Meski Evi tidak dapat ikut hadir di acara wisudanya, Niko tetap merasa senang karena ada Sabine, mamanya, dan Erni yang mendampinginya di acara wisuda. Niko sempat kecewa dengan jawaban Evi yang mendadak tidak bisa hadir. Evi dipinta atasannya menggantikan tugasnya untuk mengikuti sebuah konferensi di hotel berbintang lima. Evi tentu tidak kuasa menolak, karena ini menyangkut dengan pekerjaan utamanya di kantor.
Dan Sabine tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk tampil cantik di hadapan Niko.Dia meminta Erni menghiasi wajahnya di awal pagi. Dia ingin terlihat sempurna di mata Niko di hari spesial itu.
“Aku cantik nggak, Mbak?” tanya Sabine saat Erni merapikan gaun indah ke tubuh Sabine pagi sebelum berangkat.
“Kamu itu nggak make up an aja udah cantik, Sabine. Pake karung goni aja kamu tetap cantik,”
“Ish, Mbak Erni. Tetap aja kan harus make up kayak Mama. Biar rapi, cantik, wangi,”
Erni senyum-senyum melihat Sabine.
Tiba-tiba pintu kamar Sabine dibuka Niko.
“Eh, Mas Niko,” decak Erni kikuk.
Mata Niko langsung tertuju ke Sabine.
“Wow, you look so gorgeous, Sweetheart,” puji Niko dengan wajah penuh senyum puas.
“Thank you,”
Wajah Sabine memerah dipuji Niko. Dia bahagia dipuji laki-laki yang dia cinta.
Sadar Sabine salah tingkah, Niko cepat-cepat menutup pintu kamar Sabine perlahan. Dia tidak ingin gadis itu terlalu larut dengan perasaan cinta yang mendalam terhadap dirinya.
***
“Apa rencana kamu selanjutnya, Niko?”
“Ya. Melamar kerja, Bu Carmen. Dan melamar kekasih saya, Evi,”
“Wow, kamu pasti senang sekali ya?”
Niko tak sanggup menahan senyum lebarnya.
“Hm … Sabine. Mudah-mudahan dia bisa menerima kenyataan kalau kamu harus pergi,”
Niko tertunduk.
“Sabine sudah saya latih untuk mandiri. Dia sudah mampu menguasai diri, Bu. Menurut saya, dia tidak perlu pengasuh lagi. Sabine juga sudah pandai berteman.”
Bu Carmen menghela napas.
“Mungkin bukan Sabine saja yang berat kamu pergi nanti. Saya juga … Erni juga berat. Katanya sudah terbiasa melihat kamu bercanda dengan Sabine tiap pagi,” ujar Bu Carmen sedih bercampur haru.
Niko tersenyum hangat. “Yah, it’s natural, ada yang datang, ada yang pergi,” ucapnya yang ingin menenangkan perasaan Bu Carmen.
“Ok, Niko. Good Luck on you,” ucap Bu Carmen akhirnya.
***
Sementara itu di kamar Sabine,
Malam setelah acara wisuda Niko, Sabine tidak bosan-bosan memandang foto-foto dirinya bersama Niko yang ada di ponselnya. Cukup banyak foto yang dia punya. Dia pandang foto-foto itu hingga tertidur.
***
Seminggu setelah wisuda, Niko kembali mendapat kabar bahagia. Lamarannya diterima di sebuah perusahaan keuangan di daerah BSD. Bira, sahabatnyalah yang membantu meyakinkan atasannya untuk menerima lamaran Niko. Karena Bira yakin, Niko adalah sosok pekerja keras. Lagipula posisi yang diinginkan di perusahaan sangat cocok dengan qualifikasi yang dimiliki Niko.
“Jadi lo langsung lamar Evi nih? Kerja aja baru mulai bulan depan. Ini Evi yang minta dilamar cepat atau lo yang nggak sabaran?” tanya Bira yang menyodorkan rokoknya yang belum menyala ke wajah Niko.
“Gue sih,” jawab Niko sambil menyalakan rokok Bira lewat ujung rokoknya.
“Semoga lo betah di kantor gue, Nik. Soalnya dulu gue pernah bawa Sapto kerja di kantor gue. Dia cuma betah dua bulan,”
“Kenapa?”
“Hah, alasannya cuma nggak tahan liat Akhyar tiap hari gonta ganti sugar baby, coy,”
Niko tertawa.
“La bos lo yang make, kenapa dia yang sensi?”
“Dia nggak tahan, Nik. Soalnya bayi-bayi tuh g***n cantik-cantik. Sapto kan udah kawin, bisa berabe. Lo tau kan si Sapto bucin banget ama Yoan, bininya. Ya … sebelas dua belas kayak lo ama Evi,”
Niko menghisap rokoknya dalam-dalam. Ada bayangan wajah Evi melintas di benaknya. Mana bisa dia ke lain hati, dia sangat mencintai Evi.
“Trus Sapto pindah kerja?”
“Iya, jadi tata usaha di sekolah internasional di Parung. Eh, Minggu lalu ngeluh ke gue. Nyesel berhenti. Mending di kantor Akhyar, gaji gede, mata bersih, hati senang. La di sekolah tempat dia kerja, gaji kecil, mata sepet ngadepin emak-emak cerewet tiap pagi, hati nggak karu-karuan. Hahhaha,”
Tawa Bira dan Niko tiba-tiba membahana.
“Asal lo tau, hampir tiap hari dia curhat ma gue. Makanya, Nik. Lo musti yakinin diri lo, apa siap menikah cepat? Lo musti siap juga dengan suasana kerja di kantor. Tahan-tahan iman. Kadang si Akhyar nih, iseng nawarin bayinya ke staffnya,”
“Lo emang pernah ditawarin?”
Bira memainkan alis matanya sambil tersenyum nakal.
“Sinting!”
“Haha, enak coy. Baby baby I love yaaaa,”
Niko menggeleng-geleng mendengar kisah Bira.
“Berapa lo punya? Gonta ganti kayak Akhyar?”
“Tertarik nyoba?”
“s**t!”
Niko menyeruput kopi pahitnya.
“Mending kayak gue bebas. Nggak ada yang dikhawatirkan dan mengkhawatirkan gue,”
“Sampe kapan?”
Bira menghela napas. “Sampe puas,” ucapnya.
Niko hanya tergelak mendengar kisah Bira, sahabatnya sedari SMP. Padahal dulu Bira sangatlah alim. Entah kenapa dia berubah sejak terjun di lingkungannya bekerja. Niko awalnya tidak menyangka juga dengan perubahan jalan hidup sahabatnya satu ini. Dan Niko bertekad tidak akan mengikuti jejaknya.
Bunyi alarm dari ponsel Niko terdengar cukup nyaring.
“Jemput yayang mungil?” decak Bira bertanya.
Jumat sore itu adalah jadwal Niko antar jemput Sabine les piano.
“Yoi, sampai nanti, Bro. Kita kontak-kontak ya?”
Bira mengangguk sambil mengangkat tangannya yang masih mengepit rokok.
***
Sungguh lancar jalan hidup Niko. Tidak lama wisuda, lamaran pekerjaannya diterima di sebuah perusahaan keuangan yang cukup terkenal di kawasan elit Serpong. Tak lama berselang, keluarga Evi dengan senang hati menerima lamarannya. Sudah terbayang-bayang di benaknya babak hidup baru yang akan dia jalani bersama sang belahan jiwa, Evi.
Niko sangat bahagia. Apalagi sekarang Sabine yang semakin hari semakin mandiri berkat bimbingannya. Gadis yang sebentar lagi akan menyelesaikan Sekolah Dasarnya itu kini juga sudah pandai berteman. Ada beberapa teman yang sudah dia ajak main ke rumahnya. Sabine sudah mulai bersosialisasi. Ini juga berkat bimbingan Niko. Jadi, Niko bisa meninggalkan Sabine dengan perasaan lega.
Hampir tiap saat Niko memberi nasehat-nasehat kepada Sabine agar selalu menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Tampaknya Sabine mendengarkannya.
Hingga malam pernikahan Niko pun tiba.
Sabine sedih. Dia menangis sesenggukan di kamarnya. Memikirkan Niko yang dalam hitungan jam akan pergi dari rumahnya.
Dan sore itu, Niko tampak berusaha memberi pengertian ke Sabine yang sedih.
“Sabine. Om ngerti perasaan kamu. Kamu berat pisah dari Om. Om juga sebenarnya berat pisah dari kamu. Tapi kan Om sudah harus menikah. Usia Om sudah 25, sudah punya kerjaan tetap, Tante Evi juga sama dengan Om. Nanti kalo kamu kuliah kayak Tante Evi, kamu akan menemui seorang pria yang lebih pantas jalan sama kamu. Yah, yang seumuran. Misal kamu 23, dia 24 atau 25. Biar bisa saling mengerti,”
Sabine menelan ludahnya. Ditatapnya wajah Niko dengan perasaan kacau. Dia takut sekali membayangkan malam-malam berikutnya tidak akan ada lagi Niko di sisinya. Tidak ada yang membacakannya buku cerita.
Bersambung