When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
“Assalamualaikum, Mi.” Gibran berkali-kali mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban yang terdengar dari dalam. Berkali-kali pula ia coba menelepon ke ponsel Umi, tetap saja tidak diangkat oleh wanita itu. Gibran dan Arani yang sudah pulang merasa kegerahan di luar mulai mengomel dan kesal. “Apalagi sih ulah Umi, istrimu itu memang tidak ada hal positifnya. Enggak bisa sekali saja membuat ibu tidak marah, Gib. Ibu benar-benar sudah muak, udah eneg!” maki Arani menatap pintu rumah yang terkunci. Sudah lebih lima belas menit ia terkunci dan tidak bisa masuk, udara yang panas dan tubuh yang ingin istirahat membuat Arani kesal bukan main. “Bu, sabar. Jangan terlalu emosi. Ibu baru saja dibilang lebih baik sama dokter. Suara ibu juga lebih kuat keluar sekarang, tenang, mungkin Umi ketiduran,” t