When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
“Umi, kamu ke mana saja sih? Aku harus bekerja dan kamu jaga Ibu!” ucap Gibran menatap kesal pada Umi yang baru sampai di rumah sakit. “Tadi aku ketiduran, Mas. Maaf....” “Harusnya kamu udah di sini pagi-pagi sekali. Bukannya diam saja di rumah dan sibuk tiduran. Kamu tahu kan Mas harus bekerja,” cecar Gibran menarik tangan Umi dengan kasar dan membawa istrinya itu ke luar ruangan. Di depan pintu mereka berdua terkejut dengan kedatangan Nadia. Gadis itu bahkan masih mengenakan pakaian yang sama seperti semalam. Matanya terlihat sembab, tubuhnya seperti lemah. “Nadia, kamu dari mana saja? Kenapa tidak kabari, Mas. Mas kan khawatir,” ucap Gibran dengan suara yang berbeda. Jika tadi ia membentak Umi dengan suara tinggi, kini ia menyapa dan menanyakan Nadia dengan suara yang lembut. U