Sebuah Pilihan

1094 Words
“Maaf, Retno. Aku tidak tahu bakalan sesusah ini. Semuanya bahkan sudah kita susun sedemikian hebat dan sempurna, ternyata tidak seperti yang dibayangkan,” keluh Arani mengurut d**a. Wanita gemuk itu akhirnya hanya bisa menerima kenyataan kalau pernikahan yang diimpikan untuk Gibran belum juga mendapatkan titik terang. “Tidak apa, Mbak. Aku juga sepertinya harus menjelaskan semua ini kepada Nadia sekali lagi. Kemarin itu, dia bahkan sangat mengerti dengan kesepakatan yang kami buat, tapi entah kenapa semua yang sudah disepakati itu tiba-tiba berubah dan Nadia menjadi keras tiba-tiba. Arani mengangguk, ia tampak mengerti situasi ini. Walau rasa kecewa masih ada, tapi ia tahu semua yang dilakukannya sudah maksimal, takdirnya saja yang belum memihak pada dirinya. “Padahal aku ingin sekali punya cucu secepatnya dari Nadia, Retno,” ungkap Arani mengembuskan napasnya dengan berat. Retno mengangguk mantap,” Aku juga, Mbak. Tapi sepertinya harus kita tunda. Kalau sudah begini, kita bisa apa. Nadia kubawa pulang dulu, sepertinya harus kembali kudidik dengan baik agar bisa secepatnya menjadi istri Gibran,” tuturnya meminta ijin membawa Nadia kembali pulang. “Tapi, Mbak. Kalau nanti Nadia ke sini lagi, kalau bisa Umi sudah tidak di sini, apa bisa?” bisiknya menatap Arani penuh semangat dan menggebu meminta persetujuan baru. Arani mengangguk dan tersenyum pada Retno. Ia tahu, hal itu akan menjadi tugas yang lumayan berat untuk Arani, tapi ia pasti bisa melakukan iti dengan cepat Keduanya kini saling tatap dan tersenyum. Lalu, Retno beranjak menjauh, pamit. Retno dan Nadia akhirnya pulang. *** Gibran dan Umi akhirnya mengucapkan syukur sambil meneteskan air mata saat mengetahui Retno dan Nadia akhirnya pulang tanpa melanjutkan kesepakatan. Ada tangis haru yang menyelimuti mereka kali ini. “Alhamdulillah, terima kasih, Mas. Terima kasih, karena kamu masih mencintai aku. Aku takut, Mas,” ucap Umi dengan mata yang berkaca-kaca. “Tuhan tahu isi hatiku, Umi. Semoga cinta kita tetap dijaga Tuhan sampai kapan pun,” balas Gibran menatap istrinya dengan penuh kegembiraan. Keduanya saling berpelukan dengan air mata. Jika bukan kehendak Arani, Gibran pun enggan untuk mendua. “Gibran, kamu tidur? Ibu bisa bicara sebentar?” tanya Arani sambil mengetuk pintu kamar sehingga kedua pasangan yang saling berpelukan itu akhirnya mengurai pelukannya dan menatap satu sama lain. Gibran melangkah ke depan pintu untuk membukakan pintu, sedangkan Umi kini menatap suaminya itu dengan perasaan yang tidak dapat diartikan. Cepat atau lambat ia tetap harus melepaskan lelaki yang ia cinta itu karena ia tahu pasti Arani tidak akan semudah itu untuk tenang jika inginnya belum terlaksanakan. “Iya, Bu,” jawab Gibran datar. Pintu kamar dibuka pelan, terlihat Arani berdiri dengan tatapan tajam. “Ayo, kita perlu bicara sebentar,” pinta Arani menatap Gibran dengan wajah sangat serius, tidak lupa ia menatap Umi dengan pandangan yang tidak kalah seriusnya. “Umi, kamu juga, kita perlu selesaikan masalah yang tertunda,” ucap Arani menekankan kata masalah. Umi merasakan kalimat itu menjadi sebuah tekanan untuknya, hatinya mulai tidak nyaman. Namun, apa yang harus dilakukan selain menghadapi kenyataan itu hatinya yang lebih berani. Arani berjalan pelan menuju ruang tamu, disusul Gibran dan Umi yang mengikuti dari belakang. Masing-masing memiliki pikiran sendiri-sendiri, masing-masing punya keinginan dan ketakutan sendiri-sendiri. “Duduk,” ujar Arani singkat saat mereka sampai di ruang keluarga. Gibran dan Umi mengangguk dan duduk bersebelahan. Tanpa menunggu lama akhirnya Gibran bersuara, “ Ibu masih ingin membahas masalah perjodohan itu bukan? Bu, tolonglah, apa ibu tidak capek? Nadia saja jelas menolak, kenapa ibu masih saja menginginkan semua ini terjadi.” “Iya, perjodohan ini akan segera dilakukan cepat atau lambat, mungkin Nadianya belum siap, padahal kemarin dia bilang mau menikah dengan kamu kok,” ungkap Arani penuh tekanan. “Oh ya, satu lagi. Kamu Umi, jangan sesekali menghalangi Gibran menikah dengan Nadia. Kamu masih bisa tinggal di sini dan hidup enak itu udah syukur, suami kamu perlu bahagia,” ucap Arani tanpa memedulikan perasaan Umi kali ini. “Bu! Cukup!” ujar Gibran tiba-tiba. “Istifar, Bu. Kenapa ibu sampai membenci Umi seperti ini. Tolong, Gibran memang tidak bisa memilih antara Ibu dan Umi, tapi kalau Ibu masih tetap begini, Gibran bisa lebih keras dan membawa Umi keluar dari rumah ini. Maaf, tapi ini semua berlaku kalau ibu juga tidak mau berubah,” ujar Gibran akhirnya memperingatkan ibunya. “Kamu, sudah berani melawan sama Ibu? Astaga, hanya karena perempuan ini? Perasaan ibu memang benar bukan? Dia memang bukan terbaik untuk kamu, dia hanya penghalang buat kamu bahagia,” ucap Arani mulai menitikkan air mata. “Bahagiaku ibu bilang? Mungkin bahagia Ibu yang belum terlaksana. Bu, coba buka hati Ibu. Apa selama ini Umi menjadi menantu yang tidak baik? Apa selama ini Umi menjadi istri yang memang tidak baik untukku?” Gibran berdiri tanpa memedulikan Arani, lalu menarik Umi ke kamar tanpa ijin terlebih dahulu oleh Arani. Kedua wanitanya kini meneteskan air mata, kedua wanita merasakan sakit yang tidak terhingga. Namun, sakit dan perih yang juga berdarah lebih dirasakan oleh Gibran karena tidak bisa memilih antara keduanya. Pintu kamar ditutup dengan kuat, kali ini Gibran berontak. Ia merasa Arani sudah keterlaluan. Ia paham melawan kepada orang tua adalah sebuah dosa yang teramat banyak, tapi Gibran juga berhak menentukan kehidupannya. Kebahagiaan Umi ada di tangannya kali ini. Umi dan Gibran berpelukan, melepaskan kemarahan dan kesedihan mereka dalam diam. Sampai akhirnya Umi mengurai pelukan dan berkata, “Menikahlah, Mas. Jika memang itu yang membuat kamu dan Ibu bahagia. Jika aku hanya menjadi penghalang untuk kebahagiaanmu, kita berpisah saja. Maaf, tapi aku sudah pikirkan ini jauh-jauh hari.” “Tapi, Umi,” potong Gibran menanggapi kalimat yang keluar dari bibir istrinya. Ia bahkan merasakan sakit berkali-kali lipat saat Umi berkata pasrah dan menyerah. “Aku bertanggung jawab sama hidupmu, tidak gampang Umi, semua ini tidak gampang buatku. Ibu dan kamu itu wanita yang aku cintai, tapi astaghfirullah....” Gibran akhirnya tergugu dalam tangisnya. “Mas, sepertinya tidak ada yang bisa kupertahankan di sini. Cepat atau lambat Nadia juga akan kembali dan menjadi istrimu. Sudahlah, aku tidak ingin mempersulit keadaan. Menikahlah, dan tinggalkan saja aku. InshaAllah aku ikhlas, Mas. Berdosa buatmu juga buatku jika membuat Ibu terus menerus menangis seperti ini, hidupku semakin tidak nyaman. Aku tahu akan sulit untukku menjalani semua ini sendiri nanti, tapi aku percaya, Mas melakukan ini bukan karena berkurangnya rasa cinta padaku bukan? Semua ini terjadi karena keadaan. Di antara kita harus ada yang mengalah, kalau tidak entahlah. Kita akan terus menerus terluka, Mas.” Umi menghapus air matanya dengan cepat. Lalu mencoba tersenyum dihadapan Gibran. Sikap Umi yang seperti itu malah membuat luka batin baru pada Gibran. Ia takut, kehilangan wanita yang sangat ia cintai seperti Umi mencintai dirinya kini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD