Sudah pukul sebelas, hanya beberapa jam lagi menuju makan siang. Namun, pekerjaan Umi belum juga selesai, bahkan belum setengahnya, semua masakan permintaan Arani untuk kedua tamunya harus diselesaikan secepatnya sebelum makan siang, bukan tidak mampu, tapi kondisi Umi lah yang membuat semuanya serba lambat. selesai. Ia harus hati-hati mengerjakan semuanya sesuai pesan dokter agar penyembuhan akibat keguguran lalu cepat berlalu dan bisa menghadirkan seorang bayi lagi di tubuhnya, semua itu tentu butuh waktu dan kesehatan yang maksimal.
Untuk dua orang tamu istimewa itu, Arani meminta Umi untuk memasak berbagai masakan seperti tempo lalu dan tidak ada bantuan sama sekali oleh Arani. Retno dan Arani sibuk di ruang keluarga, menonton sambil bercerita tentang masa lalu mereka, perjuangan yang tidak ada habisnya hingga rencana mereka untuk menjadi besan.
Sedangkan Nadia dari awal datang hingga berjam-jam berlalu hanya diam saja di kamar saja, entah apa yang ia lakukan. Kondisi Umi yang masih belum stabil membuatnya mendadak pusing dan akhirnya jatuh ke lantai.
Bunyi gaduh yang terjadi karena Umi terjatuh membuat Arani bergegas datang ke dapur, lalu mendapati Umi yang tergolek lemah tidak berdaya. Wajah wanita itu terlihat sangat pucat, tubuhnya lemas, bahkan untuk berdiri pun ia tidak mampu.
“Umi, kamu kenapa lagi sih?” tanya Arani spontan. “Ayo, bangun. Bangun!” ujar Arani menarik tangan Umi dengan paksa.
Wanita itu tidak menjawab, dengan wajah yang pucat dan tubuh yang lemas membuat Umi tidak mampu menjawab pertanyaan itu sepatah kata pun. Namun, Arani tetap bertanya dan terus menyalahkan.
“Ayo bangun, jangan bikin malu kamu. Ibu ada tamu, cepat bangun!” ucap Arani dengan suara lebih kuat.
“Umi, lemas, Bu. Tidak kuat,” bisiknya dengan suara sangat pelan.
“Ada apa?” tanya Nadia yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang mereka. Gadis itu dengan cepat mencoba memapah Umi dengan kekuatan yang ia punya.
Tidak lama Retno datang dan ikut memboyong Umi dan membawanya ke tempat tidur.
“Enggak tahu, tiba-tiba jatuh. Badannya memang tidak sekuat kamu, Nadia. Makanya Ibu suka kesal sama dia,” ucap Arani tetap menyalahkan menantunya sambil mengikuti kedua tamunya itu membawa Umi ke kamar.
“Kamu kenapa? Kelihatannya pucat, dari tadi Ibu lihat sedang tidak enak badan ya, kamu baik-baik saja kan? Tidak usah memasak kalau begitu, kami makan di luar saja juga tidak masalah kok,” ucap Retno tersenyum dan coba menghibur Umi.
Umi hanya bisa tersenyum kecut menjawab pertanyaan Bu Retno padanya. Diliriknya Arani yang tampak memperlihatkan wajah yang kesal tanda tidak setuju. Wanita paruh baya itu menatap Umi dengan kesal tanpa sedikit pun berniat membantu menantunya.
“Maaf ya, Mbak. Saya di kamar saja sejak tadi, biasa. Banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan, apalagi besok sudah harus masuk ke kantor baru. Maaf merepotkan dirimu ya, Mbak,” ungkap Nadia merasa tidak enak.
“Tidak apa, Bu, Nadia. Saya hanya butuh istirahat lebih mungkin, karena baru pulang dari rumah sakit. Jadi ....”
“Ah, sudah-sudah, yuk. Kita balik ke luar. Sepertinya Umi memang butuh istirahat, yaudah biarkan saja dulu,” tegas Arani merespon ungkapan Umi. Ia berniat untuk menyembunyikan kehamilan Umi dan keguguran karena memang banyak pikiran.
“Yuk, kita lanjutkan bincang-bincang tadi,” gerutu Arani, kesal pada menantunya yang dikira ambil kesempatan untuk bisa beristirahat dan mengambil muka pada kedua tamunya.
“Mbak, Rani. Yakin Umi baik-baik dan hanya butuh istirahat. Bagaimana kalau dia sakit betulan, apa tidak sebaiknya dibawa ke rumah sakit saja?” sela Retno masih merasa khawatir pada Umi yang terbaring lemah di ranjangnya.
Arani lagi-lagi menatap Umi dengan wajah kesal. Lalu dengan cepat berkata, “Dia kan baru pulang dari rumah sakit, aku rasa tidak perlu diperpanjang. Mungkin hanya butuh istirahat, yuk, kita ke ruang keluarga lagi,” ucap Arani menarik tangan Retno dan tidak memedulikan menantunya itu.
Air mata mengalir lagi di wajah Umi, cepat ia hapus sebelum dilihat oleh Nadia. Namun, gadis itu tidak bodoh, ia seakan tahu kalau Umi memang sedang tidak baik, banyak hal yang sepertinya ditutupi oleh calon mertuanya itu.
Kedua sahabat itu kini beralih ke dapur, berkat ajakan Retno, Arani akhirnya mau menyelesaikan semua masakan yang belum selesai itu. Awalnya ia kesal dan mengucap kekesalannya pada Umi, tapi Retno tidak ambil pusing, ia tahu betul bagaimana Arani jika sudah tidak suka dengan satu hal atau bahkan dengan seseorang. Ia akan selalu menjadi buah bibir untuk melampiaskan kekesalannya itu.
Kini di kamar hanya tinggal Umi dan Nadia. Kedua wanita itu saling tatap. Umi dengan sekuat tenaga mencoba menahan air matanya untuk tidak kembali jatuh, malu pada Nadia yang seharusnya tidak melihat semua ini, tidak seharusnya kelemahannya itu diperlihatkan pada tamu kehormatan mertuanya, apalagi Nadia akan menjadi madunya. Ia harus kuat dan tegar di depan Nadia walau hatinya kini hancur berkali-kali.
“Mbak, aku boleh bertanya?” tanya Nadia ragu-ragu menatap Umi dengan wajah serius.
Umi hanya bisa menatap Nadia dengan lemas, wajahnya semakin terlihat pucat dan lemas. Hal itu kembali membuat Nadia surut untuk bertanya. “Sebentar, aku ambilkan minuman hangat ya,” pamit Nadia dan ke luar kamar dengan cepat.
Tepat saat Nadia ke luar kamar, ponsel Umi berdering, tertulis nama Gibran dengan simbol hati di belakang namanya. Lima tahun pernikahan walau tanpa anak tidak membuat perasaan Umi berubah sedikit pun pada suaminya, tapi sejak kehadiran Nadia di rumah ini, Umi harus siap mau tidak mau untuk mencoba mengikhlaskan suaminya dibagi, walau bukan itu maunya. Meminta perpisahan pun tidak pernah disetujui oleh Gibran. Jadi, yang hanya bisa ia lakukan sekarang hanya menunggu hari di mana ia benar-benar siap melepaskan dan berbagi walau sakitnya akan sangat menyiksanya.
“Diminum airnya, Mbak. Mumpung masih hangat,” pinta Nadia sambil membatu Umi untuk duduk dari pembaringannya.
“Ah, iya. Terima kasih,” ucap Umi dengan cepat.
“Teleponnya tidak diangkat, Mbak? Mas Gibran memanggil,” tutur Nadia melihat ponsel Umi yang dibiarkan begitu saja.
Umi melirik ponselnya lagi, ia tampak berpikir keras dan menimbang apakah harus diangkat atau malah membiarkan panggilan telepon itu berlalu begitu saja.
“Biarkan saja, Nad,” ucapnya sambil mencoba tersenyum.
“Kasihan Mas Gibran, pasti mengkhawatirkan Mbak. Diangkat saja, kalau tidak nyaman saya keluar dulu, tapi diminum ya air putihnya. Mumpung belum dingin,” ucap Nadia tersenyum dan keluar dengan cepat.
Pintu kamar ditutup dan tinggallah Umi sendiri dengan panggilan yang belum juga diputuskan untuk diangkat atau dibiarkan.
“Halo. Assalamualaikum,” ucap Umi pada akhirnya. Ia tidak bisa mengabaikan panggilan suaminya itu. Walau hatinya sedang murung, tetap saja ada hak untuk suaminya tahu perihal apa yang ia rasakan sekarang.
“Katanya kamu jatuh di dapur benar?” tanya Gibran cepat tanpa menjawab salam dari Umi.
“Mas, jawab salam dulu,” ucap Umi sambil tersenyum.
“Ah iya. Waallaikumsallam, bagaimana. Bener kamu jatuh? Kan Mas sudah bilang jangan kecapekan!” tekan Gibran terdengar sedikit marah dari nada bicaranya di telepon.
“Iya, Mas, tapi aku harus masak untuk tamunya Ibu. Mereka sudah capek-capek datang masa tidak disambut dengan baik, benar kan?” timpal Umi mencoba menjelaskan semuanya pada Gibran.
“Astagfirullah, ibu sungguh keterlaluan. Apa memang begini selama ini, Umi. Kamu dipaksa melakukan semuanya kalau aku tidak di rumah?” ujar Gibran kesal.
“Maksud kamu bagaimana, Mas?” tanya Umi tidak paham. Entah mendapatkan laporan dari mana sehingga Gibran tahu semua ini. Di lain sisi Umi merasa bersyukur, tanpa diberitahu pun perlakuan ibu mertuanya akan ketahuan, bagaimana selama ini ia memperlakukan Umi dengan seenaknya.
Namun, di sini lain, Umi merasa takut, takut kalau-kalau hal ini akan membuat masalah baru di rumah mereka apalagi setelah kedatangan Nadia di rumah ini.
“Mas, kamu tahu dari siapa semua ini?” tanya Umi penasaran.
“Tidak perlu kamu tahu, yang pasti aku, aku merasa. Ah, astagfirullah. Maafin aku, Umi,” ucap Gibran kembali merasa bersalah pada istrinya.
“Siapa yang bilang?” tanya Umi mendesak Gibran untuk mengatakan semuanya.
“Mas tahu dari Nadia, Umi, tapi dengar dulu....”
“Jadi selama ini Mas sudah komunikasi dengan Nadia?” Umi merasa dibohongi dan naik pitam sehingga suaranya terdengar sedikit meninggi. “Mas bilang tidak ingin menikah lagi dan segala hal yang Ibu inginkan itu sebuah paksaan, tapi kenapa Mas sudah komunikasi di belakangku dengan Nadia? Sejak kapan?” tanya Umi dengan suara semakin meninggi tidak terima.