Keputusan yang Berat

1082 Words
“Nadia, jaga bicaramu. Tidak pantas kamu berkata begitu, apalagi dengan nada seperti barusan kepada kami,” ujar Retno memperingatkan anaknya yang sudah mulai pandai menjawab.  “Bu, apa ibu tidak memikirkan perasaan kami?” tanya Nadia dengan penuh emosi.  Bu Retno membesarkan bola mata, geram pada kelakuan Nadia yang berubah. “Kamu, bukannya kita sudah sepakat untuk masalah ini. Jadi, tolong ingat perjanjian itu, atau....” Retno menggantung ucapannya, Arani menatapnya dengan kening mengkerut.  “Retno, bukankah kamu bilang kesepakatan ini sudah dibicarakan dengan Nadia sebelumnya, lalu kenapa Nadia seakan-akan tidak mau menerima perjodohan ini sekarang?” tanya Arani penasaran. “B-bukan begitu, Mbak,” jawab Retno mulai panik. “Sebentar, saya izin bicara dulu dengan anak saya, boleh?” kilah Retno menarik tangan Nadia dan membawanya ke luar.  *** “Bu, aku tidak sanggup,” ujar Nadia menitikkan air mata.  Retno hanya diam menatap ke lain arah, ia benar-benar mengabaikan Nadia yang kini menitikkan air mata. Wanita itu tetap saja bersikeras atas perjodohan itu.  “Sini!” ujarnya menarik tangan Nadia dengan paksa, lalu berbisik di telinga Nadia. “Kamu tahu kalau menikah dengan Gibran, kamu bakalan jadi istri yang paling dia sayang, kamu tidak perlu kerja keras untuk mendapatkan apa yang kamu seperti sekarang, cukup jadi istrinya dan otomatis kekayaannya itu akan menjadi milik kamu. Sebelum mereka tahu kalau kita sudah tidak punya apa-apa. Karena itu, kamu harus menikahi dia. Punya anak dan selesai,” desis Retno mencoba menekankan pada Nadia agar ia menuruti semua maunya Retno.  Wajah Nadia menegang, ia begitu terkejut dengan pikiran ibunya. Benar pekerjaan membuatnya kelelahan setiap hari, tapi bukan berarti ia harus menggunakan jalan pintas untuk hidup tenang dan merusak kebahagiaan orang lain. “Mikirnya sudah? Sekarang kamu ke dalam dan bilang minta maaf sama Arani dan Gibran. Lalu menyetujui pernikahan ini terjadi. Secepatnya, kota gelar pernikahan kamu dan Gibran secepatnya,” desis Retno mencoba mempengaruhi Nadia dengan semangatnya. “Tapi, Bu,” ucap Nadia menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.  “Kamu jangan cengang, ayo lakukan. Ini semua karena ibu sayang sama kamu, ibu mau kamu bahagia, tidak perlu kerja keras. Gibran itu anaknya tanggung jawab, ibu yakin kamu tidak akan dibiarkan begitu saja walaupun ada Umi. Oh, Umi. Kamu merasa kalau Umi menghalangi? Nadia akhirnya menunduk, lalu menatap Retno dengan mata yang basah.  “Ibu paling malas liat air mata kamu ya. Kenapa dengan wanita itu, dia bisa kamu kalahkan. Usianya jauh di atas kamu, cuman ibu rumah tangga, sedangkan kamu. Seorang senior di kantor kamu dengan jabatan yang mapan walau usia kamu masih muda. Umi akan kalah, Nadia. Dia akan kalah,” desak Retno menatap iris mata anaknya yang terlihat begitu terluka. Namun, ia tidak punya selain memaksakan kehendaknya pada Nadia. Anak gadis satu-satunya. “Bukan masalah itu, Bu. Perasaan, apa iya aku sanggup merusak rumah tangga Mas Gibran dan Mbak Umi yang sepertinya baik-baik saja, mereka saling mencintai dan aku datang untuk merusak semuanya, aku tidah sanggup, Bu,” bisik Nadia mencoba menjelaskan keadaan pada Retno dan berdoa agar Retno mengerti akan kondisi hatinya yang takut merusak rumah tangga orang lain.  “Hanya tampak di luar, aslinya juga mereka butuh anak. Lima tahun, Nadia. Mereka menunggu dan Mbak Arani menjadi gila karena ulah menantunya itu. Pokoknya kaku baik-baik di sini nanti, nanti pasti bakalan dapat apa yang kamu mau, paham! Sudahlah, tidak usah diperpanjang. Kamu harus masuk dan bilang mau menikah dengan Gibran sekarang juga atau ibu tidak akan memaafkan kamu!” Desak Retno meninggalkan anaknya sendiri di luar.  Retno masuk setelah menatap senyuman agar terlihat baik-baik saja di depan Arani. Di dalam Arani yang cemas menunggu keputusan dari Retno akhirnya bisa tersenyum dengan tenang saat melihat Retno juga tersenyum padanya.  “Bagaimana?” tanyanya penasaran dan tidak sabar menunggu jawaban dari Retno. “Nadia mana?” tanyanya penasaran pada Nadia yang belum kunjung masuk.  “Aman kok, Mbak. Tenang saja, aku hanya mengajarkan Nadia untuk lebih sopan saja. Sekarang dia mungkin sedang menerjemahkan pesan-pesan aku tadi, tenang saja semua bakalan baik-baik saja seperti yang kita rencanakan, seperti yang kita mau,” ucap Retno tersenyum menatap Umi.  Umi hanya bisa terdiam, di dalam hati ia berdoa agar apa pun yang terjadi ia mampu menguatkan hati dan tabah menjalani. Di liriknya Gibran yang duduk di sampingnya tanpa berbicara sejak tadi, lalu dengan cepat ia merapalkan doa berharap ia bisa kuat lebih dari apa yang ia inginkan.  Takdir berjalan sesuai maunya, tidak ada yang bisa menentang keputusan Tuhan dan takdir yang sudah dipersiapkan untuknya. Mencintai Gibran dengan sangat, tidak membuat hatinya mantap. Bahkan kini merasa sangat goyah saat melihat lelaki yang amat ia cintai itu tidak mengeluarkan satu kata pun pada perjodohan yang sudah direncanakan untuk dirinya sejak jauh-jauh hari.  Umi pasrah, satu-satunya harapan pada Gibran dan berharap suaminya akan memilihnya selamanya dan menentang perjodohan ini sepertinya akan sia-sia. Mau tidak mau, siap atau tidak ia akan mendapatkan madu yang lebih sempurna. Lalu, ke depan, hidupnya tentu akan jauh berubah.  “Mas,” ucap Umi setengah berbisik memanggil suaminya.  Gibran menoleh dan menatap Umi, tapi Arani menatap mereka dengan penuh emosi. “Kalian juga sudah memutuskan bukan? Jangan dirubah-ubah lagi. Kesepakatan kita sudah jelas. Gibran aku nikahkan agar garus keturunan terus berjalan, agar impian Ibu untuk menjadi nenek segera dikabulkan Tuhan. Kamu paham, Umi!” ujar Arani menekankan.  “Iya, Bu. Umi paham,” jawab Umi pendek. “Mas, boleh aku bicara dulu?” pinta Uni menatap manik mata suaminya dengan serius dan penuh harap.  “Bu, aku dan Umi mau bicara dulu,” pakit Gibran menatap ibunya yang terus menerus menatap mereka dan memperhatikan mereka sejak tadi.  “Apalagi, mau ubah keputusan kamu? “ cerca Arani menatap tajam pada Umi yang sudah terlebih dahulu bangkit dari duduknya.  “Tidak, Bu, tapi aku perlu bicara sama, Umi. Lagian, Nadia masih di luar, bisa berikan waktu sebentar?” pinta Gibran menarik tangan istrinya dan pergi mwnuju kamar mereka.  “Umi! Jangan bikin Gibran mengubah keputusannya. Kamu harus dukung kalau mau jadi istri yang sempurna!” teriak Arani tidak mau kalau menantunya mengubah pikiran Gibran dan merusak segalanya.  Retno dan Arani kini saling tatap, lalu sama-sama menunduk. Nadia bahkan belum juga masuk, gadis itu tetap saja belum siap menjadi yang kedua, merusak rumah tangga orang lain dan hadir di tengah-tengah mereka sebagai seorang yang akan menghancurkan segalanya. Air mata masih saja terus mengalir di pipi Nadia, begitu juga Umi, kini di di dalam kamar, tidak ada komunikasi antara ia dan Gibran, suara tangis dan tetesan air mata itu yang hanya mendominasi di antara mereka berdua. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD