Kejutan

1109 Words
Tepat jam makan siang, semua masakan sudah selesai. Arani akhirnya bisa bernapas lega, kini ia dan dua tamu itu duduk di meja makan, berbincang sambil bercanda. “Eh, Mbak. Menantunya tidak diajak, sudah siang lo dan dia belum makan,” ucap Retno menyenggol tangan Arani untuk mengutarakan maksudnya. Arani tampak berpikir sejenak, lalu tersenyum dan berkata, “Biarkan saja, dia kan butuh istirahat, nanti dibangunkan malah jadi masalah lagi. Ngadu lagi sama Gibran dan pasti nanti aku cekcok lagi sama Gibran.” “Wah, memang seringnya begitu?” tanya Retno antusias. “Iya, sering banget. Ujung-ujungnya aku yang berdebat dengan anakku sendiri. Entahlah, dari awal kan aku sudah bilang kalau aku memang tidak suka dengan dia, tapi ya mungkin karena cinta kali ya, jadinya Gibran memilih dia. Aku sudah tekankan padahal dari awal kalau dia enggak jelas karena tidak ada orang tuanya itu lo, Retno,” jelas Arani di sela-sela suapannya menikmati makan siang dengan menu yang sangat banyak. “Enggak ada orang tua belum tentu tidak jelas, Bude,” protes Nadia tiba-tiba. Gadis itu bicara tanpa melihat sedikit pun kepada Arani, dia sibuk dengan makan siang dan fokus pada santapannya itu. Mereka semua terdiam, Arani menatap Nadia tidak percaya, gadis itu memang sedikit bicara sejak kecil, pribadinya yang introvert memang membuatnya berbeda dengan kakak-kakaknya, tapi Arani tetap menyukai gadis itu karena keturunan yang jelas, keluarganya kaya dan anaknya memang memiliki pendidikan yang sangat tinggi. Berbeda dengan Umi yang hanya lulus sarjana, tapi bahkan tidak punya pengalaman sama sekali dalam bekerja. Lulus kuliah, Gibran melamar dan tidak mengizinkan Umi untuk bekerja. Pernah jadi perdebatan, karena Arani tidak suka jika Umi tidak bekerja, ia juga harus berbuat banyak untuk keluarga. Namun, Gibran akhirnya menang karena ia bisa menghidupi kedua wanita kesayangannya itu walau istrinya hanya di rumah saja. “Iya juga sih, Mbak. Nadia ada benarnya, tidak ada orang tua bukan berarti tidak dari keturunan yang baik bukan? Ini faktor keberuntungan saja aku rasa, takdir yang membuat Umi untuk menerima kalau ia ditinggalkan orang tuanya sejak kecil. Dia besar dengan keluarga ayahnya kan?” tanya Retno memberikan pertanyaan pada Arani. “Menurut aku sebaiknya Mbak bicarakan ini baik-baik sama keluarganya Umi, tanya baik-baik ke mana orangtuanya, apakah bercerai dan meninggal atau meninggal saja, kita kan tidak tahu,” ungkap Retno mencoba memberikan solusi. “Sudah lama, lima tahun, Retno. Aku malas memperdebatkan ini. Yang pasti aku ingin punya cucu, mungkin Nadia bisa kasih bude cucu,” celetuk Arani menatap Nadia yang masih serius dengan santapannya. Nadia yang ditodong begitu hanya bisa tersenyum palsu. Satu suapannya selesai. "Kalau Nadia juga tidak bisa memberikan bude cucu, Bude mau carikan Mas Gibran istri ketiga? Begitu?” tanya Nadia tersenyum tipis. “Hus, tidak baik bertanya begitu Nadia,” protes Retno tidak enak dengan sikap anaknya yang terlalu frontal dalam berbicara. Arani terdiam dengan ucapan Nadia barusan, seketika ia juga membayangkan kalau Nadia juga tidak bisa memberikan cucu, apakah ia akan mencari yang baru untuk Gibran. Sejauh ini hal itu tidak pernah ia pikirkan, yang ia kesalkan hanya satu, Umi bukan menantu idaman, sejak Umi ada juga lah pertengkaran demi pertengkaran dengan Gibran anak satu-satunya itu selalu terjadi. Tiba-tiba ia tercekat, jika memang Nadia tidak bisa memberikan cucu untuknya, apa yang harus ia lakukan? Apakah hanya menerima dan menunggu atau malah disingkirkan juga? Bagaimana mungkin bisa disingkirkan kalau ibunya adalah Retno sahabat yang mengerti dia sejak dulu. “Ah, tidak mungkin begitu Nadia. Bude akan terus menunggu kamu hamil dan melahirkan, lagian kamu masih sangat muda, kemungkinan untuk memiliki anak lebih cepat. Tidak seperti Umi yang usianya sudah termasuk lanjut dengan fisik yang kurang kuat begitu, tentu akan susah mendapatkan anak dengan usia lanjutnya,” tutur Arani menatap Nadia yang berdiri menunggu tanggapannya. “Oh. Oke. Kalau begitu kita lihat saja nanti ya bude. Semoga harapan Bude dan Ibu terwujud,” ucap Nadia. Gadis itu berjalan pelan menuju kamar tempat ia beristirahat, sebelum membuka pintu ia kembali ke meja makan, mengambil piring, lalu menyendok nasi dan lauk ke atas piring itu. Tidak lupa mengambil segelas air hangat, dan pergi begitu saja tanpa bicara apa-apa pada Arani maupun Retno. “Kamu masih lapar, Nadia?” tanya Arani melihat gadis itu sibuk dengan apa yang ia lakukan tadi. “Bisa jadi, Mbak. Dia kalau kerja di depan laptop suka kalap, tapi ya syukur badannya tidak bisa gemuk. Alhamdulillah, masih singset aja. Perawatan juga sih dia,” potong Retno menatap Nadia—anak gadis satu-satunya itu. “Enggak, aku sudah kenyang Bu, Bude. Ini untuk Mbak Umi, kasihan pasti dia lapar. Dia tidak kuat berdiri kan," ujar Nadia sambil tersenyum manis pada Retno dan Arani yang masih sibuk dengan santapannya itu. Nadia berjalan pelan ke kamar Umi, lalu mengetuk pintu kamar itu perlahan. Saat suara Umi mengatakan masuk, barulah ia membuka pintu dan tersenyum pada Umi. “Makan dulu, Mbak. Sudah siang. Mau aku suapin?” tanya Nadia menatap Umi masih terlihat sangat lemah. Mata wanita itu terlihat bengkak, ia seperti selesai menangis dan benar, berkali-kali terlihat menghapus air matanya walau tidak lagi ada yang tersisa di sana. “Tidak usah terima kasih, aku bisa sendiri, Nadia,” jawab Umi mencoba tersenyum. Keduanya tampak canggung walau sudah mulai berkomunikasi. Rasa cemburu di dalam hati Umi begitu menguasainya kini. “Kalau begitu, aku lanjut bekerja ya, Mbak. Maaf mengganggu istirahatnya ya, Mbak,” pamit Nadia, lalu berjalan ke arah pintu dan bersiap untuk ke luar. “Tunggu, Nadia. Aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Umi, wanita itu mencoba untuk duduk dan memposisikan tubuhnya agar nyaman dan bisa bicara dengan Nadia. “Kamu boleh duduk dulu?” sambungnya menatap Nadia dengan senyuman. “Oh, boleh, Mbak.” Gadis itu beranjak dari tempat ia berdiri, lalu berjalan ke sisi tempat tidur, kemudian duduk di kursi yang tidak jauh dari tempat tidur. "Aku duduk disini boleh?” sambungnya dengan senyum yang tidak kalah ramahnya pada Umi. "Maaf, kalau aku bertanya begini sama kamu. Sebelum semuanya terlambat aku ingin menjelaskan dan menerangkan semuanya, Nadia,” ungkap Umi kembali memperbaiki posisi duduknya. “Silakan, Mbak. Saya akan jawab apa pun yang bisa saya jawab,” ucap Nadia bersiap mendengarkan apa pun yang akan ditanyakan Umi padanya. “Kamu pernah mencintai seseorang?” tanya Umi memulai pertanyaan mereka. “Tentu pernah, Mbak,” jawab Nadia dengan cepat. “Aku juga, aku sangat mencintai Mas Gibran suamiku, tapi kamu tahu kan, kita tidak perlu menutupi ini lagi. Kamu akan dijadikan istri juga untuk Mas Gibran. Kamu tahu perasaanku Nadia?” tanya Umi dengan suara yang sangat lembut dan tersenyum. Wanita itu mencoba melawan hatinya yang terluka, mencoba terlihat baik-baik saja walau sebenarnya sudah hancur seluruhnya. “A-aku tahu Mbak, dan aku paham rasanya, tapi....”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD