Luka Baru

1070 Words
“Selamat malam, Tante Retno. Nadia,” sapa Gibran saat pulang bekerja dan hanya melihat kedua tamu itu di ruang keluarga. “Ibu di mana?” tanya Gibran menatap keduanya bergantian sambil melempar senyuman. “Ibu di kamar kamu, Gibran. Duduk sini sebentar, ada yang mau tante tanyakan ke kamu, bisa?” tanya Retno meminta Gibran untuk duduk di dekatnya dengan senyum yang terlihat sangat ramah. “Ta-tapi Tante, maaf sebelumnya, tapi Gibran harus masuk dulu menemui Umi. Umi sakit Tante. Maaf, “pamit Gibran dan berlalu. Hatinya tidak tenang kali ini, entah apa yang akan ia dapati nanti. Apalagi Umi hanya bisa dihubungi satu kali saja sejak tadi pagi, wanita itu malah berkali-kali menolak panggilannya dan berakhir dengan mematikan ponselnya. Retno yang merasa diabaikan hanya bisa mendengus dengan kesal. Lalu berkata, “Kalau bukan mau jadi mantu aku. Ah sudahlah,” rutuk Retno kesal dan menatap Nadia dengan geram. Nadia hanya tersenyum masam, dalam hati ia mendukung sikap Gibran terhadap ibunya. Berharap di dalam hati kalau perjodohan ini akan dibatalkan dan ia bisa kembali bebas mengejar mimpi-mimpi. *** “Kalau sudah mendingan, ayo ke dapur, banyak pekerjaan yang harus dilakukan, Umi. Jangan enak-enak tidur saja kamu dari tadi. Mentang-mentang disuruh istirahat ya, jangan seenaknya gitu dong. Ingat, kamu juga punya tugas di sini,” desak Arani menodong menantunya agar cepat bangun dan membantunya untuk membereskan semua rumah termasuk dapur yang berantakan karena memasak berbagai menu masakan untuk tamu agung mertuanya itu. “Iya, Bu. Umi akan usahakan, tapi kepala Umi masih pusing dan berat sejak tadi, maaf, Bu,” jawab Umi mencoba menjelaskan keadaannya pada sang mertua. Wanita itu berucap sambil memohon karena tubuhnya sedang tidak baik-baik saja. Namun, bukan Arani namanya kalau hanya bisa diam dan tidak memaksakan kehendaknya. Arani geram melihat Umi yang terlihat lemah, lalu mencoba menarik tangan menantunya itu untuk bangun, “Alasan saja, kamu kira Ibu bakalan percaya?” desak Arani penuh amarah. “Ibu!” sela Gibran yang sudah sampai pintu kamar dan menyaksikan bagaimana cara ibunya memperlakukan Umi. Arani terkejut dengan kedatangan Gibran yang tiba-tiba. “Eh, kamu sudah pulang, Nak?” kata Arani terkejut dan mencoba mengalihkan perhatian anaknya. “Ibu masak banyak lo tadi, yuk, kita makan. Kamu pasti suka,” kilah Arani mencoba menarik tangan Gibran dengan lebih kuat dan tersenyum samar. “Bu, apa-apaan semua ini. Pantas saja setiap hari Umi menangis dan tidak tahan dengan perlakuan Ibu. Awalnya Gibran tidak yakin akan apa yang dikatakan Umi dan diadukan selama ini, Bu. Namun, hari ini Gibran tahu dan melihat di mata kepala Gibran sendiri, kalau ibu memang keterlaluan pada Umi. Tolong, Bu. Umi istri Gibran, tolong sayangi dia juga,” ujar Gibran mulai tersulut emosi. “Mas, sudah. Mungkin ibu capek karena tadi yang masak ibu semua,” terang Umi mencoba menyelesaikan masalah yang ada. “Sudah, tidak enak didengar tamu, Mas,” ucap Umi mengingatkan Gibran. Arani menatap tajam pada Umi yang jelas-jelas membelanya, tapi tetap saja hati Arani tidak terima ia diperlakukan dan dimarahi oleh anaknya sendiri karena membela Umi, walau pun memang istrinya. “Kamu jangan sok belagak ya, Umi. Karena kamu ibu dimarahi Gibran, semua karena kamu. Ibu benar-benar tidak bisa terima ini!” ujar Arani protes dan keluar kamar dengan kesal. Gibran hanya bisa menahan amarah dan mengucap istighfar berkali-kali melihat sikap ibunya yang semakin menjadi-jadi. Ada rasa bersalah yang semakin mendalam pada Umi, tapi rasa berdosa pada sang ibu juga terasa membebani. Sekali lagi air mata Gibran tumpah karena tidak tahu harus bagaimana lagi untuk mendekatkan dan membuat akrab kedua wanita yang sangat ia cintai itu. “Maafkan aku, Mas. Bukannya aku tidak mau membantu ibu, tapi keadaannya....” kalimat itu menggantung di bibir Umi, wanita itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena Gibran tiba-tiba memeluknya. “Diam saja seperti ini sebentar, Umi. Tolong begini saja. Maafkan Mas, maaf untuk semuanya. Sungguh Mas minta maaf. Mungkin ini untuk kesekian kalinya Mas katakan, tolong pahami Ibu. Tolong, Mas tidak dapat memilih antara kamu dan Ibu, Umi,” ungkap Gibran dengan tubuh yang bergetar. Pernikahan yang memasuki usia ke enam semakin diuji oleh Tuhan. Kali ini bukan saja Umi yang menerima luka dan siksa batin, tapi juga Gibran dan Arani yang semakin hari semakin merasa terluka. Ketukan di pintu membuat Umi dan Gibran melepaskan pelukan. Di sana tampak Retno melihat mereka tersenyum tanpa merasa mengganggu. Umi langsung menghapus air mata yang membasahi kedua pipinya, sedangkan Gibran berusaha menarik napas untuk mencoba tersenyum pada tamu agung ibunya. Mau tidak mau, Gibran berusaha untuk menghormati tante Retno demi menjaga nama baik ibunya. “Ke-kenapa, Tante?” tanya Gibran melangkah maju ke arah pintu masuk untuk menanyakan tujuan Tante Retno. “Tidak ada, tapi tante ingin bicara. Sebelum tante kembali pulang. Kamu bisa ke depan sebentar, kita bicara?” tanya Retno tersenyum semanis mungkin tanpa menghiraukan Umi. “Oh kalau begitu, sebentar ya, Tante. Saya ganti baju dulu boleh?” tanya Gibran meminta persetujuan. “Baik, jangan lama-lama ya, tante tunggu di depan bersama Nadia,” ujar Retno kembali memasang senyum, tapi jelas senyum itu membuat Umi tidak suka. Umi sangat yakin arah pembicaraan yang akan terjadi nanti tentu tentang perjodohan itu. Rasa sesak kembali menggulung-gulung di hati Umi. Ia tatap suaminya yang sedang sibuk mengganti baju dan kembali air mata kesedihan turun tanpa jeda lagi. “Aku tahu maksud Tante Retno, Mas. Rasanya sampai kapan pun aku tidak siap,” ucap Umi meminta keadilan pada suaminya. Gibran hanya bisa menarik napas dan menghempaskan dengan kasar. Ia pun juga tidak bisa berbuat banyak. Setelah pakaian diganti, ia kembali memeluk Umi dengan kuat. “Mas temui Tante Retno dulu, mas bicarakan dulu baik-baik. Semoga ada keajaiban untuk kita, Umi. Kamu mau ikut?” tanya Gibran meminta pendapat dan persetujuan Umi. “Mas saja, aku belum bisa duduk terlalu lama, rasanya masih sangat pusing. Tidak apa kan? Aku percaya pada kamu, Mas. Biar ku doakan dari sini,” kilah Umi yang semakin merasakan debaran yang tidak biasa di hatinya. Cepat atau lambat, Nadia tetap akan menjadi istri Gibran, walau bagaimana pun caranya Umi menghentikan, jadi ia memilih untuk tetap tenang sambil merapal doa di kamar, berharap akan ada keajaiban yang ia sendiri tidak yakin akan terjadi. Umi hanya bisa menatap punggung suaminya yang semakin menjauh, dari kamar ia bisa melihat Tante Retno, Nadia dan Arani yang menyambut Gibran dengan sangat bahagia. Umi merasakan hatinya semakin hancur, saat melihat Gibran duduk di sebelah Nadia dan hal itu tampak disengaja oleh Arani.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD