Sabine murung lagi saat Bu Carmen memberitahunya bahwa Mama Lita ingin menemuinya di Kemang, kediaman Bu Lita. Bu Lita dan dua anak perempuannya, Olive dan Silvi ternyata sedang berlibur ke Jakarta. Ada papanya juga, Pak Baskoro Mahfouz di sana.
“Sabine, Mama Lita tuh Mama kandung kamu. Kamu nggak boleh begini. Mama Lita kangen sama kamu. Kalo kamu nggak pergi ke sana, nanti Mama dikira mencegah kamu pergi. Ada Papa di sana. Sudah lama kan kamu nggak jumpa mereka,” Carmen berusaha membujuk Sabine.
Sabine hanya menghela napas berat dan menatap hampa meja belajarnya.
“Sabine, jangan khawatir. Om temani kamu ke sana. Kalo kamu sungkan, kamu dekat sama Om saja,” Niko ikut membujuknya.
“Tuh. Om Niko kan nemenin kamu juga,” ujar Carmen.
***
“Mungkin perasaan kamu aja kalo kakak-kakak kamu nggak suka sama kamu. Atau mungkin sikap kamu yang harus kamu ubah jika bertemu mereka. Yah, pikiran jangan terlalu banyak prasangka-prasangka,” ujar Niko yang masih berusaha membujuk Sabine yang wajahnya belum cemberut sedari pergi dari rumah menuju Kemang.
Sebelum pergi, Niko mempertanyakan alasan kenapa Sabine enggan bertemu keluarga kandungnya. Sabine pun dengan lugas mengatakan bahwa merekalah yang sebenarnya tidak menyukai dirinya. Sabine juga bercerita bahwa ketika dirinya masih kecil, dia kerap dimarahi kakak-kakaknya jika meminta sesuatu atau meminta bantuan.
“Soalnya Mbak Erni juga bilang gitu, kalo Mbak Silvi dan Mbak Olive itu kelihatan banget nggak suka sama aku,” ujar Sabine menggerutu.
“Haha, itu juga berarti hanya prasangka Mbak Erni. Trus kamu percaya dan kamu ikuti pula perasaan kamu,”
Sabine lalu diam saja selama perjalanan menuju Kemang, rumah Mama kandungnya.
***
Mereka tiba di sebuah rumah besar nan mewah.
Sabine disambut hangat oleh seorang perempuan yang sangat cantik. Dia Mama Lita. Pantas saja paras Sabine cantik, Mama kandungnya ternyata ayu sekali. Jalannya saja bak peragawati profesional saat melangkah menyambutnya.
“Sabiiiiiinee!” pekiknya dan memeluk tubuh kecil itu dan menggoyang-goyangkannya saking senangnya.
Sabine membalas pelukan mamanya. Dia hanya tersenyum tipis.
“Apa kabar, sayaaaang?” sapa Mama Lita penuh senyum.
“Baik, Ma,”
Sabine memang terlihat kaku berhadapan dengan Mama Lita. Berbeda sekali ketika berdekatan dengan Mama Carmen. Mungkin karena Sabine merasa lebih diperhatikan oleh Mama Carmen sekarang.
“Kamu? Pengasuh Sabine?” Mama Lita bertanya kepada Niko.
“Iya, Bu. Saya Niko,” tanggap Niko cepat.
Mama Lita pun mempersilakan Niko dan Sabine memasuki rumahnya.
Niko dan Sabine kembali disambut dua anak perempuan dan seorang pria gagah yang usianya kira-kira empat puluhan tahun.
“Niko, Pak,” ucap Niko ketika pria itu tersenyum ke arahnya.
“Saya Baskoro. Papa Sabine,” balas Pak Baskoro dengan logat Perancis yang sangat kental. Apalagi saat menyebut nama Sabine, terdengar huruf N ditekan di akhirannya.
Dua kakak Sabine, Olive dan Silvi pun ikut menyalami Niko. Wajah mereka tampak berbinar saat melihat perawakan Niko yang santai namun menarik. Niko menyadari, tapi tetap bersikap biasa. Perempuan mana yang tidak tertarik jika melihat Niko pertama kali. Dia tampan, tinggi, punya mata indah meski terhalang kacamata, kulitnya pun putih bersih. Walau agak kurus, Niko tampak memesona gadis-gadis tanggung seperti Olive dan Silvi. Ditambah rambut keriwilnya yang ikut membuat kaum hawa ingin meremasnya.
“Olive, Silvi. Kalian ajak ngobrol Niko ya? Mama sama Papa mau melepas rindu sama Sabine,” ujar Bu Lita. Wajahnya sangat cerah.
Mama Lita dan Pak Baskoro pun mengajak Sabine menuju bagian dalam rumah. Sementara Niko langsung duduk di atas sofa ruang tamu. Ada Silvi dan Olive yang menemaninya.
“So, you’re a governess,” ujar Silvi memulai. Dia sambil melirik Olive.
Niko mengangguk.
“She is so spoiled,” decak Olive.
“At her age, we didn’t need governess,” timpal Silvi sinis.
Niko diam saja mendengar celoteh dua anak perempuan itu. Sejenak dia membenarkan apa yang dikeluhkan Sabine saat di mobil tadi. Mereka memang tidak menyukai Sabine.
“You went to college?”
“Yes, will graduate this year,”
Silvi mengangguk-angguk.
“What about you, guys?” tanya Niko yang berusaha mengusir perasaan kikuknya.
“Well, aku kuliah di RMIT, food technology,” jawab Silvi.
“Aku kuliah di Deakin, Social sciences,” jawab Olive.
Lalu Olive dan Silvi memasang wajah tanya ke Niko.
“Aku kuliah, jurusan Matematika,” jawab Niko.
“Dan kamu pengasuh,” pungkas Silvi diiringi tawa kecil Olive. Niko tersenyum simpul mendengar nada tawa ejek dari keduanya. Dia santai saja.
“Sorry, it’s just … well, weird. We knew Ika, her previous governess. She complained too much about Sabine. She was so spoiled, even Ika must bathe her. You bathe her too?” Olive sekilas menyinggung Sabine yang manja dan menceritakan eks pengasuh Sabine yang sering mengeluhkan Sabine selama mengasuh Sabine.
Niko mengangguk.
Silvi dan Olive tak kuasa menahan tawa.
“I told you, Olive. She is very smart. She complained about Ika to her second Mom, Ika was fired, then she asked a man to nurture her…, found a good looking one…, she is soooo lucky. Got a girl?”
Niko tersenyum. Silvi terlihat sedikit agak sadis dilihat dari gaya bicaranya. Mereka memang tidak menyukai Sabine, bahkan terkesan iri.
“Yep,” jawab Niko masih dengan senyum simpulnya. Dia sudah punya pacar.
“Hah, go to hell,” cibir Silvi. Olive tertawa keras. Niko pun ikut tertawa.
Akhirnya mereka bertiga asyik ngobrol-ngobrol.
Menurut Niko, ketidaksukaan Olive dan Silvi terhadap Sabine adalah karena mereka merasa tidak bebas saja. Niko pun sempat bertanya kepada mereka. Ternyata, jarak usia yang jauh dan sikap manja Sabine sangat mengganggu kebebasan mereka. Tentu sukar bagi Sabine untuk lebih dekat dengan dua kakak perempuannya tersebut.
***
Sabine lega. Akhirnya tiba juga waktunya pulang dari rumah mewah mamanya.
Bukan dia saja yang lega. Dua kakaknya juga. Wajah mereka tampak senang sekali saat Sabine sudah duduk manis di belakang mobil yang disetir Niko.
Sebenarnya Mama Lita dan Pak Baskoro menginginkan Sabine menginap. Setidaknya satu malam. Tapi Sabine menolak. Dia tidak ingin mengganggu liburan keluarga Mama Lita.
“Wah, hadiahnya banyak amat!” seru Niko yang melihat Sabine dari kaca spion. Anak itu asyik membuka beberapa bungkusan. Hadiah dari mamapapanya.
“Senang kan?” tanya Niko.
“Iya, Om. Bagus-bagus,” jawab Sabine dengan perasaan senangnya.
“Kalo kamu nggak datang, nggak dapat hadiah,”
“Iya, hihi,”
“Kenapa nggak mau nginap tadi?”
“Nggak ah. Mau di rumah aja. Kalo di sana, Om pasti pulang. Aku nggak mau pisah dari Om Niko,”
Niko menghela napas.
“Kan besoknya Om jemput,”
“Iya, tapi seandainya aku nginep, berarti Om nggak nemenin aku malam ini untuk bacain aku cerita. Aku pasti susah tidur,”
Niko sekilas melirik Sabine dari kaca spion. Celoteh Sabine lagi-lagi mengusik hatinya.
Bersambung