When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
“Aw, Aduh,” teriak Nadia menatap jempol kanannya. Darah mengalir dengan cepat di jari itu. Semua mata tertuju pada Nadia, Arani dan Retno ikut berdiri melihat apa yang terjadi. Begitu juga Gibran, lelaki itu langsung menghampiri Nadia dan terkejut melihat tangan Nadia yang robek oleh pecahan kaca. Melihat Gibran yang mendekat, Arani dan Retno urung mendekat. Ia kembali duduk dan sibuk menonton televisi sambil sesekali menyeruput teh buatan sendiri-sendiri dengan senyuman yang penuh arti. Nadia tampak kesal melihat sikap ibunya yang keterlaluan, biasanya sang ibu—Retno adalah orang yang paling khawatir pada keadaannya, tapi bisa-bisanya hari ini Retno bahkan tidak ambil pusing hanya karena sudah ada Gibran. Gadis itu tampak sangat kecewa, lalu menatap ibunya dengan pandangan yang kesal d