Sebuah Kejutan

1383 Words
Gibran menatap wajah istrinya yang tertidur dengan pulas dengan rasa yang teramat bersalah. Perlahan ia mendekat, mengusap dengan lembut pipi Umi dan mendaratkan ciuman di kening istrinya berkali-kali. Air matanya jatuh, sebagai lelaki buat Gibran pantang untuk menangis, apalagi di depan wanita, itu prinsipnya dulu. Namun, sejak mengenal Umi, ia menjadi lelaki yang mudah mengeluarkan air mata. Saat hatinya tidak baik-baik saja seperti sekarang hanya Umi yang paham dengan apa yang ia rasakan, bahkan Arani tidak paham masalah ini. “Eh, aku di mana, Mas?” tanya Umi tiba-tiba saat sadar dari pingsannya. Gibran tercekat, melihat senyuman yang diberikan oleh istrinya. Wanita itu, wanita yang amat ia cintai, bahkan masih bisa tersenyum walau sudah ia sakiti berkali-kali. “Mas, aku di mana?” ulangnya lagi. Bibir itu tersenyum lagi. Gibran semakin merasa bersalah. Air matanya kembali menganak sungai, jatuh perlahan hingga pundaknya terlihat bergetar menahan perihnya rasa yang ia pendam. “Kamu kenapa, Mas? Aku baik-baik saja. Tidak usah khawatir,” ucap Umi mencoba menenangkan suaminya. Tangan putih dan lentik itu bergetar saat mencoba mengisap pipi suaminya. “Aku tidak apa-apa, Umi. Kamu jangan bergerak dulu, kamu harus banyak istirahat. Kamu harus kuat, Umi,” desak Gibran memperingatkan. Umi terdiam, lalu menatap suaminya, perlahan air matanya mengalir. Ia tergugu dan Gibran semakin panik melihat hal itu. “Ka-kamu kenapa? Ada yang sakit? Aku panggil dokter ya, tunggu,” tutur Gibran berdiri, tapi dihalangi oleh pegangan tangan Umi. Gibran terhenti dan menatap istrinya sekali lagi, air mata yang kembali jatuh ia seka dengan kasar. Cepat ia peluk istrinya dengan kuat dan mereka menangis dengan perasaan masing-masing yang belum terungkap. Pintu diketuk perlahan, satu perawat muda dengan pakaian serba biru datang menyapa dengan senyuman dan berkata, “Maaf, mengganggu, Pak, Bu. Ini dokter Herman, dokter yang menangani Ibu Umi tadi. Kontrol dulu ya, Bu, Pak,” ucap perawat itu mendekati Umi. Kedua suami istri itu mengangguk, lalu sama-sama menghapus air mata mereka. Sang dokter tersenyum dan mendekati Umi sementara Gibran mundur dan duduk di sisi lain. “Maaf sebelumnya, Bu. Apakah Ibu Umi tahu kalau Ibu sedang hamil?” tanya dokter Herman sedikit berbisik. “Maaf, karena kehamilan ini masih sangat baru, harusnya Ibu tidak boleh stres, hal ini sangat berpengaruh pada tumbuh kembang janin. Usianya baru tiga minggu, sangat baru dan rentan, Bu, Pak,” sambungnya menatap Umi dan Gibran secara bergantian. “Sa-ya tahu, Pak, tapi....” Umi beralih menatap Gibran yang kini juga menatap ke arahnya. “Kamu kenapa tidak bilang sama aku kalau kamu hamil, Umi?” tukas Gibran menatap istrinya yang tidak menyangka kalau ia sebenarnya tahu selama ini ia hamil. “A-aku....” Umi bingung untuk melanjutkan kata-katanya di depan dokter Herman. Ia tahu betul, masalah ini tidak perlu diketahui orang lain selain ia dan suaminya saja. Sambil menatap dokter Herman dan perawat yang kini berdiri di sampingnya, Umi berkata, “Makasi dokter, nanti saya akan lebih hati-hati lagi. Tadinya saya ingin kehamilan ini sebagai kejutan untuk suami, tapi nyatanya Allah berkehendak lain dan saya terjatuh.” “Baik saya paham, pesan saya tolong dijaga dengan sangat Ibu Umi ya, Pak. Apalagi sudah keguguran di awal kehamilan. Hal ini kurang baik untuk kandungannya nanti, tapi kita masih bisa jaga-jaga, nanti saya resepkan obat dan vitamin apa saja yang akan dikonsumsi selama penyembuhan. Harap diperhatikan dengan baik ya, Pak. Ibu Umi harus istirahat banyak dan tidak boleh banyak pikiran,” pinta Dokter Herman menatap keduanya pasangan suami istri itu dengan senyum simpul dan pamit. Umi dan Gibran menatap mereka hingga keluar kamar, lalu Gibran kembali ke posisinya semula. Duduk di samping Umi seperti sebelumnya. Menatap wajah istrinya yang masih sangat pucat, ia sebenarnya tidak tega untuk bertanya, tapi semua harus jelas. Jika saja dari awal Umi bilang ia hamil dan Arani tahu kalau Umi mengandung cucunya, tentu pertengkaran dan perjodohan yang selama ini menjadi masalah di antara mereka tidak akan terjadi. “Mas, aku....” Umi diam, menatap suaminya dengan perasaan tidak menentu. Gibran memperlihatkan wajah tegang, jelas bahwa ia memendam amarah yang tidak bisa ia keluarkan. “Kenapa tidak bilang dari awal?” tanya Gibran dengan nada yang lembut. “Karena Umi takut,” jawab Umi pendek. “Kalau saja kamu bilang dari awal, mungkin perjodohan yang direncanakan Ibu tidak terjadi bukan?” tanya Gibran menatap Umi dalam kali ini. “Aku rasa akan tetap berjalan, Mas. Masalahnya bukan di keturunan yang belum kita dapatkan bukan?” sela Umi membalas tatapan suaminya itu. “Memangnya apalagi?” “Aku anak yatim piatu, Mas. Anak yang kata Ibu tidak tahu asal usulnya. Sejak awal kita menikah bukankah itu yang tiap hari dibahas oleh Ibu. Aku sudah berusaha sabar, tapi apa bisa manusia biasa seperti aku bisa terus menerus sabar, Mas? Jadi, aku rasa, ada atau pun tidak ada anak ini. Ibu tetap sama, Ibu tetap ingin memberikan Mas istri baru, yang jelas asal usulnya.” Air mata di pipi Umi mengalir lagi, baru saja tadi ia merasakan kehangatan dari suaminya yang khawatir dengan. Keadaannya, kini mereka harus berdebat lagi. Gibran terdiam karena yang dikatakan Umi memang benar. Sejak awal pernikahan bukan anak yang jadi masalah di antara mereka, tapi asal usul. Walau pun jelas Umi yatim piatu, tapi buat Arani—Ibunda Gibran tetap saja hal itu dipermasalahkan. Tidak memiliki keturunan adalah rentetan masalah saja. Mengingat semua itu membuat hati Gibran hancur, dengan cepat ia kembali mendekati istrinya. Tiba-tiba pelukan ia berikan pada istrinya. Umi yang tadinya mulai terpancing suasana emosi, perlahan luluh kembali. “Maafkan, Mas, Umi. Kalau saja Mas tahu kamu hamil, mungkin Ibu bisa mengerti. Mas tahu Ibu tidak suka kamu, tapi Mas cinta kamu. Mas yabg memilih kamu,” bisik Gibran. Kata-kata yang diucapkan Gibran barusan kembali membuat hati Umi menghangat. “Terima kasih, Mas. Terima kasih karena masih mencintai aku,” bisik Umi menanggapi perkataan suaminya itu. Gibran mengurai pelukan, ia kembali menatap wajah istrinya yang masih terlihat pucat. “Mas mau ngomong sesuatu ke kamu boleh?” tanya Gibran dengan mimik wajah yang kembali serius. “Silakan, Mas. Apa?” Gibran mencoba memperbaiki posisi duduknya, lalu menarik napas panjang. Hal yang ingin disampaikannya itu adalah solusi terbaik menurutnya dan berharap Umi akan mengerti. “Mas sayang sama kamu, mas juga sayang sama Ibu. Ibu dan kamu adalah wanita yang paling berarti dalam hidup aku. Jika disuruh memilih sekali pun, aku tidak bisa, Umi. Ibu adalah wanita yang berjuang mati-matian untuk membesarkan aku seorang diri sejak Ayah tidak ada. Wajar ia sedikit protektif terhadap aku anaknya satu-satunya. Mas mohon, Uni mengerti hal itu.” Gibran menarik napas untuk kembali melanjutkan kata-katanya, Umi terlihat mendengarkan dengan baik. Wanita itu terlihat sangat antusias pada apa yang dikatakan suaminya. “Kalau Umi adalah wanita pilihan aku. Berbeda dengan Ibu yang memang sudah ditakdirkan menjadi Ibuku, untuk mendapatkan Umi seperti dulu, Mas juga butuh perjuangan. Perjuangkan agar Ibu akhirnya memberikan restu dan hal lainnya.” “Intinya apa, Mas?” tanya Umi mulai tidak sabar menunggu kata-kata selanjutnya. Bahkan di dalam hatinya, ia sudah siap jika memang ingin dilepaskan. “Intinya.....” Gibran tampak ragu-ragu, takut kata-kata selanjutnya membuat istrinya sedih lagi. “Intinya, aku tidak bisa tidak ada Ibu. Ibu hidup sendiri sejak dulu, ke mana aku, ibu tentu aku bawa. Tidak mungkin bukan kita berpisah dan hidup berdua saja agar pernikahan kita baik-baik saja,” ungkap Gibran melirik wajah istrinya. Menunggu respons yang diberikan Umi pada kata-katanya tadi. “Iya, Umi paham, Mas. Walaupun, Ibu bukanlah Ibu kandung Umi, tapi Ibu tetap Ibu Umi. Jika Umi diposisi, Mas. Harus memilih antara dua, Umi pasti akan memilih Ibu,” ungkap Umi dengan wajah terlihat sangat pilu. “Kamu salah tangkap, Umi. Mas bukan membicarakan tentang memilih sekarang. Begini,” ucap Gibran memperbaiki kembali duduknya dan letak kaca matanya. “Bagaimana jika setelah kamu sehat dan boleh pulang kita jalan-jalan. Untuk memperbaiki hubungan kita yang sempat tegang dan agar kamu lebih santai, semoga nanti kembali ada bayi lagi yang dititipkan Allah di rahim kamu,” sambung Gibran tampak bersemangat. “Ibu?” tanya Umi seakan berbisik. “Biar Mas yang bicarakan pada Ibu, pokoknya kamu sehat dulu. Nanti kita bicarakan lagi setelah kamu sehat.” Air mata Umi meleleh, hatinya kembali menghangat. Padahal sebelum ini ia sudah sangat pasrah pada keadaan hatinya yang tidak lagi bisa bertahan. Gibran memeluk istrinya dengan kuat, mereka berdua menangis lagi dengan alasan masing-masing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD