Pengakuan Hati

1109 Words
Suasana di ruangan berwarna serba biru itu hening. Kedua wanita yang kini saling mengungkapkan rasa itu diam dan sibuk dengan segala hal yang ada di kepala masing-masing. “Aku tidak punya pilihan, Mbak,” ucap Nadia akhirnya. “Aku harus menuruti semua ingin Ibu walau bukan ini mauku, aku tidak ingin melukai siapa pun, termasuk Mbak. Aku paham sangat berat berada di posisi itu bukan,” sambung Nadia menatap Umi dengan wajah kasihan. Umi menarik napas lega, beruntung Nadia adalah seorang gadis yang bisa diajak bicara, beruntung pula Nadia adalah gadis yang pikirannya terbuka, hal itu membuat Umi sadar kenapa ibu mertuanya menyukai gadis ini untuk menggeser posisinya. “Mbak boleh minta sesuatu sama kamu, Nad?” tanya Umi menatap Nadia serius kali ini. Nadia mencondongkan dirinya lebih dekat ke arah Umi dan mencoba mendengarkan ucapan demi ucapan yang diungkapkan Umi padanya. “Mbak mau aku ninggalin Mas Gibran kan?” sela Nadia dengan cepat. Umi tersenyum dan menarik napas serta menghembuskan dengan kasar. “Tidak, Nadia. Mbak tidak punya kuasa untuk itu, Mbak cuman berharap kamu bisa bahagiakan Mas Gibran, Nadia. Semoga kamu bisa memberikan anak untuk Mas Gibran dan cucu yang diidamkan Ibu,” ungkap Umi dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Maksud, Mbak?” tanya Nadia dengan cepat. “Maksudnya, Mbak akan mundur Nadia, mungkin bukan sekarang, tapi saat aku menikah dan sah menjadi istrinya Mas Gibran, maka Mbak sudah tidak ada artinya lagi di sini, jadi Mbak pamit sama kamu dulu ya, bahagiakan Mas Gibran. Mbak akan berterima kasih sekali sama kamu kalau kamu mau dengan senang hati melakukan ini untuk Mbak. Mbak tahu, kamu anak yang baik, Nadia. Kamu pasti tidak mau mengecewakan Mbak bukan?” ucap Umi dengan derai air mata pada akhirnya. Istri mana yang tidak terluka hatinya jika suami yang sangat ia cintai harus dibagi dengan wanita lain, wanita yang bahkan memang lebih sempurna dari dirinya. Wanita yang lebih jauh segala-galanya sehingga ibu mertuanya pun ingin menyingkirkan dia yang banyak kurangnya. Nadia yang duduk mendengarkan dengan baik akhirnya meneteskan air mata, ia ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Umi. Gadis itu hanya bisa mengangguk sambil menyeka air matanya berkali-kali. Keduanya kini larut dalam perasaan masing-masing. “Keputusan ini apakah murni dari hatimu, Mbak? Apakah tidak mau bertahan sedikit saja? Apa kamu yakin menitipkan suamimu pada aku, Mbak. Aku masih terlalu muda, aku tidak pandai membahagiakan lelaki, apalagi Mas Gibran adalah orang yang baru dan tidak aku kenal sebelumnya. Apa bisa aku cinta dia, Mbak. Ini juga berat untukku, kumohon bertahanlah,” ungkap Nadia dengan air mata yang tidak kala banyaknya dengan Umi. “Buktinya kamu bisa komunikasi dengan baik kan dengan Mas Gibran. Nanti lama-lama akan terbiasa, Nad,” ucap Umi menatap calon madunya itu dengan senyuman. Nadia terdiam, ia bingung bagaimana harus menjelaskan komunikasi yang tercipta antara ia dan Mas Gibran belakangan. Hal ini tentu andil dari Bu Retno dan ibunya agar ada pendekatan antara ia dan Gibran, lelaki yang dicalonkan untuknya. “Tadi, komunikasi pertama kami, Mbak. Maaf kalau aku lancang, tapi aku tidak tega atas perlakuan Bude pada Mbak. Sedangkan aku tidak bisa ikut membantu, karena memang aku tidak pandai memasak, juga pekerjaan yang menumpuk itu sudah cukup membuat aku sakit kepala. Maaf, Mbak,” jelas Nadia mencoba mengungkapkan semua pada Umi. “Lalu, apa yang kamu katakan pada Mas Gibran?” tanya Umi penasaran. “A-aku hanya bilang. Mbak Umi jatuh mungkin karena kecapekan dan harus memasak banyak masakan permintaan Bude,” ungkapnya tanpa menatap ke arah Umi. Ia takut hal itu akan sangat merusak kepercayaan Umi atau bahkan Bude padanya, tapi semua hal yang dirasa tidak baik selalu ia ungkapkan dengan tegas, dengan caranya sendiri. Umi tersenyum menatap gadis polos itu, kembali ia memposisikan diri untuk mencari posisi lebih enak karena duduk terlalu lama. “Yang kamu lakukan benar, Nadia. Sebuah hal yang tidak pas menurut pikiran dan hatimu memang harus diluruskan. Kamu melihat Mbak kurang enak badan dan menyangka Ibu memaksa memasak memang benar, tapi satu hal yang perlu kamu tahu, Nadia. Ada hal yang memang bisa berjalan sesuai keinginan kita, tapi ada juga yang tidak bisa dan kita hanya bisa menuruti.” “Tapi, Mbak. Mbak kan baru pulang dari rumah sakit, sempat keguguran kan, itu yang aku takutkan, maaf,” ucap Nadia dengan wajah sangat serius, khawatir pada kesehatan Umi. “Kamu tahu ini semua juga dari Mas Gibran?” tanya Umi penuh selidik. “Apa saja yang kalian bicarakan tentang aku?” tanya Umi penasaran. “Maafkan aku, Mbak. Aku hanya.....” ucapnya menggantung kalimat karena takut dalam bersikap dan mengambil keputusan lagi. “Iya, kemarin aku sempat hamil, lalu hanya beberapa waktu, aku keguguran, mungkin Allah belum percaya padaku untuk diberikan amanah, Nad,” jelas Umi sambil mengusap perutnya yang masih saja langsing sejak awal pernikahannya. “Semoga kamu bisa secepatnya merasakan anugerah ini ya, Nad,” bisik Umi menatap Nadia dengan seulas senyuman. “Bukannya Bude ingin menimang cucu, Mbak. Maaf, karena Mbak belum juga hamil itulah kenapa Bude memintaku untuk Mas Gibran kan?” tanya Nadia Ragu-ragu. Suasana kamar kembali hening, pertanyaan Nadia membuat Umi berpikir keras, ada hal yang membuat Ia ingin disingkirkan, selain anak, hal lain adalah Arani tidak menyukainya sejak awal dan restu pun ia dapat karena Gibran memaksakan pernikahan ini. “Mungkin, aku harus menerima semua ini sebagai hukuman, Nad. Bukan masalah anak intinya, sejak awal Ibu memang tidak suka padaku, salahku menerima pinangan Mas Gibran waktu itu, salahku juga yang mementingkan perasaan cinta saja waktu, sehingga kini Ibu tidak menyukai aku dan selalu kesal melihatku.” Umi kembali menitikkan air mata. Wanita itu berkali-kali menyeka air mata yang tidak ada habis-habisnya karena terus menerus terluka. “Mungkin tidak dengan kamu, Nadia. Ibu seperti sangat menyayangi kamu, bahkan ibu selalu mengatakan kamu adalah yang terbaik untuk Mas Gibran, kamu sangat sempurna di mata Ibu, tidak seperti aku,” ungkap Umi masih dengan air mata. “Kalau aku juga tidak melahirkan seorang bayi, bagaimana, Mbak?” tanya Nadia tiba-tiba. Wajah gadis itu berubah, ada mendung yang tersingkap dari wajahnya kini. Ia juga tertekan pada perjodohan ini, sama halnya dengan Umi yang harus menerima pernikahannya dimasuki orang ketiga. Kedua wanita beda usia itu diam dalam pikiran masing-masing. Sesekali mereka saling tatap, tapi detik kemudian sama-sama memalingkan muka karena tidak sanggup pada kenyataan yang akan mereka hadapi di depan. Umi tidak sanggup dimadu dengan wanita yang memang jauh lebih sempurna darinya, suaminya adalah seseorang yang sangat ia cinta, wanita mana yang mau dengan senang hati berbagi suami. Sedangkan Nadia, gadis polos yang belum ingin menikah, ia bahkan takut melukai hati Umi, wanita yang sangat dicintai oleh calon suaminya, tapi ia juga tidak punya kuasa untuk menolak permintaan ibunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD