“Apa, kamu tidak jadi ke sini? Yah, padahal saya sudah buat jamuan istimewa lo ini.” Suara Arani menggema memenuhi ruangan keluarga pagi ini. Wanita yang tidak lagi muda itu mondar-mandir sambil menelepon dan terlihat sedikit panik. “Iya, tapi kita sudah lama tidak jumpa, sebentar saja apa salahnya, tidak menginap pun tidak apa-apa, Retno,” paksa Arani mencoba memenangkan hati sahabatnya itu melalui percakapan di telepon.
Namun pembicaraan di telepon tersebut tetap bisa ia menangkan, ia harus mengembuskan napas pelan sebagai tanda kecewa. Pasalnya Bu Retno tidak jadi datang hari ini karena ada pekerjaan mendadak dan ia harus langsung berangkat ke luar kota untuk menyelesaikan masalah pekerjaan tersebut secepatnya.
Arani yang sudah menyiapkan segalanya akhirnya harus terima dengan keputusan sahabatnya itu walau sangat kecewa. Mau tidak mau ia juga harus paham kalau seorang Retno adalah seorang wanita pekerja keras, sama sepertinya dulu yang bahkan sampai lupa untuk membedakan siang dan malam karena harus bekerja ekstra demi kehidupan yang layak untuknya dan Gibran, beruntung saat Gibran sudah bekerja, ia meminta Arani untuk berhenti bekerja dan fokus di rumah saja, sejak saat itulah Arani mulai bersantai di rumah dan bisa menikmati harinya di rumah saja.
“Kenapa, Bu? tanya Umi saat melihat Ibu mertuanya itu uring-uringan dan terlihat kesal. Umi yang masih harus istirahat tidak tega melihat ibunya sibuk dari subuh memasak berbagai macam lauk dan kudapan untuk menyambut tamu, walau pun ia tahu Retno adalah Ibu Nadia yang katanya akan dijodohkan dengan suaminya sendiri.
“Bu Retno, katanya mau datang pagi ini, tapi batal. Ah, ini mungkin karena doa kamu ya!” serang Arani menodong Umi dengan prasangka buruknya. Kekecewaan hatinya kini dilampiaskan pada menantunya itu. Arani bahkan berkacak pinggang mengatakan hal itu pada Umi, tanpa alasan apa-apa ia menyudutkan Umi agar amarah dan kekecewaannya menguap tanpa berpikir terus menerus melukai hati menantunya.
“Tidak, Bu. Sama sekali tidak. Saya bahkan ingin sekali bertemu dengan Bu Retno, ingin mengenal sahabat ibu itu. Penasaran orangnya bagaimana,” jawab Umi dengan hati-hati sambil tetap tersenyum walau hatinya terasa sakit dituduh yang tidak ia lakukan sama sekali.
“Ah, sudahlah, dia tidak jadi datang. Mungkin memang karena doa kamu. Ingat ya, bagaimana pun dia tidak datang sekarang, pembahasan lalu tetap akan Ibu bahas cepat atau lambat dengan Bu Retno,” ucapnya memperingatkan. “Makanan ini pasti tidak akan bisa dihabiskan bertiga. Kamu kirimkan ke tetangga aja ya,” perintah Arani sambil menatap semua makanan yang sudah tersaji di meja makan lalu ia pun masuk ke kamarnya tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Umi hanya bisa mengusap d**a, mengucap istighfar berkali-kali dan menahan air matanya agar tidak jatuh. Perlahan, dengan kekuatan dan hati yang ditahan, ia mulai sibuk dengan makanan yang akan diantar ke tetangga yang sudah diperintahkan oleh Aruni barusan.
Bebek gulai kurma khas Aceh, Rendang khas Padang, Ayam bumbu anam khas Palembang, Semur daging khas Jakarta, Soto Banjar Khas Banjarmasin dan berbagai kudapan dan pencuci mulut yang sudah tersedia sangat banyak akhirnya menjadi rezeki para tetangga.
Gibran yang tidak masuk bekerja hari ini tiba-tiba datang dan memeluk Umi dari belakang, niat hati untuk membuat hati wanita itu kembali berbunga ternyata malah sebaliknya, wanita itu terkejut dan menjatuhkan rendang yang ia pegang dari mangkok kaca berwarna putih kesayangan Arani. Rendang yang terlihat begitu nikmat kini tidak lagi bisa disantap, pecahan kaca berserakan di mana-mana, begitu juga cipratan minyak yang ada di rendang itu, semua memenuhi lantai ruang makan keluarga mereka.
Arani yang sudah berada di dalam kamarnya berjalan cepat ke luar kamar sambil berteriak, “Ada apa!” ujarnya dengan suara tinggi dan membuat Umi terkejut untuk kedua kali.
“Ini salah Gibran, Bu. Maaf,” ucap Gibran langsung mencoba membela Umi takut kalau ibu salah paham dan menyangka Umi yang melakukan kesalahan itu dan memarahi Umi. Gibran dengan cepat berjalan lebih maju di depan Umi agar ia tidak dimarahi lagi oleh ibunya.
“Kenapa bisa jadi salah kamu?” tanya Arani mendekat, lalu menatap semua tumpahan yang membuat ruangan sangat kotor. Wanita itu masih sibuk dengan Retno di telepon.
"Tunggu, No. Ada masalah lagi di rumah ini, ulah siapa lagi kalau bukan Umi. Bikin aku benar-benar kesal padanya,” ucap Arani membeberkan semuanya pada sahabatnya itu melalui panggilan telepon yang belum juga selesai sejak tadi.
Arani mematikan panggilan itu pada akhirnya setelah berbasa-basi, lalu mendekat dan kembali terkejut dengan semua kekacauan yang terjadi di ruang makan mereka. Saat melihat mangkok putih kesayangannya hancur, ia menarik tangan Umi dengan cepat.
"Kamu apa tidak bisa kerja dengan benar, Umi! Astaga, apa yang bisa kamu lakukan selain makan dan tidur di rumah ini hah!” ujarnya menaikkan suara lebih tinggi.
“Bu!” Potong Gibran dengan cepat. “Aku kan sudah bilang sama Ibu kalau aku yang membuat semua ini jadi begini. Aku datang memeluk Umi saat ia membereskan ini, Umi terkejut dan semuanya tidak sengaja jatuh,” terang Gibran dengan suara lebih lembut agar ibunya paham pada apa yang sebenarnya terjadi, lalu kembali menarik tangan istrinya dan untuk berdiri tetap di belakangnya agar dilindungi.
Arani terdiam, lalu perlahan air matanya meleleh begitu saja. Umi dan Gibran juga terdiam dan tercekat dengan apa yang mereka lihat. Kali ini Ibu tidak mempermasalahkan apa yang terjadi ini untuk semakin melebar, tapi tangisan menjadi senjatanya kali ini, tentu untuk menyudutkan Umi.
“Bu, maafin, Umi. Umi tidak sengaja, tadi itu…”Umi mencoba menjelaskan semua yang terjadi barusan, tapi Arani dengan cepat mengibaskan tangannya dengan cepat agar Umi diam dan tidak melanjutkan penjelasannya itu.
Umi hanya bisa diam dan tidak melanjutkan kata-katanya. Gibran yang berdiri di sampingnya kini hanya bisa mengusap punggung istrinya dengan lembut untuk menguatkan.
“Mangkok itu ayahmu yang membelikan Gibran, bahkan sebelum kamu ada. Lalu jatuh dan Ibu tidak boleh marah?” tanyanya pada Gibran. “Kamu tidak tahu rasanya ditinggalkan saat sangat butuh, saat Gibran masih sangat kecil dan butuh ayahnya, apa pun yang suami saya atau ayah Gibran beri itu harta yang paling berharga buat Ibu. Kamu paham, Umi.” Tegas Arani menatap Umi dengan tatapan yang entah diartikan dengan apa.
Ada luka yang terlihat di mata itu, ada kecewa dan amarah yang juga sama besarnya. Air mata Arini tidak berhenti, takut kembali di salahkan akhirnya Umi hanya bisa mengangguk, lalu mengambil pecahan-pecahan yang berserakan dan mulai membersihkan rendang yang berserakan itu.
“Aku bantu ya, Umi. Maafin aku, karena aku kamu jadi dimarahi Ibu, maksud aku tadi….”
“Sudahlah, Mas. Tidak apa,” balas Umi dengan cepat. Air mata wanita itu mengalir juga pada akhirnya, ia terluka lagi, berkali-kali menjelaskan pun akan berakhir sia-sia.
“Sebaiknya kamu merenung, Umi. Pikirkan kesalahan kamu sampai Ibu menjadi begini sama kamu,” tegas Arani dengan suara yang bergetar. Wanita bertubuh gemuk itu menghapus air matanya dengan ujung hijabnya yang lebar.
“Iya, Bu. Umi paham, Ibu memang tidak suka kan sama Umi sejak dulu. Karena….” Umi terisak dan tidak bisa melanjutkan ucapannya. Air matanya lebih cepat terjatuh membasahi pipinya dibandingkan ucapannya yang akan keluar dari mulutnya.
“Sudahlah, jangan diperpanjang lagi. Tolong,” bisik Gibran mencoba menengahi kedua wanita yang ia sayangi itu.
“Mas, Umi harus bicarakan ini dengan Ibu biar semuanya jelas dan tidak menjadi perdebatan terus menerus dan yang dibahas itu lagi dan lagi,” ungkap Umi menatap Gibran dengan wajah yang sendu.
Umi berdiri, pecahan kaca yang tadi sudah dipungutnya kembali ia taruh dengan hati-hati di lantai. Kali ini ia mencoba mendekati Arani. Ibu mertua yang sudah menghapus air matanya kini sedikit terkejut dengan gerak gerik menantunya yang tidak seperti biasanya itu.
“Bu, Umi ingin bicara sekarang sama Ibu. Umi harap Ibu mau mendengarkan semuanya. Mungkin ini kesempatan Umi untuk bilang, sebelum nanti mungkin tidak bisa lagi, mungkin karena waktu atau perdebatan di antara kita yang tidak pernah berakhir. Umi ingin bilang, Umi sayang sekali sama Ibu. Seperti Umi sayang sama Ibu Umi sendiri walau pun Umi tidak tahu bagaimana wajahnya dulu. Umi tahu, Ibu tidak suka sama Umi karena Ibu yakin dengan kepercayaan dalam diri Ibu kalau Umi anak yang terbuang bukan?” Isak tangis Umi kembali terdengar. Kali ini bicara tanpa menunduk seperti yang ia lakukan biasanya pada Arani.
“Sudahlah, Umi. Tidak tepat untuk bicarakan ini sekarang,” protes Gibran mencoba menarik tangan istrinya. Namun, Umi menepis tangan Gibran berkali-kali.
“Sebentar, Mas. Umi hanya ingin dengar dari ibu sendiri tentang Umi selama ini, hal apa yang membuat Ibu begitu membenci Umi dan melampiaskan segalanya pada Umi, Mas. Tolong izinkan Umi, Umi takut berprasangka buruk terus dan akan menambah dosa. Tolong, izinkan Umi menjelaskan dan memberi pencerahan tentang apa yang terjadi selama ini. Rasanya, sudah cukup Umi memendam ini bertahun-tahun. Ibu juga pasti tidak akan nyaman kalau terus menerus menyimpan amarah untuk Umi kan, Mas,” ungkap Umi masih dengan menghapus air mata yang mengalir di pipinya berkali-kali.
Arani tampak tersudut, ia melihat ada keganjilan yang tidak biasa yang tampak dari Umi. Wanita berkulit putih itu kini mendekat ke arah ibu mertuanya. Lalu berkata,” Ibu tidak suka karena Umi yatim piatu kan? Karena menurut Ibu, Umi tidak jelas kan? Keturunan baik-baik atau bagaimana sehingga Ibu takut cucu ibu nanti tidak bisa menjadi baik,” ungkap Umi dengan napas memburu penuh emosi.
“Baguslah kalau kamu tahu, Mi. Ibu tidak perlu menjelaskan berulang kali lagi kepada Gibran kalau begitu.” Arani menatap Umi dengan tatapan amarah dan kesal. “Jujur, Ibu memang tidak setuju kamu menikah dengan Gibran sejak awal, tapi harus mengalah karena hanya kamu pilihan dia.”
Umi kini terdiam, kata-kata yang keluar dari mulut Arani membuat luka baru di dalam hatinya, luka lama yang belum kering pun terasa begitu menyakitkan. Kini ditambah dengan luka yang lebih mengejutkan. Setelah lima tahun pernikahan akhirnya kata-kata dari hati itu keluar begitu saja dari mulut Arani tanpa memikirkan perasaan Umi dan anaknya.
“Maafin Umi, Mas. Umi ke kamar dulu,” ucap gadis itu mulai terisak.
“Kamu hanya bisa nangis kan, kalau sudah begini siapa yang salah? Bukannya kamu yang minta Ibu untuk jujur, setelah jujur kenapa jadi cengeng. Membuat Ibu seakan salah saja,” ucap Arani masih memperdebatkan masalah itu.
“Bu, cukup! Sudahlah. Ibu tidak setuju dari awal, oke, Gibran mengerti, tapi kenapa Ibu tidak bisa membuka hati sedikit saja untuk Umi. Ibu tahu rasanya kehilangan ayah kan? Harusnya ibu juga tahu rasanya kehilangan kedua orang tua dan Umi merasakan itu. Banyak hal positif yang Gibran nilai dari Umi, bukan karena dia yatim piatu. Dia juga tidak ingin kehilangan kedua orang tuanya, Bu. Tentu tidak mau, sama seperti kita yang tidak ingin ayah pergi lebih dulu. Tolong, Bu. Jangan menambah masalah lagi, Gibran ingin Ibu dan Umi akur di rumah. Tolong, Bu,” ungkap Gibran mencoba membela istrinya dengan mencoba menjelaskan.
Namun, k*******n hati Arani tetap saja membuatnya tidak mau kalah. “Kamu sudah berani melawan sama Ibu karena istrimu. Bagus, semoga ayahmu tidak melihat ini semua. Kamu lukai hati ibu demi istrimu, Gibran,” protes Arani memojokkan anaknya.
“Astagfirullah, Gibran tidak melawan ibu dan membela Umi, tapi benar yang tadi itu salahnya Gibran. Umi tidak tahu apa-apa. Ibu bisa memarahi Gibran, Bu. Jangan marahi Umi yang jelas-jelas tidak salah sama sekali.” Gibran memukul kepalanya sendiri sebagai luapan kekesalan.
Hal itu membuat Arani semakin naik pitam, bukannya meminta maaf atau menyelesaikan masalah, Arani malah pergi ke kamar dengan cepat dan membanting pintu kamarnya karena tidak terima dengan kenyataan yang dijelaskan oleh anaknya.