When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
“Aku tidak menyangka kalau Nadia bakalan pulang, Mbak. Maaf, katanya rindu rumah. Jadi, aku antarkan saja ke sini sekalian lihat kondisi dirimu, Mbak. Maaf, tahu sendiri aku sibuknya luar biasa kan,” ujar Retno menjelaskan pasca pulangnya Nadia ke rumah orang tuanya. Wanita itu tersenyum kaku salah tingkah. Ada rasa tidak enak pada Arani karena sikap anaknya yang sudah keterlaluan. Arani menatap Nadia dengan serius, gadis itu hanya menunduk. Jika sebelumnya ia bisa bicara semaunya, kini di samping Retno ia bahkan tidak bicara apa-apa. Retno memperbaiki duduknya, beringsut ke depan, lalu mendekat ke arah Arani. “Maaf ya, Mbak. Aku udah ajarkan dia untuk lebih patuh pada Gibran dan tidak kabur-kaburan begini lagi. Semoga Nadia paham,” terang Retno menatap Arani dengan senyum yang kaku