihabiskan kedua pria tersebut untuk membicarakan sosok cantik yang berhasil mencuri hati Chanyoung sejak pertemuan pertama. Oh, Chanyoung tidak bercerita terlalu detail, tentu saja. Ia hanya menceritakan bagian-bagian yang bisa ia bagi kepada sang sahabat, kecuali usia Nara yang sebenarnya.   *****   Ada yang berubah dari sikap Nara kepada Sehan akhir-akhir ini. Jika dulu gadis itu kerap menunjukkan ketertarikan yang begitu kentara terhadapnya, kali ini Nara memilih untuk tak acuh. Bahkan, gadis itu memilih menghindari Sehan dengan membolos saat jam pelajaran matematika. Ia juga tidak pergi ke atap sekolah seperti biasanya.   Apakah Sehan khawatir pada Nara? Tentu saja, tapi yang pasti rasa bersalah juga tak kalah mendominasi saat ini. Sehan takut setelah pembicaraan di makam waktu itu Nara jadi nekat melakukan sesuatu yang tidak-tidak. Terlepas dari apa yang Nara lakukan dan rasakan terhadapnya, Gadis Kim itu tetaplah muridnya. Itu sebabnya Sehan masih peduli pada Nara.   Akan tetapi, rupanya diam-diam Sehan mulai penasaran akan satu hal; reinkarnasi. Di sela-sela waktu senggangnya, ia iseng mencari artikel atau apa pun yang berkaitan dengan hal itu di internet. Sehan terkejut saat menemukan info mengenai orang-orang yang bisa mengingat masa lalu mereka. Lebih tepatnya, mengingat kehidupan sebelum kehidupan mereka saat ini.   “Jadi hal semacam ini memang bisa terjadi?” lirih Sehan dengan nada tak percaya.   “Hal seperti apa memangnya?”   Suara Baekwon yang tiba-tiba muncul berhasil membuat Sehan terkejut setengah mati dan refleks menutup layar laptop. Sehan melayangkan tatapan kesal pada pria yang baru saja melesakkan p****t di sampingnya. Saat ini keduanya sedang berada di apartemen Sehan.   “Kenapa menatapku begitu?” Baekwon yang baru kembali dari kamar mandi bertanya dengan wajah tanpa dosa. Sehan hanya berdecak dan menggeleng sebagai jawaban. Pria itu membereskan meja yang penuh dengan tumpukan kertas serta laptop lalu membawa barang-barang itu ke kamarnya.   Sekeluarnya dari kamar, Sehan mengernyit heran mendapati Baekwon yang asyik menonton televisi. Dengan nada yang cukup sinis bertanya, “Kau benar-benar tidak ada pekerjaan, ya? Dosen macam apa kau ini?”   Baekwon langsung memprotes, “Enak saja! Aku tadi sudah memeriksa hasil kuis mahasiswaku kok. Tugas-tugas juga sudah kuperiksa. Semua pekerjaanku sudah kuselesaikan sebelum pulang mengajar. Itu sebabnya sekarang aku bisa bersantai.”   Sehan hanya memutar bola mata malas sebelum beranjak ke pintu apartemen.   Baekwon langsung bertanya, “Kau mau ke mana?”   “Mau mengambil laundry,” jawab Sehan sembari membuka pintu dan hendak melangkah keluar, tapi suara Baekwon yang kembali mengalun mau tak mau membuatnya urung melanjutkan langkah.   “Eh, tunggu! Nanti kau mampir ke minimarket juga, ya! Aku titip keripik kentang dan bir.”   “Hm.”   “Terima kasih, Kawan!”   Setelah itu, Sehan pun bergegas pergi ke laundry langganan yang letaknya tidak terlalu jauh dari apartemen. Kebetulan letak laundry juga berdekatan dengan minimarket sehingga Sehan tidak perlu waktu lama untuk meninggalkan kediamannya. Paling tidak ia hanya butuh lima belas menit dengan berjalan kaki.   Sayangnya, hujan turun tepat saat Sehan dalam perjalanan kembali ke apartemen. Membuatnya harus rela berteduh dulu di emperan sebuah kedai yang sudah tutup. Sehan sedikit merutuk karena lupa membawa payung, padahal ia tahu kalau sejak tadi langit memang terlihat mendung.   Ah, benar! Kenapa tidak menghubungi Baekwon saja agar menjemputnya di sini? Ia bisa meminta Baekwon untuk membawakannya payung.   Sehan segera merogoh saku celana, tapi ia terkejut ketika tidak menemukan apa yang ia cari. Otak pintarnya mengingat-ingat di mana terakhir kali ia menaruh benda elektronik itu. Sial! Ponselnya memang tidak ia bawa saat pergi tadi.   Ya Tuhan, kenapa hari ini aku sial sekali?   Tiga puluh menit berlalu. Hujan akhirnya reda juga. Sebelum hujan kembali mengguyur, Sehan buru-buru melanjutkan perjalanan. Namun, ia merasa aneh ketika mendapati bahwa apartemennya dalam keadaan sepi. Televisi yang sebelumnya dalam keadaan menyala kini sudah mati dan orang yang menontonnya tadi tak terlihat batang hidungnya.   “Di mana Baekwon?” Sehan bertanya-tanya. Ia meletakkan belanjaan pesanan Baekwon di meja lalu beranjak ke kamarnya untuk menaruh tas berisi baju-baju yang habis di-laundry.   Akan tetapi ….   Ceklek!   “Aaaaa!”   Bugh!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD