Tamu Kehormatan

1156 Words
“Maafkan Mas, Umi. Maaf. Salah Mas memang membawamu ke kehidupan Mas yang serba salah ini,” ungkap Gibran penuh penyesalan menatap Umi yang kini hanya diam bagai patung di depan meja riasnya. Umi hanya diam, ia sama sekali tidak merespon ungkapan Gibran yang ditujukan padanya. Rasanya begitu lelah untuk terus menerus menahan perasaan dan sabar. Lima tahun sudah ia habiskan waktu di rumah itu sebagai menantu yang tidak dianggap, sebagai menantu yang sama sekali tidak diharapkan. Berbagai upaya sudah dilakukan oleh Arani untuk memisahkan ia dengan suaminya. Namun, selama ini cintanya Umi lah yang membuatnya bertahan dan sabar dengan keadaan. Cacian, emosi yang berlebihan selalu ia terima dengan sabar, walau berkali-kali menyeka air mata dan menangis setiap malam. Mulai dari didengarkan Gibran, sampai sang suami bingung harus membela siapa lagi karena sudah terlalu banyak drama yang tercipta sejak ia menjadi menantu di rumah. “Umi, tolong maafkan Ibu, Mi. Tolong dengan sangat,” ungkap Gibran lagi. Kali ini Gibran mencoba menghampiri istrinya yang masih saja mematung di depan cermin yang memantulkan wajahnya yang terlihat menyedihkan. Suami mana yang tidak bingung memilih antara istri yang ia cintai dan Ibu yang melahirkannya. Begitu juga Gibran. “Mas, Ibu tidak salah. Kamu juga, Mas. Jika seandainya dulu kita tidak bersama dan bersikeras menikah walau Ibu tidak rela, mungkin tidak akan seperti ini,” ungkap Umi menangis pada akhirnya. Air mata wanita itu tidak lagi bisa dibendung, sakit di hatinya yang begitu menyiksa membuat air matanya tumpah juga. “Tidak, kamu tidak boleh berkata seperti itu, Umi. Aku harus meminta maaf atas semua yang terjadi, aku yang tidak pandai memilih antara kamu dan Ibu. Aku yang salah Umi,” sanggah Gibran menghapus air mata istrinya dengan lembut. “Aku sudah putuskan, Mas. Mungkin memang sebaiknya kita berpisah, agar Ibu bahagia dan Mas Gibran tidak perlu pusing memikirkan semuanya. Mata Gibran membesar, yang membuat ia terkejut bukan kata-kata yang keluar dari mulut istrinya, melainkan cara Umi menyampaikan kata-kata tersebut dengan senyuman dan tidak lagi dengan air mata. Sudah jelas bahwa wanita itu kini sudah pasrah dengan semuanya, sudah jelas pula ia ingin mengakhiri perasaan yang selama ini menyiksanya. “Tapi, Umi….” “Maaf, kita berpisah saja, Mas. Aku sudah pikirkan hal ini baik-baik. Sebelum kita memiliki anak, Mas. Aku takut ketidaksukaan Ibu ini akan berbuntut panjang, padaku juga pada anakku nanti, tolong lepaskan aku, Mas,” mohon Umi menatap wajah suaminya dengan penuh harap. Ada banyak sabar yang selama ini dipendam, ada banyak keluh yang selama ini terbuang demi hati yang tenang, tapi waktu membuat semuanya berjalan begitu berat untuk Umi. Cinta Gibran dan cara Gibran mempertahankan pernikahan mereka nyatanya tidak bisa membuat Umi tenang. Jika air mata selalu tumpah, hati dilukai dan terus berdarah, apalagi arti bertahan yang sesungguhnya? *** “Selamat pagi, akhirnya kamu datang juga. Masuk-masuk, silakan,” Suara Arani terdengar begitu bersemangat pagi itu. Wanita paruh baya itu kini saling berpelukan dengan tamu yang datang. “Gibran! Sini ke luar dulu, ada tamu,” ucapnya memanggil sang anak untuk ke luar. Masih pukul tujuh pagi, terlalu cepat untuk menyambut tamu sepagi itu, tapi Arani tampak sangat bersemangat sekali, pasalnya dengan sedikit paksaan ia terus menelepon sahabatnya Retno untuk datang dan membawa Nadia, gadis yang mencuri perhatian Arani selama ini, jauh sebelum Gibran memilih Umi sebagai pendamping hidupnya, “Selamat pagi cantik,” sapa Arani saat melihat Nadia yang sedikit kesusahan menarik koper yang ia bawa agar sampai ke dalam rumah. Gadis itu tidak menjawab, hanya memberikan seulas senyum dan terus berusaha membawa koper itu dengan bersusah payah. “Sudah, ditinggal di sana saja, nanti biar Gibran yang membantu membawakan ke dalam, masuk dulu, yuk,” desak Arani menarik tangan Nadia agar gadis itu mau masuk sesuai keinginannya. “Ah, tidak masalah, Bu. Saya bisa sendiri, tidak perlu dibantu,” ucap Nadia tegas dan melepas tangan Arani. Arani terdiam melihat sikap Nadia yang tidak mau menuruti keinginannya, tapi detik kemudian ia mencoba tersenyum dan masuk menemui Retno yang sudah terlebih dahulu duduk di ruang tamu. “Selamat datang, Retno. Akhirnya kamu sampai, mau minum apa?” tanya Arani sangat bersemangat. “Ah, tidak usah repot-repot, Rani. Duduk aja dulu di sini,” balasnya tersenyum. Wanita yang sepuluh tahun lebih muda dari Arani itu tampak sangat cantik, jauh dari usianya yang termasuk sudah matang. “Aku kira, tidak jadi datang, makanya aku tidak siap-siap seperti kemarin. Tidak apa kan? Nanti biar Umi yang masak, tenang saja. Jadi menginap?” celetuk Arani penuh semangat. “Mungkin, tapi satu hari saja ya. Kalau Nabila mungkin bisa sedikit lama, soalnya dia dapat penempatan kerja dekat sini, kebetulan sekali kan,” ucap Retno tersenyum senang, lalu menatap Nabila yang masih sibuk dengan barang-barang bawaannya. “Eh, titip Nabila beberapa hari tidak masalah kan? Soalnya mengurus penempatan baru dan beradaptasi di sekitar sini juga butuh waktu kan?” terang Retno sambil memerhatikan anak gadis kesayangannya itu. Di luar sana, terlihat Umi dan Nabila berdua dan tersenyum. Umi datang membantu Nabila yang kepayahan, sedangkan Gibran sudah mengangkat koper yang tadi belum berhasil dipindahkan oleh Nabila. “Umi! Sini! Ngapain di sana sih, biar saja Gibran yang bantu, kamu ke dapur kan bisa, ambilkan minuman!” tegas Arani menatap menantunya itu dengan kesal. Umi yang sedang membawakan barang-barang Nadia terkejut dan menjatuhkan apa yang ia pegang, “I-iya, Bu,” jawab Umi bergegas mengambil barang-barang yang jatuh dan memberikannya pada Gibran. “Maaf, Nadia. A-aku menjatuhkan ini,” pamit Umi dan beranjak akan ke belakang sambil menatap Gibran dengan tatapan terluka. “Tidak apa, Mbak. Hanya beberapa pakaian di dalam, jatuh pun tidak merusak,” terang Nadia tersenyum pada Umi yang terlihat sedih dibentak dan dimarahi di depan tamu Arani. “Kamu itu kerja tidak pernah benar ya, itu tamu, harus dihargai, jangan gegabah!” Hardik Arani menatap Umi dengan sangat kesal sampai perempuan itu menghilang ke dapur. “Sudahlah, Mbak Rani, tidak usah diperpanjang, biarkan saja, toh Nadia tidak mempermasalahkan itu. Lihat Gibran dan Nadia terlihat kompak saja, tidak ada yang salah,” ucap Retno tersenyum melihat kedekatan yang mulai tercipta antara Gibran dan Nadia di depan pintu masuk. Tidak lama Umi datang membawa empat cangkir teh hangat dan beberapa kue-kue kecil untuk tamu kehormatan mertuanya itu, menatanya di atas meja dengan baik dan kembali ke belakang. Sementara itu Gibran yang akan berangkat ke kantor dan menenteng tas bersiap-siap berangkat memanggil Umi. “Umi, Mas berangkat dulu, jangan kecapean nanti,” ucapnya lalu mengecup kening istrinya itu di depan semua orang termasuk Nadia. Arani langsung membelalakkan mata kesal melihat adegan romantis yang diperlihatkan anak dan menantunya itu lalu berkata,” Kalian tidak malu apa, kan bisa di luar sana ijinnya, bikin malu Ibu saja. Kamu juga Umi, tidak lihat di sini ada tamu Ibu!” bentaknya marah dan melampiaskan pada Umi. Lagi-lagi, Umi terdiam dan hanya mengangguk. Kali ini Gibran bahkan tidak membelanya, Gibran hanya diam, tersenyum dan mengusap kepala Umi dalam diam, lalu pamit dan mengucapkan salam pada Arani, Retno dan Nadia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD