Pengasuh
Niko tersenyum puas ketika mendapatkan SMS dari seseorang. Ternyata lamaran kerjanya diterima. Dia senang sekali, karena awalnya merasa putus asa tidak mampu membayar SPP kuliah semester depan. Dengan SMS yang baru diterimanya, dia kembali yakin bahwa dia tidak akan putus kuliah dan bertekad meneruskannya hingga menyelesaikannya.
Niko kini sudah berada di depan sebuah rumah mewah minimalis berlantai dua. Setelah menghela napas cukup panjang dan sedikit memperbaiki letak kacamatanya, dia lalu memencet mesin bel penjawab yang ada di sisi pagar.
“Ya, cari siapa?” tanya seseorang dari mesin penjawab.
“Saya Nikolaus Loudin … yang melamar pekerjaan di rumah ini, Mbak,” jawab Niko.
Dan terdengar bunyi pagar terbuka.
“Dorong aja, Mas.”
***
Niko disambut seorang pembantu perempuan saat melangkah menuju pintu utama rumah. Wajah pembantu itu penuh senyum genit ketika melihat penampilan Niko yang sebenarnya sangat santai. Wajar, Niko tampan.
“Saya Erni. Yang bantu-bantu di sini. Mas Nikolaus ya?”
“Niko aja, Mbak,”
“Oh. Oke oke. Niko.”
Niko hendak melepas alas kakinya.
“Eh, Ojo, eh, jangan dilepas. Pake aja sepatunya. Ntar dikira peminta-minta sama tuan rumah,”
Niko sedikit terperangah, tapi diikutinya instruksi Erni.
Kini Niko sudah duduk di atas sofa empuk.
Ternyata rumah itu sangatlah luas ketika berada di dalamnya. Niko sedikit mendengus karena awalnya dia mengira rumah yang ditujunya tidak begitu besar ketika dilihat dari luar, rupanya ruangan dalam rumah itu di luar dugaannya.
Niko sejenak mengedarkan pandangan ke hampir seluruh penjuru ruang tamu. Tidak banyak perabot atau hiasan-hiasan. Hanya saja cukup banyak lukisan-lukisan yang tergantung di dinding ruangan. Bahkan ada sebuah lukisan yang cukup besar, lukisan siluet panorama sebuah kota.
Tidak lama kemudian, muncul seorang wanita cantik yang usianya sekitar 40 tahunan. Dia diikuti Erni yang membawa baki dengan secangkir minuman hangat di atasnya.
“Nikolaus?” sapa wanita cantik itu dengan nada tanya.
“Niko, Bu,” balas Niko seraya berdiri dan membungkuk penuh hormat.
“Duduk, duduk.” Wanita itu menyuruh Niko yang terlihat segan itu duduk. Dia sendiri juga duduk dengan sangat sopan di depan Niko. Penampakan wanita itu sangat glamour, beberapa perhiasan lengkap melekat di tubuhnya. Dari gelang, cincin, jam tangan, anting-anting, kalung, serta gelang kaki. Meski semuanya tidak mencolok, tapi tetap membuat penampilan wanita itu sangat mewah. Wajahnya sangat mulus bak perempuan dua puluh lima tahun. Tapi lehernya tidak bisa berbohong, tetap menunjukkan bahwa dia adalah perempuan yang sudah berumur.
“Silakan, Mas Nikooo,” ucap Erni yang bersimpuh sambil menunjukkan jempolnya ke arah teh hangat yang dia suguhkan di atas meja.
“Makasih, Erni,” balas Niko cepat.
Erni beranjak dari simpuhnya penuh senyum senang. Niko sudah hapal namanya.
“Lo, sudah kenal?” tanya wanita cantik tadi.
“Iya, Bu. Tadi Erni yang sambut saya di depan,” jawab Niko tenang.
“Ooo….” Wanita cantik itu manggut-manggut. Diberinya kode mata ke Erni agar menjauh.
Lalu sambil memperbaiki letak duduk sopannya, wanita itu pun mulai memperkenalkan dirinya.
“Saya Carmen. Mama Sabine. Sudah tahu pekerjaan yang ditawarkan?”
Niko mengangguk.
“Ayo, apa saja?” tanya Carmen seperti menguji Niko.
“Supir pribadi Sabine, membimbingnya belajar, menemaninya.”
Carmen tersenyum.
“Katanya kamu juga kuliah?”
“Iya, Bu Carmen. Tapi sudah hampir selesai. Sedang menyusun laporan akhir. Jadi saya tidak punya jadwal kuliah tetap. Hanya saja yaa … bertemu dengan pembimbing saya dan itu bisa saya atur waktunya menyesuaikan pekerjaan saya menemani Sabine,” Niko menjelaskan dengan sangat mantap.
“Ya, diatur saja. Masalah gaji? Ok kan?”
Niko mengangguk cepat. Siapa yang mau menolak, gaji yang ditawarkan dua digit. Sebulan bekerja, SPP kuliah semester depan sudah bisa lunas. Apalagi dia bakal menginap di rumah itu tanpa membayar. Konsumsi pun ditanggung.
“Kalau begitu, saya antar menemui Sabine. Dia sedang di kamarnya. Ayo.”
Niko mengikuti langkah Carmen.
“Rumah ini terdiri dari dua lantai. Lantai bawah, seperti yang kamu liat … dapur di sana. Kamu bebas makan apa saja yang ada. Jangan sungkan-sungkan. Toilet juga ada di samping garasi. Kamar kamu nanti, ada di lantai atas,”
Carmen mulai mengajak Niko menuju lantai atas.
Kini mereka berdua berada di depan sebuah pintu kamar berwarna pink penuh dengan pernak pernik bergelantungan.
Carmen mengetuk pintu kamar itu perlahan.
“Sabine,” panggil Carmen.
Tidak ada jawaban.
Sambil mengangkat bahunya dengan wajah sedikit cemberut, Carmen memutuskan untuk membuka pintu kamar Sabine.
“Hei.”
Tampak seorang gadis kecil cantik sedang bermain di depan komputer besar. Dia memakai headphone. Wajar saja dia tidak mendengar ketukan pintu mamanya.
“Eh, Ma, oh….” Sabine tampak terperangah melihat orang asing yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Dia langsung meletakkan headphonenya di atas meja belajarnya.
“Niko. Ayo masuk,” ajak Carmen.
Niko tampak ragu memasuki kamar yang ukurannya sedikit sempit. Penuh warna pink. Ada tempat tidur berukuran single dan meja belajar yang juga sekaligus lemari buku.
“Duduk sini, Niko,” ajak Carmen yang sudah duduk di atas kasur kamar Sabine. Sepertinya dia hendak menghangatkan suasana agar terasa akrab.
“Sabine, ini Niko. Yang gantiin Tante Ika.” Carmen memperkenalkan Niko ke Sabine.
Niko yang duduk di atas kasur mengarahkan tangannya ke arah Sabine. Sabine menyambutnya.
“Sabine, Om,” ucap Sabine dengan senyum manisnya.
“Niko.” Dia sedikit kikuk saat gadis itu memanggilnya dengan sebutan Om. Rasanya tua sekali. Tapi wajar sih, Sabine berusia sepuluh tahun. Seandainya dia dipanggil Mas tidak terlalu pantas juga, karena usianya sendiri hampir 24 tahun. Dan Niko pun pasrah.
“Ayo Sabine, perkenalkan diri kamu,” perintah Carmen sambil mencolek pinggang Sabine.
“Sabine, Om Niko. Aku kelas empat di High Scope. Hmm, suka makan cilok.”
Niko tersenyum. Sabine sepertinya gadis periang dan lucu, lagi menggemaskan. Sabine tampak malu-malu memandang Niko.
“Niko. Om kuliah di jurusan Matematika. Jadi bisa ngajarin kamu matematika,” balas Niko yang mulai hangat.
Carmen senang. Sepertinya Sabine dan Niko sudah mulai akrab.
“Ok, Mama mau kasih tau kamar Om Nikomu dulu. Nanti malam kamu bisa ditemenin, juga belajar sama-sama.”
Carmen lalu bangkit dari duduknya seraya mengajak Niko ke luar dari kamar Sabine.
“Ok, Sabine,” ucap Niko mulai senang dengan gelagat Sabine yang menurutnya cukup hangat dan ramah. Karena gadis kecil itu menyambutnya penuh senyum.
“Right, Om. Jangan lupa. Jam 7,” balas Sabine dengan alis terangkat.
Carmen menutup pintu Sabine perlahan.
“Nah ini kamar kamu.”
Ternyata kamar yang akan ditinggali Niko berada tepat di depan kamar Sabine. Dan Niko cukup kaget melihat luasnya kamar tersebut. Ada kasur ukuran double, lemari baju, ada meja lesehan yang sepertinya digunakan untuk belajar. Bahkan ada balkon di bagian luarnya. Posisi kamar yang sangat strategis karena sinar matahari sangat cukup memasuki kamar. Beda sekali dibandingkan dengan kamar Sabine yang terkesan lebih gelap.
“Kamu tinggal di sini.” Carmen memulai. Sepertinya ada yang dia pikirkan.
“Hm, dulu kamar ini ditempati Ika. Yang sebelumnya menemani Sabine di sini. Cukup lama dia bekerja, tiga tahun.”
Niko mengangguk-anggukkan kepalanya. Ingin sekali dia bertanya di mana sosok Ika sekarang.
“Dia saya berhentikan.”
Niko mulai serius.
“Ternyata selama menemani Sabine, Sabine sering mengalami kekerasan secara mental. Yah … dibentak-bentak, dihina-hina jika tidak bisa mengerjakan tugas, suka marah-marah sendiri. Awalnya kita tidak percaya, karena sikap Ika sangat manis di hadapan kita. Sabine hanya pasrah. Namanya anak-anak, Niko. Dia mungkin bingung harus bagaimana. Akhirnya kita tau Ika kasar dengan Sabine saat akan menemani Sabine les balet. Erni yang memberitahu saya bahwa Ika membentak-bentak Sabine dengan kata-kata sangat kasar. Sabine memang tidak menangis. Mungkin sudah terbiasa.”
Niko sedikit prihatin mendengar cerita Carmen.
“Ini sudah memasuki minggu ke lima dia tidak ditemani. Saya tidak tega dia sendirian terus jika di rumah. Akhirnya saya tanya apa dia mau ditemani lagi? Dia bilang iya, dan syaratnya laki-laki.” Carmen tergelak dengan kisahnya. “Kapok katanya.”
Niko manggut-manggut mengerti.
“Awalnya saya keberatan, Niko, ya kamu taulah,” ujar Carmen sedikit canggung.
“Iya, Bu. Saya mengerti. Saya akan jaga Sabine sebaik-baiknya.”
Bersambung