When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Umi dikejutkan oleh kumandang azan subuh. Udara dingin juga terasa sangat menusuk tulang. Tidak ada lagi pelukan hangat, tidak ada lagi ucapan selamat pagi dari Gibran. Janji untuk berlaku adil yang diucapkan Gibran ternyata hanya sekedar ucapan agar Umi merelakannya menikah lagi. Hari ini, genap tiga minggu Umi dibiarkan sendiri, tidak hanya membiarkan Umi tidur sendiri sesuai perjanjian, tapi Gibran juga tidak pernah menyapa Umi. Mereka hanya bertemu saat pagi menyapa di depan meja makan untuk sarapan, malamnya Gibran bahkan tidak tentu pulang jam berapa. Gegas Umi menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk suami, ibu dan madunya. Hal yang bahkan tidak bisa dilakukan oleh wanita lain, tapi Umi mencoba sabar dan ikhlas pada ketentuan-Nya. Satu jam berkutat di dapur akhirnya sarapan selesai.