Hati yang Terlanjur Patah

1044 Words
Gibran berkali-kali mengetuk pintu, tapi tetap tidak ada jawaban dari Umi. Perlahan kenop pintu diputar, setelah membaca salam Gibran melangkah perlahan ke dalam kamar. Setelah melewati partisi buku-buku tempat ia membaca buku setiap hari Gibran terkejut dengan suara keras seperti ada benda yang jatuh. Cepat ia berlari dan melihat apa yang terjadi. Benar saya, Umi terjatuh dan tertidur di lantai, malangnya sebuah koper besar kini menindih kakinya sehingga ia berteriak kesakitan. “Ada apa?” tanya Gibran dengan cepat menarik tubuh istrinya dan menyingkirkan koper yang lumayan bera itu dari kaki Umu. Umi mengaduh, kemudian menghapus air  matanya. “Aku bisa jalan sendiri, Mas,” ucap Umi sambil menyingkirkan tangan suaminya. Gadis itu memang mencoba berdiri, tapi tubuhnya kembali jatuh karena hilang keseimbangan karena kaki yang sakit. “Sudah, jangan keras kepala, biarkan Mas angkat kamu, Mi. Ayo,” ucap Gibran kembali mencoba mengendong istrinya. “Apa, aku keras kepala? Apa aku tidak salah dengar, Mas? Oh tidak, mungkin benar apa yang dikataka Ibu. Mas salah memilihku, aku bukan istri yang baik untukmu, tapi tahukah, Mas. Inii semua karena tidak adil buatku. Hanya karena aku yatim piatu dan tidak bisa punya keturunan, lalu Mas mau meninggalkan aku?” tanya Umi menatap suaminya dengan mata yang nanar. “Astagfirullah, bukan begitu, Umi. Tolong jangan berpikir begitu?” jawab Gibran mencoba membela ibunya. “Sudahlah, Mas. Di antara kita sekarang sudah berakhir. Jika Mas memilih gadis pilihan Ibu, Mas juga sudah memilih meninggalkan aku. Kita bercerai saja, biarkan aku pergi,” ucap Umi sambil mencoba kembali berdiri. Menarik koper yang jatuh lagi dengan sekuat tenaga dan kembali terjatuh dan mengaduh. Gibran dengan cepat menarik Umi ke pangkuannya, walau Umi berontak ia tetap saja memeluk Umi dengan sekuat tenaga dan lelaki itu akhirnya menangis di pelukan istrinya. Umi kini terdiam dan berhenti bicara, perlahan ia kini mengusap kening Gibran dan menghapus air mata suaminya dengan mata yang juga basah. “MI, tolong jangan tinggalkan aku. Aku hanya ingin memenuhi permintaan Ibu. Tolong. Aku juga tidak berniat menceraikanmu seperti apa yang kamu bilang, Umi. Aku mohon bertahanlah untukku. " GIbran semakin memeluk istrinya dengan kuat, tapi Umi kini melonggarkan pelukaannya dan mencoba membuat jarak. “Mas, aku paham hati ibu. Ibu mana yang tidak mau jika anaknya bahagia. Mas jika punya anak tentu akan lebih bahagia, aku mohon lepaskan aku. Biarkan aku pergi, Mas. Mungkin jodoh kita hanya sampai di sini. Umi menguatkan diri untuk berdiri, lalu berjalan mengambil koper dengan wajah menahan rasa sakit. Ia membuka lemari, mengambil beberapa helai gamis, hijab dan sebuah sandal sederhana. Lalu kembali menghadap Gibran yang kini sudah tidak lagi bisa bicara. Gadis itu menarik tangan suaminya, lalu mencium punggung tangan itu dengan serius. Air matanya menetes lagi dan membasahi tangan Gibran. Gibran kembali berusaha memeluk Umi dengan cepat, tapi lagi-lagi gadis itu menghindar dan pergi ke arah pintu keluar. “Mas, aku pergi. Tak banyak yang aku bawa, semua pemberianmu dan aku rasa tidak sepatutnya kubawa pergi. Izinkan aku pergi karena aku masih berstatus sebagai istri, jika kau tidak ridho aku takut tak mencium bau surga. Aku mohon lepaskan aku, terlalu sakit di sini, terlalu sakit jika aku terus menerus bertahan. Tolong, “ ucap Umi setengah berbisik. “Kamu mau ke mana, Mi?” tanya Gibran dengan suara serak. Sudah mau gelap, tolong bertahanlah buat aku. Nanti aku akan coba jelaskan lagi pada Ibu. Aku mohon,” ucap Gibran mengiba. “Maaf, Mas. Mungkin ini puncak dari rasa sabar yang aku miliki. Aku pamit,” ucap Umi lalu melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah menuju pintu kamar, Umi terjatuh dan kepalanya terbentur pada partisi di samping pintu. Dengan cepat Gibran berteriak dan mengejar Umi. Namun, sayangnya Umi tidak sadarkan diri. Lelaki itu mulai panik dan dengan cepat memanggil ibunya. Arani yang masih duduk di sofa, berlari mendekati kamar Umi. “Ada apa?” tanya Arani mulai terlihat panik. “Umi jatuh, Bu. Tolong aku untuk mengangkatnya ke ranjang,” ujar Gibran panik. “Kalau sudah begini siapa yang susah, Ibu juga kan?” ucap Arani mulai gusar. “Sudahlah, Bu. Tolong berhenti dulu berdebat, sekarang yang harus kita lakukan bawa Umi ke ranjang agar bisa beristirahat, bukan selalu menyalahkan.” Gibran menyingkirkan koper yang tergeletak tidak jauh dari Umi dan bersiap mengangkat istrinya ke pangkuan. Namun, ia kembali terkejut dengan darah yang terus menerus mengalir dari balik gamis Umi yang berwarna berwarna gelap sehingga ia baru menyadari saat darah itu merembes dan mengenai tangannya. “Ambulans, telepon ambulans Gibran. Umi berdarah,” teriak Arani histeris dan mulai panik pada situasi yang mencekam. “Ba-baik, Bu,” Gibran berlari mencari ponsel yang terletak di atas nakas. Lalu dengan cepat menghubungi ambulans secepatnya. *** Arani dan Gibran kini terlihat sangat khawatir. Arani yang biasanya selalu terlihat benci kepada Umi kini mendadak histeris dan terus-menerus menangis. Gibran hanya bisa mondar-mandir di depan ruang operasi dengan jantung yang terus berdebar-debar, di dalam hati ia tidak bisa tenang dengan pikiran dan pertanyaan yang terus menerus silih berganti datang. Sampai seorang dokter ke luar ruang operasi dan memanggil Gibran untuk mendekat. “Bapak suaminya ya?” tanya seorang dokter yang sudah terlihat tua. “Saya ibunya,” ucap Arani dengan cepat. Kekhawatirannya kini tidak bisa disembunyikan lagi. “Baik. Saya mohon Ibu dan Bapak bersabar, mungkin ini sudah jalannya Allah yang terbaik. Mohon maaf, saya tidak bisa menyelamatkan janin istri Bapak. Sya harap, Bapak dan Ibu bisa menerima takdir-Nya. Pesan saya tolong pasien di jaga dengan baik, jangan biarkan ia stres dan banyak pikiran, serta jangan kecepekan. Terima kasih. Bapak dan Ibu sudah boleh masuk sekarang,” ucap dokter itu dan mempersilakan ARani dan Gibran untuk masuk. Gibran langsung berlari ke dalam kamar untuk menemui istrinya, sedangkan Arani kini terpaku di tempatnya. Kakinya seakan tidak bisa dilangkahkan, air matanya kini mengalir tanpa henti. Ada rasanya bersalah yang kini silih berganti datang karena merasa ialah yang membunuh cucu pertamanya. Ia jugalah yang menyebabkan semua ini terjadi. Lalu, detik kemudian ia kembali kepada rencana semula, Gibran harus dijodohkan agar cepat mendapat pengganti. Arani melangkah pergi menjauhi rumah sakit dan pulang ke rumah. Dengan semua yang telah terjadi, ia masih belum bisa menerima degan segenap jiwa kalau Gibran akan dikaruniai anak dai Ibu yang tidak tahu asal usulnya, hal itu kembali mengeraskan hati Arani dan kembali bersikap cuek pada Umi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD