When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
“Alhamdulillah, akhirnya sah, selamat ya, Sayang,” ucap Retno tersenyum menatap Nadia, anak gadisnya yang terlihat anggun mengenakan pakaian Jawa. Apa yang ia inginkan selama ini tercapai, begitu juga dengan Arani, ada senyum manis yang menghiasi bibirnya kali ini. Namun, di sudut ruangan Umi terlihat putus asa. Air matanya mengalir walau sudah berkali-kali ia seka. Rasanya begitu sesak melihat suaminya kembali mengucap ijab dengan seorang gadis walau berjanji akan berlaku adil. Namun, firasatnya mengatakan adil tidak akan pernah ada untuknya. Bagaimana bisa berlaku adil jika Arani yang memilihkan suaminya seorang istri dan Arani juga sangat menyukai gadis itu. “Saya harap kamu bisa menerima ini dengan lapang hati, Umi,” ujar seseorang yang sudah berdiri di sampingnya. Umi terkesiap,