Kadang tidak butuh sesuatu yang hebat untuk membuat seseorang jatuh cinta karena cinta dapat tumbuh dari hal sederhana.
*****
12 November 2000
Semua murid SMA Hawon beramai-ramai mengerumuni papan pengumuman sekolah. Bukan tanpa alasan mereka melakukannya, itu semua karena hari ini adalah pengumuman ranking hasil evaluasi belajar akhir bulan. Beberapa dari mereka ada yang tampak lega karena berhasil meningkatkan ranking, tapi ada juga yang menunduk lesu karena nilai yang didapat tidak sesuai ekspektasi.
“Woah, Oh Sehan! Lagi-lagi kau mendapat ranking satu.” Seorang murid laki-laki ber-name tag ‘Ji Hansol’ menatap takjub sekaligus bangga kepada murid lain yang sedang dia rangkul. Murid bernama Oh Sehan itu hanya menunduk malu sambil mengusap tengkuknya.
“Kalau begini, kau harus menraktirku.”
Sehan tertawa. “Iya-iya. Nanti pulang sekolah kita ke kafe kudapan, bagaimana?”
Hansol bersorak ria. “Itu baru temanku!”
Sehan menggeleng tak percaya sambil tersenyum. Tatapan pemuda tampan itu pun terarah pada sosok murid bernama Kim Dain. Dahinya berkerut saat melihat gadis itu justru naik ke atap sekolah. Dia merasa aneh, kenapa pada saat semua murid sibuk melihat ranking, Dain justru tampak tidak peduli?
Penasaran akan sesuatu, Sehan pun mencari nama Kim Dain dalam daftar. Ah, pantas saja, batinnya. Rupanya ranking Dain ada di tengah-tengah. Sepertinya Dain sudah tahu perihal rankingnya, itu sebabnya sang Gadis Kim tampak tak peduli.
“Kau mencari nama siapa?” Hansol bertanya dengan penasaran. Sehan langsung menggeleng.
“Bukan siapa-siapa,” bohongnya. Sehan tidak tahu kenapa dia harus berbohong pada Hansol, yang jelas ada perasaan asing yang menelusup ke rongga dadanya yang membuat Sehan begitu gugup.
“Ayo ke kelas!” ajak Hansol yang langsung diangguki oleh Sehan. Sembari berjalan, Sehan terus menatap ke arah perginya Dain tanpa sadar.
*****
Pelajaran Matematika sudah dimulai, tapi batang hidung Dain tidak kelihatan juga. Sehan terus menatap ke arah pintu kelas dan meja Dain bergantian. Dirinya gelisah karena Dain tak kunjung masuk kelas, padahal bel sudah berbunyi sejak tadi.
“Mana Kim Dain? Kenapa mejanya kosong?” Pertanyaan itu terlontar dari Guru Nam. Pria paruh baya itu tampak akan marah karena tidak menemukan salah satu muridnya.
Tidak ada yang menjawab. Hampir semua murid kompak menunduk atau berpura-pura sibuk melakukan hal lain.
Guru Nam berdecak. “Ck! Gadis Tengik itu pasti membolos lagi.”
Karena juga penasaran dengan apa yang dilakukan oleh Dain, Sehan pun mengangkat tangannya.
“Ya, Sehan?”
“Saya ingin ke toilet, Guru.”
“Ya sudah, pergilah.”
Guru Nam pun melanjutkan pelajarannya, sementara Sehan pergi ke atap sekolah. Sungguh, ini pertama kalinya Sehan pergi ke atap. Itu sebabnya, Sehan begitu penasaran dengan apa yang ada di atap sampai-sampai Dain betah berlama-lama di sana. Saat Sehan sampai di atas, dia tidak menemukan siapa pun di sana. Hal ini membuat dahinya berkerut kebingungan. Namun, Sehan tidak pergi begitu saja. Dia tetap tinggal dan melihat-lihat.
Sehan mengambil napas kemudian mengembuskannya. “Pemandangan di sini indah juga ternyata. Anginnya juga sejuk. Pantas saja dia betah di sini,” gumam Sehan sembari tersenyum.
Tidak ingin terlalu lama berada di sana, Sehan pun memutuskan untuk turun. Namun, saat hendak pergi dia dibuat terkejut ketika mendapati seseorang sedang tidur dengan posisi bersandar di tangki air. Sosok itu adalah Kim Dain. Kini, Sehan pun dibuat kebingungan. Dia bingung, harus membangunkan Dain atau meninggalkannya saja di sana.
Setelah beberapa detik berpikir, Sehan pun memutuskan untuk mendekati Dain yang masih tertidur pulas, seakan tidak terusik oleh kehadirannya. Sehan berjongkok, menyejajarkan posisinya dengan Gadis Kim tersebut. Seharusnya Sehan segera membangunkan Dain dengan menyentuh bahunya atau sekadar memanggil nama. Namun, hal itu tidak dia lakukan. Alih-alih membangunkan, Sehan justru asyik memandangi wajah cantik Dain. Dain memiliki wajah yang halus dan bersinar. Bulu matanya juga lentik. Bibirnya berwarna merah muda alami dan ….
“Apa yang kau tatap?”
Sehan terkejut dan terjatuh dari posisi jongkoknya. Wajahnya ketakutan, bak habis melihat hantu. Jantungnya berdegup kencang.
Dain membuka matanya dan menatap Sehan galak. “Jawab aku. Apa yang kau tatap, hah? Mengganggu orang tidur saja.” Gadis itu pun bangkit dari posisinya dan mendumal. Sambil berdiri dia merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku.
Sehan tersadar dari rasa kagetnya kemudian berdiri. “A-Aku tadi ingin membangunkanmu, tapi kau tampak pulas. Aku jadi tidak tega.”
Dain tertawa, tapi terkesan begitu sinis. “Tatapanmu saja sudah bisa membuatku bangun karena risih. Jadi, kau tidak perlu repot-repot membangunkanku.” Gadis itu terdiam sebentar sebelum akhirnya melanjutkan, “Oh ya, apa yang kau lakukan di sini? Bukannya ini kelas Guru Nam?”
Sehan terkejut. “Jadi, kau ingat kalau sekarang adalah kelas Guru Nam? Lalu, kenapa kau tidak ke kelas?”
“Karena aku malas dan mengantuk. Daripada aku dimarahi karena tidur di kelas, lebih baik sekalian membolos saja. Kenapa? Apa dia mencariku?”
Sehan mengangguk. “Ya, Beliau mencarimu. Itu sebabnya aku ke sini karena tadi aku melihatmu naik ke atap.”
Wajah Dain tampak panik. “Sial! Kau mengadukanku padanya? Itu sebabnya kau naik ke—“
Sehan dengan sigap menggeleng. “Tidak kok. Kau jangan salah paham dulu. Aku ke sini atas inisiatif sendiri. Sebagai teman sekelas yang melihatmu ke sini, aku agak khawatir kalau terjadi apa-apa padamu. Ternyata kau tidur.”
Awalnya Dain tampak kaget mendengar penjelasan Sehan. Namun, lama-lama gadis itu malah tertawa keras. Sehan kebingungan melihatnya.
“Kenapa tertawa?”
Alih-alih menjawab pertanyaan Sehan, Dain justru menggeleng dan beranjak pergi meninggalkannya. Sehan mengekorinya dengan rasa bingung yang menggelayuti dadanya.
*****
7 Maret 2001
Hari adalah festival sekolah. Festival ini diadakan untuk merayakan hari jadi SMA Hawon yang kelima puluh. Seluruh murid SMA Hawon mempersiapkan acara ini sejak satu bulan belakangan. Masing-masing kelas menyiapkan berbagai jenis stand yang hasil pendapatannya nanti akan disumbangkan untuk amal. Tidak hanya itu, beberapa dari mereka juga menampilkan pertunjukkan seni. Salah satunya, Kim Dain.
Ya, Dain memang apatis jika menyangkut pelajaran, tapi gadis itu selalu akan maju nomer satu kalau itu soal bakat, terutama menyanyi. Dain dan Jeongin sama-sama menyukai seni. Bedanya, Jeongin berbakat di bidang menari, sedangkan Dain suka menyanyi. Keduanya mewakili kelas masing-masing untuk unjuk bakat.
Wae naege mareul mothae imi jinagan ildeul jinbuhan yet sarangyaegi
(Why didn’t you tell me about your past, and your old love stories)
Soljikhi mareul haejwo geureochiman neogen ojik na ppunin geoya
(Speak from your heart, no matter what you tell me, I’m still yours)
Lagu S.E.S yang berjudul ‘I’m Your Girl’ pun mengalun indah dari mulut Dain. Gadis itu tidak hanya menyanyikan lagu dengan fasih, tapi dia juga menarikan koreografi aslinya dengan sempurna. Ya, Dain memang mengidolakan S.E.S dan lagu yang sedang dia bawakan ini adalah lagu favoritnya.
Lagu sepanjang tiga menit lebih itu berhasil diselesaikan Dain dengan baik. Tepuk tangan meriah dari para penonton menjadi penutup yang manis bagi gadis itu. Senyum lebar menghiasi wajahnya hingga turun dari panggung. Namun, senyumannya tergantikan dengan rasa heran ketika mendapati sosok Sehan di belakang panggung. Pemuda itu tampak gugup.
“Ada apa?” Dain bertanya.
Sehan terlebih dahulu mengembuskan napas sebelum berujar, “Aku ingin bicara denganmu berdua saja.”
Dain mengernyit keheranan sambil mengangguk. “Baiklah.”
Rupanya, Sehan mengajak Dain ke kelas mereka. Kelas itu kosng karena semua orang sedang berada di aula sekolah. Kegugupan masih menghiasi wajah tampan Sehan. Membuat Dain curiga kalau pemuda akan ….
“Aku menyukaimu, Kim Dain. Maukah kau menjadi kekasihku?”
… menyatakan cinta padanya.
Satu detik, dua detik, sampai detik itu berubah menjadi menit Dain masih belum menjawab. Gadis itu hanya menatap Sehan dalam diam. Sejatinya Dain langsung berdebar dan dilanda kegugupan. Dia juga mulai menyukai pemuda di hadapannya. Namun, Dain juga masih belum yakin dengan perasaannya sendiri. Itu sebabnya dia sibuk berpikir sejak tadi.
“Aku akan menjawabnya setelah tiga puluh hari lagi.” Akhirnya Dain angkat bicara. “Aku masih belum yakin dengan perasaanku. Jadi, kau harus membuktikan dulu keseriusanmu dalam tiga puluh hari yang akan datang. Buat aku jatuh cinta padamu.”
Sehan tampak membuka mulut hendak menimpali, tapi pemuda itu mengatupkan kembali bibirnya dan sibuk menyusun kata-kata. “Jadi, dalam tiga puluh hari itu aku boleh berada di dekatmu dan melakukan apa pun untuk membuatmu jatuh cinta padaku?”
Dain mengangguk mantap. “Yup. Dan aku juga tidak akan menghindari atau menghalangimu. Kalau aku sudah yakin dengan perasaanku, aku akan jujur padamu.”
Sehan tersenyum dan mengangguk setuju. “Baiklah, aku terima tantanganmu.”
“Oke.” Dain mengulurkan tangan guna berjabat tangan dengan Sehan. Sehan menyambutnya dengan senyum di wajah.
Tiga puluh hari kemudian, tepatnya pada tanggal 8 April 2001, Dain dan Sehan pun resmi menjalin hubungan.