Takdir Tuhan

1083 Words
“Bagaimana?” tanya Arani sore itu. Wanita enam puluh lima tahun itu menatap Umi dengan tatapan tajam. Umi hanya bisa menunduk menahan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Tangannya terlihat memain-mainkan ujung jilbabnya sambil berusaha keras menahan air mata agar tidak tumpah dan terlihat lemah di depan Ibu mertuanya. “Umi, jawab dong. Ibu bertanya sama kamu,” ucap Arani dengan suara mulai meninggi. Wanita itu beringsut ke depan dan mencondongkan badan ke arah Umi yang berada di depannya berharap mendapatkan jawaban secepatnya. “Bu, sudahlah. Tolong baik-baik bertanya sama Umi. Dia….” “Dia apa? Ibu tanya baik-baik lo tadi, tapi dia malah diam saja seperti patung. Bagaimana Inu tidak kesal,” ujar Arani sambil menatap tajam pada Umi. Umi perlahan mengangkat pandangan dan menatap Arani dengan mata yang memerah. Bibirnya terlihat bergetar dan pandangan itu kian mengabur. Air mata itu berhasil keluar dari pertahanan. Gibran yang kini duduk berdampingan dengan Umi hanya bisa melihat tangis yang jatuh perlahan dari mata istrinya dan  tanpa mampu berkata apa-apa. Umi menatap suaminya dengan harapan agar ia dikuatkan pada situasi yang sangat terasa berat, tapi lelaki itu malah memilih menghindari kontak mata dan menatap jendela yang ada di sampingnya tanpa rasa bersalah. Kini, Umi paham, kalau dirinya memang benar-benar sudah tidak diharapkan. “Baik, Bu. Saya akan jawab. Saya sudah komunikasikan ini dengan Mas Gibran dan memikirkan hal ini dengan matang. Maaf sebelumnya jika saya lancang dan seperti tidak menghormati pernikahan. Saya mengizinkan Mas Gibran menikah dengan gadis pilihan ibu, tapi ….” Umi berhenti berucap. Tubuhnya kini bergetar hebat, rasanya apa yang akan terjadi ke depan sudah mulai ia rasakan. Semua tubuhnya terasa ngilu, sakit dan perih secara bersamaan. “Apa?” tanya Arani antusias. Ia merasa mulai menang pada rencana untuk memisahkan Umi dengan Gibran, putra semata wayangnya itu. “Umi minta, ceraikan Umi, Mas,” ucap Umi menatap mata lelaki yang sangat ia cintai itu. Mendengar jawaban Umi, Gibran sangat terkejut. Ia kini menatap istrinya dan mencoba mencari semua jawaban di mata istrinya. Mata itu terlihat sangat yakin dan pasrah. Mata yang tadinya mengalir air mata kini hanya tinggal sembab dan sedikit memerah. Umi terlihat sangat yakin dengan jawaban yang ia ucapkan ihanya “Umi, kamu yakin?” Akhirnya Gibran mulai bersuara setelah beberapa lama diam dan mencoba tidak peduli agar Umi menyetujui keputusan yang telah ia buat. Di dalam hati ada penyesalan yang rumit dan tidak bisa dijelaskan. Ia tak menyangka Umi meminta berpisah, padahal tidak sedikit pun di hatinya ingin berpisah. Menikah lagi bukan berarti melepas yang lama untuk mendapatkan yang baru. “Aku sangat yakin, Mas. Aku memberikan jawaban ini dalam keadaan sadar dan tidak ada paksaan. Aku ingin kita bercerai saja, setelah itu kamu berhak menikah dengan siapa saja, tapi tolong lepaskan dulu aku.” Umi semakin terlihat serius atas jawabannya kali ini. Hal itu membuat Gibran semakin merasa kacau. Ia masih sangat mencintai istrinya, tapi paksaan Ibu juga tidak bisa ia tolak karena memang dia juga sangat merindukan kehadiran seorang anak setelah menanti bertahun-tahun lamanya. “Kalian ribet ya, kalau udah dijawab iya sama Umi kenapa harus ditanya lagi, Gibran,” ujar Ibu menodong Gibran agar anaknya cepat memberikan keputusan. “Umi istri Gibran, Bu. Gibran berhak menanyakan hatinya terlebih dahulu, ujar Gibran akhirnya. IA tahu yang dilakukannya salah, tentu akan melukai hati Umi begitu dalam, tapi ia juga berjanji pada almarhum ayahnya untuk selalu menuruti kemauan ibunya. Arani menggunakan kesempatan ini untuk berlaku seeankanya pada aa yang ia suka hanya karena tidak suka pada menantunya yang tidak jelas asal usulnya setelah ditinggalkan oleh kdua orang tuanya untuk selamanya. “Kamu sudah berani melawan Ibu?” tanya Arani dengan suara yng mulai meninggi. Gibran yang merasa terpojok dan serba salah hanya bisa diam dan menunduk. Umi yang tadinya merasakan hangat di hati karena pembelaan yang dilakukan untuk dirinya kini merasa kembali kecewa. Gibran memang tidak mampu bersikap tegas jika hal itu akan menyangkut ibunya. Gadis itu kembali menahan air mata atas apa yang berlaku atas dirinya. “Tidak perlu bagaimana hatiku, Bu. Tidak perlu pikirkan perasaanku. Aku akan coba menerima takdirku sendiri, mungkin ini yang terbaik untukku juga Ibu dan Mas Gibran. Semoga keputusan ini tidak membuat kita menyesal dikemudian hari.” Umi bersiap untuk pergi, tapi Gibran berhasil menahan tangan istrinya. “Duduk dulu Umi, kita selesaikan baik-baik,” ucap Gibran setengah berbisik. Arani yang melihat itu semakin terlihat emosi. “Bukankah kalian sudah merundingkan ini jauh-jauh hari? Ibu tidak suka diperlakukan begini,” teriaknya mulai tidak suka. Gibran menatap Umi dengan mata mengiba. Memohon pada istrinya agar mau kembali duduk dan berdiskusi untuk ketenangan hati mereka. Umi yang terlanjur kecewa melepaskan genggaman tangan suaminya dan berlari ke kamar. “Apa ibu bilang, Umi tidak baik untukku. Bagaimana bisa ia pergi dan berlari begitu saja tanpa mendengarkan kata kamu suaminya, apalagi kata-kata Ibu. Istri macam apa yang kau nikahi itu Gibran!” Teriakan Arani semakin membuat panas di hati Gibran. Lelaki itu kini meneteskan air mata. Gibran terpojok pada situasi yang tidak menyenangkan. Dilain pihak ia sangat mencintai ibunya, hanya ibu yang selalu ada untuknya setelah ayahnya pergi untuk selamanya puluhan tahun lalu dan hanya Ibu yang sekuat tenaga berusaha memberikan semua yang terbaik untuk Gibran, sehingga ia sukses seperti sekarang. Namun, ia juga mencintai Umi, wanita yang berhasil menarik perhatiannya atas kesalehan yang ia punya dan Ibu menentang pernikahan itu hanya karena Umi seorang yatim piatu. Lelaki mana yang tidak bingung jika dihadapkan pada masalah yang harus memilih satu wanita dari kedua wanita yang ia cintai. “Bu, tolong kali ini saja, dengarkan isi hatiku. Aku mencintai umi bukan karena dia cantik dan kelebihan yang ia punya. Aku mencintai Umi dari sini, Bu. Tulus dari sini,” ucap Gibran menunjuk dadanya. “Kalau Ibu tanya kenapa aku cinta Umi sampai sebegini besarnya,  aku juga tidak tahu kenapa rasa itu ada,” sambungnya sambil menghapus air mata. “Tapi kamu anak Ibu satu-satunya Gibran dan kamu butuh keturunan. Ibu ingin menjadi nenek, Ibu sangat ingin menimang cucu seperti orang-orang, seperti teman-teman ibu. Apa iBu salah?” ungkap Arani menatap anaknya dengan tatapan tajam. “Ibu tidak salah, Bu. Siapa pun juga ingin seperti Ibu, tapi itu di luar kuasa kita. Jodoh, maut dan keturunan itu kuasa Allah. Bukan hanya Ibu, aku juga ingin menjadi Ayah, tapi Allah belum memberikan itu padaku. Allah belum percaya padaku. Aku bisa apa selain berdoa dan terus berusaha.” Suara Gibran membahana memenuhi seluruh ruangan. Arani terdiam, lalu terduduk di atas sofa merah dengan tubuh yang lemas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD