Hati yang Kembali Terluka

1693 Words
Sore itu, saat senja sudah mulai memperlihatkan warna jingganya. Arani duduk dengan santai di depan kolam renang. Ia terlihat sibuk dengan ponsel di tangan, sesekali terdengar tawa dikarenakan tontonan yang ia dengar di ponsel itu. Gibran yang sedang bahagia karena Umi sudah boleh pulang, kini mendekati ibunya. Segelas teh hangat sudah ia antarkan ke kamar untuk Umi dan memerintahkan istrinya untuk istirahat saja. Kini, ia mendekati ibunya, teh hijau hangat sudah ia seduh dengan sepenuh hati untuk sang Ibu. Perlahan Gibran duduk di samping Arani dan menaruh teh hijau tadi di atas meja yang memisahkan kursi yang mereka duduki. Arani mematikan ponselnya, lalu mengambil teh hijau itu dan menyesapnya sambil menutup mata. “Alhamdulillah, sore yang indah dengan the hijau hangat buatan Gibran, anak kesayangan Ibu,” tuturnya sambil tersenyum, lalu kembali menyesap hangatnya teh dan mengucap alhamdulillah berkali-kali. Gibran tersenyum dipuji demikian, hal itu sering terjadi sejak ia kecil. Saat sang ibu pulang bekerja untuk kebutuhan mereka berdua, Gibran akan berinisiatif membuatkan teh hijau hangat kesukaan ibunya dan dalam sekejap senyum dan riang ibu kembali ia dapatkan walau sudah lelah menjalani harinya mencari nafkah. Arani selalu memuji hal tersebut, “Alhamdulillah, terima kasih Gibran. Lelah ibu jadi hilang,” ucapnya sambil memeluk Gibran yang masih berusia lima tahun saat itu. “Aku masih ingat hari itu, hari di mana Ibu basah kuyup pulang ke rumah dan menangis karena merindukan Ayah. Aku mendengar tangis Ibu berkali-kali, tapi tidak mampu memeluk Ibu, yang bisa aku lakukan hanya membuat teh hangat seperti ini,” kata Gibran sambil tersenyum. “Terima kasih, kamu paham hati Ibu.” Wanita enam puluh lima tahun terlihat terharu, Air matanya jatuh perlahan. Gibran berusaha menghapus air mata itu, tapi Arani menghalang dan menarik anak satu-satunya itu ke dalam pelukannya. Beberapa saat pelukan itu bertahan, masing-masing mereka melepaskan segala rasa yang berkecamuk di dalam d**a. Ada haru yang harus meneteskan air mata dan senyum karena kini masih diberikan kesempatan untuk bersama. Ponsel Arani berbunyi dan pelukan itu akhirnya terurai. “Sebentar, ada pesan mungkin penting,” ucap Arani melepaskan pelukannya dan beralih menatap ponselnya kali ini. Ia tersenyum dan kemudian jari-jari itu menari-nari di atas layar ponselnya dengan cepat membalas pesan yang datang beruntun. Dari Bu Retno. “Kenapa, Bu. Siapa? Senang sekali sepertinya,” desak Gibran penasaran. “Ini, Bu Retno mau datang ke sini. Katanya silaturahmi karena kebetulan memang ada urusan di kota ini,” ucap Arani tanpa memalingkan wajahnya dari ponsel yang ia pegang. Gibran terdiam, lelaki itu mulai mengingat-ingat siapakah gerangan Bu Retno yang dimaksud ibunya. Setahu Gibran, ibunya tidak banyak teman, hanya ada beberapa teman yang dekat dikarenakan Ibu memang sibuk mengurusnya sejak kecil, bekerja keras banting tulang sampai lupa membedakan siang dan malam, sehingga lingkup pertemanannya tidak seluas seperti sebelum ayahnya pergi ke surga. “Itu lo, ibunya Nabila, yang mau dijodohkan sama kamu. Kamu lupa?” Arani menepuk punggung anaknya perlahan. “Jadi Ibu masih menginginkan perjodohan ini sementara Umi masih harus dirawat di rumah, Bu?” protes Gibran menatap ibunya tidak percaya. “Ibu kan sudah bilang kalau kamu akan menikahi dia, karena…” “Apa? Anak yang ibu harapkan? Umi hamil, Bu. Dan kitalah yang membuat ia keguguran karena ibu dan aku melukai hatinya dengan menyuruh aku menikah. Aku masih mencintai Umi, Bu. Bukan karena ia bisa atau tidak bisa punya anak,” jelas Gibran menatap Ibunya penuh amarah. Baru saja suasana senja membuatnya berpelukan dan membuatnya bahagia. Sebelum ponsel itu berbunyi, sebelum pesan itu datang dan semua menjadi berantakan. Gibran menahan amarah, dadanya naik turun. Dilain sisi ia cinta istrinya dan akan memutuskan untuk tidak menikah lagi, apalagi setelah tahu kalau Umi hamil dan istrinya harus keguguran karena ulahnya. Karena itu pula Gibran ingin memperbaiki semuanya, membawa istrinya jalan-jalan untuk melepaskan semua beban di hati masing-masing dan mesra lagi seperti sebelum rencana perjodohan ini dilontarkan. Arani mendengus kesal. “Jadi, di mana wajah ibu harus disembunyikan kalau Bu Retno datang dan bertanya perihal kamu dan anaknya nanti? Apa ibu bilang tidak jadi, hanya bercanda dan menantu Ibu sedang hamil,” seloroh Arani penuh emosi. “Kamu jangan sesekali bikin ibu malu, Bu Retno selalu ada saat ibu butuh dia dulu. Dia teman ibu yang paling paham keadaan ibu hingga sekarang, jadi jangan sesekali kamu merusak rencana yang sudah jauh-jauh hari ibu rancang untuk kamu,” sambungnya dengan tangan yang bergetar karena menahan emosi yang bisa saja lepas tanpa kendali. “Bu! Umi baru sehat, tolong kecilkan suara Ibu. Tolong hargai Umi sebagai manusia yang juga punya perasaan,” balas Gibran tidak mau kalah. “Iya dan ibu tahu itu. Dia sudah pulang kan? Kenapa tidak menemui Ibu, malah diam di kamar leha-leha seperti sekarang. Menantu macam apa itu?” kilah Arani menumpahkan amarahnya pada Gibran yang sudah mulai terlihat emosi. “Astagfirullah, Bu. Umi sedang tidak baik-baik saja. Aku yang memintanya untuk istirahat. Lagian selama ia di rumah sakit Ibu ke mana? Padahal ibu kan yang mengantarnya ke rumah sakit. Tolonglah, Bu. Hargai Umi sebagai anak Ibu juga, sebagai pilihanku,” saran Gibran, berharap hati ibunya terbuka dan bersikap lebih baik pada istrinya. Arani beranjak dari teras, lalu masuk ke dalam rumah tanpa memedulikan Gibran yang masih belum menyelesaikan uneg-uneg di hatinya. “Bu, aku belum beres bicara,” protes Gibran melihat sikap ibunya yang cuek dan pergi begitu saja. “Menurut Ibu sudah selesai, Gibran. Bu Retno sudah jelas-jelas akan datang ke sini, alasan apa yang harus Ibu katakan perihal perjodohan itu. Mau tidak mau Ibu harus bilang dan melanjutkan rencana kami kan?” Arani pergi menjauh menuju kamarnya tanpa memedulikan Gibran yang benar-benar dibuat kesal oleh ibunya. Namun, untuk berdebat lebih panjang lagi, Gibran kembali berpikir. Ia takut di cap sebagai anak durhaka, tapi juga tidak tega mengkhianati istrinya, wanita pilihan hatinya itu. “Yasudah, kalau begitu. Rencana Gibran akan dipercepat saja, Bu. Tadinya mau izin dulu kalau kami akan pergi jalan-jalan, hitung-hitung sebagai permintaan maaf telah melukai dan mencelakan Umi sampai aku harus kehilangan darah dagingku sendiri,” ucap Gibran lalu menyusul ibunya, mendahului Arani dan berniat untuk masuk ke kamarnya. Kamar mereka tidak jauh, bersisian dan hanya dibatasi oleh dinding pemisah. Hal itu dikarenakan kedua wanita kesayangan Gibran sama-sama takut akan hujan dan dentuman petir yang datang dari langit. Awalnya, bersisian akan membuat Gibran nyaman dan dekat dengan keduanya. Selain itu, ia berniat agar istri dan ibunya bisa lebih dekat dan akrab. Nyatanya persoalan lalu, tetap saja menjadi masalah walau sudah lebih lima tahun pernikahan. Untuk kembali pindah ke kamar lain, Gibran tentu takut menyakiti salah satu hati mereka, sehingga harus bertahan dan tetap berharap keluarganya akan baik-baik saja selamanya. “Maksud kamu apa?” tanya Arani menyusul Gibran sampai ke depan kamar anaknya. Untung, pintu kamar itu ditutup sehingga Umi tidak melihat perdebatan yang terjadi. “Iya, Gibran ada rencana mau liburan bersama Umi. Sesekali membawa di jalan-jalan dan menyenangkan hatinya tidak akan salah kan, Bu? Tadinya setelah dia agak sehat saja, baru kami berangkat, tapi karena Bu Retno akan datang, jadi aku putuskan malam ini kami berangkat,” jelas Gibran dan mulai memutar kenop pintu untuk masuk ke kamarnya. Di sana tampak Umi yang sedang bersusah payah untuk duduk. Melihat Arani yang berdiri di depan pintu kamar, Umi mulai beringsut untuk menemui ibu mertua. Perlahan tapi pasti ia berjalan dan sampai di depan Arani dengan tenaga yang tersisa, ia menarik tangan Arani dan mencium tangan yang sudah keriput itu dengan lembut, tapi Arani malah menepisnya hingga Umi terlonjak dan hampir jatuh, untung ada Gibran yang sigap menahan berat badan istrinya. “Maaf, kalau tidak menemui ibu, tapi Umi diminta Mas Gibran untuk tetap di kamar saja,” terangnya menatap Aruni dan Gibran bergantian. “Apa-apan sih kamu, mau menghabiskan uang saja pakai jalan-jalan dan liburan segala. Ingat yang bekerja cuman kamu, Gibran. Istri kamu tahu apa masalah uang keluar dan segalanya? Yang dia tahu hanya jalan-jalan saja. Tidak, Ibu tidak setuju,” tuntut Arani tanpa memedulikan ucapan Umi padanya. Umi langsung terdiam, percuma membahas ini jika sang mertua masih marah dan bersikap seperti barusan padanya. “Tapi, Bu. Umi juga butuh liburan, masalah kemarinlah yang membuat ia keguguran. Anak Gibran, Bu. Bukankah itu yang Ibu inginkan selama ini. Ibu ingin cucu kan? Dan Allah mengabulkannya, tapi apa? Kita yang merusaknya, melukai hati Umi sampai hal ini terjadi,” ungkap Gibran kembali emosi dan melanjutkan perdebatan yang hampir selesai tadi. Arani menatap tajam pada Umi, “Kamu yang mau liburan, Umi!” ketus Arani menatap Umi dengan mata yang terlihat penuh emosi. “Ti-tidak, Bu. Mas Gibran yang mengajak dan bilang kamu ia akan meminta izin pada Ibu,” jelas Umi menatap ibu mertuanya itu. “Kalau tidak diizinkan juga tidak masalah, Mas. Bisa lain kali kan,” sambung Umi mencoba tersenyum. “Tuh, kamu di rumah saja, kalau Bu Retno sampai tahu kamu pergi, ibu akan malu, mau ditaruh di mana muka ibu ini, Gibran!” Bentak Arani dengan emosi, lalu berjalan menjauhi kamar Umi dan Gibran dan masuk ke kamarnya. Gibran yang tidak bisa berkata apa-apa lagi kini memeluk Umi dengan hati yang hancur, tidak kalah hancurnya yang dirasakan Umi saat tahu Bu Retno akan datang ke rumahnya hari ini. Itu artinya, semua yang dirasakannya selama ini benar. Arani tetap tidak akan bisa menerima Umi sampai kapan pun walau ada bayi di antara mereka. “Aku lelah, Mas. Aku ingin istirahat,” ucap Umi mengurai pelukannya. “Maafin Mas, Umi. Mas sudah berusaha, tapi tetap saja Ibu keras dengan pendapatnya. Ibu bahkan tidak….” “Sudahlah, Mas. Mungkin memang ini yang diinginkan Ibu. Sejak awal memang ibu tidak inginkan aku ada di sini. Aku pasrah Mas, jika Mas memang ingin menduakan aku, aku mohon lepaskan saja. Biar sakit ini akan pergi seiring waktu, bukan bertahan lama dan bernanah, lalu meledak di waktu yang kita tidak tahu,” ungkap Umi melepaskan pelukannya dari Gibran dan kembali ke tempat tidur. Wanita itu menangis sekeras-kerasnya, menutupi wajahnya dengan bantal agar tangis itu terdengar lebih samar. Gibran hanya bisa melihat istrinya kecewa untuk kesekian kalinya, tanpa bisa melakukan apa pun sekarang. Pelukan yang ia berikan bahkan ditolak oleh Umi, Umi merasa tidak ada lagi pegangannya sehingga pelukan Gibran pun kini tidak cukup menenangkan hatinya yang kembali hancur berserakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD