When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Vas bunga sudah terbelah dua, meja dan kursi makan jatuh dan rusak. Pecahan kaca kini tersebar di mana-mana. Semua tampak mengerikan. Di pojok ruangan wajah Umi tampak pias dan tubuhnya bergetar ketakutan. Sambil berdiri mematung, wanita itu kembali menutup mulut karena satu kata saja yang keluar dari bibirnya akan menambah hancurnya benda di rumah mereka. Isak tangisnya pun kini ditahan, walau suaranya masih terdengar sebagai tangisan menyedihkan, paling tidak, hal itu lebih dari cukup dari pada membuat Gibran kembali merusak barang, Umi dianggap melawan. “Cukup! Tolong mengerti! Aku bahkan tidak tahu yang terbaik untuk diri ini, untuk Ibu dan juga kamu,” teriak Gibran kembali menghardik Umi. Lelaki itu sudah tidak dapat menahan emosi dan perasaan bersalah yang terus menerus menghampiri