Keputusan Besar

1289 Words
Umi menatap Gibran dengan tatapan yang tak dapat dijelaskan, mata gadis itu memerah dan berkaca-kaca, perlahan air matanya mengalir dan tidak mau berhenti walau berkali-kali diseka dengan tangan kanannya. Keduanya tampak menahan amarah, lalu sama-sama bergerak membelakangi untuk meredakan emosi masing-masing. Umi sibuk dengan air matanya, sedangkan Gibran sibuk memperbaiki letak kaca matanya yang tidak salah sejak tadi. Lelaki itu menghela napas lagi, di sebelahnya Umi tampak menghembuskan napas sembari mengucap lafaz Allah berulang kali samar untuk bisa bertahan dalam keadaan yang membuat hatinya sama sekali tidak tenang. "Jadi, apa boleh?" Gibran kembali bertanya, tapi kali ini dia tidak menatap Umi, istri yang telah dinikahinya lima tahun belakangan. Hening. Suasana terasa mencekam. Bagai dicampakkan ke dalam pusaran bumi yang paling dalam, Umi dibuat gamang dan tersiksa dalam beberapa detik saat mata lelaki itu menatapnya dan berubah menjadi tatapan penuh kemarahan. "Kurasa Mas sudah paham mauku. Mau jawaban yang bagaimana lagi?" Air mata di pipi Umi terus menerus mengalir, ia menghapusnya dengan sudut hijab sambil menahan hati dan berusaha tegar menatap wajah suaminya yang kini tengah diselimuti emosi. "Tapi, kau tahu kan maunya Ibu apa!” Suara Gibran menggema ke seluruh ruangan. nada tinggi itu tidak segan-segan ia teriakan sehingga Umi terlonjak kaget dan ketakutan. Umi tercekat. Di dalam hati ia berusaha berontak pada keadaan, bukankah pernikahan ini adalah pernikahannya dengan Gibran. Bukankah semua yang terjadi perlu komunikasi yang baik untuk memutuskan. Kenapa harus semua diatur oleh ibu mertua. Bahkan, mencarikan suaminya istri baru dan memaksa agar ia mau dimadu menjadi sebuah permintaan yang harus ia lakukan hanya karena di lima tahun pernikahannya tidak juga bisa memberi keturunan. "Jadi, Mas tetap mau memaduku?" Kali ini Umi menaikkan suaranya lebih tinggi. Ia tahu betul apa yang dia lakukan bukanlah sikap terpuji seorang istri kepada suaminya. Namun, kali ini Umi harus menekankan semuanya agar semua lebih jelas. "Iya, kamu tahu itu bukan kemauanku ‘kan, Mi. Itu kemauan Ibu,” ucap Gibran merendahkan suara dan menatap Umi dengan tatapan mengiba. "Kalau memang kemauan Ibu dan Mas tidak mau. Mas bisa mengelak 'kan?" Umi semakin menaikkan suaranya. Hal yang tidak pernah ia lakukan selama bertahun-tahun membina rumah tangga, tapi kali ini berbeda. Ia harus memperjuangkan pernikahannya setelah kelembutan tidak didengar dan Gibran tetap saja menekannya untuk memberi keputusan. "Iya, tapi. Ah sudahlah. Buatku kalian berdua itu penting. Ibu dan kamu buatku penting, Mi. Aku tidak bisa jika tidak melakukan apa yang ibuku suruh. Aku tahu kamu terluka, tapi inilah yang terbaik buat kita. Aku hanya berusaha mengambil jalan tengahnya,” ujar Gibran mengiba lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Tatapan Gibran terlihat melunak, ia tahu hal yang akan dilakukannya akan melukai hati istri yang sangat ia sayangi. Namun, hal ini harus ia lakukan dari pada Arani—ibunda Gibran melakukan hal lain untuk memisahkannya dengan istrinya. Gibran menghela napas, perlahan ia melangkah mendekati Umi dan menarik tangan gadis itu dengan lembut. Namun, Umi mengentakkan genggaman itu dan mundur menjauhi Gibran. Hal itu memang tidak mudah bagi Umi, hati yang teramat kecewa tidak dapat lagi menerima perlakuan manis yang diberikan untuknya. Di dalam pikirannya perpisahan adalah jalan yang terbaik walau ia sangat mencintai suaminya dari awal bertemu hingga detik saat ia meminta untuk dimadu. "Jalan tengah itu adil buat Ibu, juga adil buatku Mas. Tapi yang kamu lakukan ini tidak adil, sama sekali tidak begitu. Sekarang engkau bilang tidak bisa memilih antara aku dan Ibu. Nanti bagaimana? Tidak bisa memilih Ibu, aku dan istri barumu?" Umi mengucapkan kata itu dengan air mata yang kini sudah kering. Dirinya kini lebih tegar, walaupun sakit buatnya pernikahan seperti ini tidak akan bisa lagi diperjuangkan. Jika dulu Gibran masih membelanya walau berkali-kali dibuat kecewa oleh Arani sang ibu mertua, kali ini Gibran malah mengikuti kata ibunya. Lalu, apalagi yang harus ia pertahankan. "Sudahlah, Umi. Jangan bikin aku terpojok." Suara Mas Gibran kembali meninggi. Umi hanya bisa menutup mata sambil mengucap nama Allah agar tidak terbawa suasana hati dan menumpahkan kata-kata yang tidak seharusnya ia ucapkan. "Aku tidak memojokkanmu, Mas. Aku hanya minta keadilan. Selain belum bisa memberimu anak, apa kurangnya aku di matamu?" tanya Umi sambil memalingkan wajah menjauhi Gibran. Pertanyaan itu kini terdengar samar. "Sudahlah, bahasan ini sudah selesai. Kita tidak bisa apa-apa lagi selain mengikuti kata Ibu, Mi." Mas Gibran mendekat, mencoba kembali memeluk Umi seperti biasa sambil mengelus punggung istrinya mencoba menenangkan. Umi hanya diam mendapat perlakuan manis itu, tapi di hatinya tidak lagi ada rasa hangat, hatinya terlalu sakit, ia terlalu kecewa, sehingga air mata pun tidak mau mewakili kesedihannya. Semua ini sangat bertolak belakang dengan kata-kata Gibran saat meminang dulu. Di malam sebelum mereka mengucap janji setia Gibran datang mengendap-endap ke rumah Umi karena rindu yang tidak terbendung lagi. Hujan rintik dan angin kencang tidak membuat niatnya surut untuk menemu Umi dan berbincang ringan dengan alasan rindu. Padahal, mereka dilarang bertemu agar saat sah nanti semua menjadi sangat membahagiakan. Gibran mengetuk jendela kamar Umi yang berada di samping rumah paman Umi. Beruntung tidak ada siapa pun yang tahu karena posisi jendela kamar yang terhalang terangnya cahaya oleh pohon besar di samping rumah itu bisa membantunya untuk mengobati rindu walaupun sedikit. Tubuhnya yang basah tidak membuat niatnya surut dan melangkah pulang. Umi mengkhawatirkan kesehatannya, tapi jawabannya hanya tersenyum dan menggenggam tangan Umi dengan erat dan memperlihatkan mata yang sangat merindu. Lembut dan menghangatkan. "Rinduku lebih butuh obat, Umi. Tubuh yang basah ini juga nanti mengering. Yang penting hatiku terasa bahagia seiring jantung yang berdebar kini." Gibran tersenyum manis kala itu. Ia terlihat sangat sungguh-sungguh atas perasaan rindu dan sayang yang ia rasakan pada Umi. "Jika Allah mengizinkan, besok kita sah, Mas. Jadi tidak perlu engkau begini. Yang kutakutkan hanya ...." "Hanya apa? Kau ragu padaku, Umi?" "Tidak, Mas. Tidak ada yang kuragukan. Hanya saja apakah kau akan mencintaiku selamanya? Menerima kekuranganku nanti setelah kita menikah? Aku takut, Mas." Gibran tersenyum dengan ketakutan yang diutarakan Umi. Setiap rumah tangga tentu punya masalah sendiri-sendiri dan Umi merasakan sesuatu akan terjadi karena Arani memang tidak menyukai Umi hanya karena ia anak yatim piatu. "Kurang apa yang kau maksudkan, Umi?" tanya Gibran membelai pipi Umi dengan lembut. Umi merasakan hangatnya pipinya sampai ke hati. Saat itu ketakutan-ketakutan yang dirasakan Umi menguap begitu saja. Ia mengira jika cinta mereka tetap utuh apa pun masalahnya tentu akan selesai dengan sendirinya dan itulah yang ia rasakan selama lima tahun belakangan pernikahan mereka. "A-aku tidak pandai memasak, Mas." Umi berkilah karena merasa mereka akan baik-baik saja. Gadis itu menunduk menahan malu. Takut, kalau-kalau hal itu akan menjadi masalah besar pada pernikahannya nanti. Karena almarhum ayahnya pernah berkata kalau hati lelaki itu juga tergantung pada perutnya. Jika perutnya terisi, dia akan lebih mudah bahagia. Apalagi kalau kita sebagai wanita bisa memanjakan suami dengan masakan lezat setiap harinya. Tawa Gibran membahana malam itu. Ia sampai berjongkok-jongkok memegangi perutnya karena kata Umi yang dianggapnya sebuah lelucon. "Tidak bisa masak ‘kan bisa belajar, Umi. Yang penting kau setia padaku saat senang dan susah. Itu sudah lebih dari cukup." Senyum itu kembali hadir di bibir lelaki yang sangat Umi cintai itu. Kata-katanya membuat hati Umi hangat. Semua perasaan takut dan kegelisahan yang ia rasakan untuk dipersunting esok hari seolah lenyap. Tidak lagi ada ketakutan yang berarti lagi karena cinta mereka begitu terlihat sempurna. Namun, semua itu hanya masa lalu yang tidak bisa dipertahankan di masa kini. Ibu selalu benar di mata Gibran. Umi tahu betul, lelaki harus selalu patuh pada Ibunya sampai kapan pun. Karena bagaimanapun surganya tetap di kaki Ibu. Tapi, apa tidak bisa menolak untuk urusan ini? Umi menghela napas lagi, dengan Bismillah ia berusaha pasrah pada pernikahan yang mulai menghancurkan hati. “Kalau itu keputusan, Mas. Aku tidak lagi bisa mengelak. Maaf, aku minta kita berpisah saja. Itu hal terbaik dan adil menurutku,” ucap Umi dengan tegas. Lalu, ia pergi meninggalkan Gibran yang terke
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD