When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Gibran duduk dengan lemas di sofa merah ruang keluarga. Beberapa kali dahinya dipijit untuk bisa lebih tenang. Sudah hampir satu hari, tapi belum ada kabar dari Arani dan tanda-tanda ia ingin pulang. Ponselnya seperti sengaja dimatikan. Ia benar-benar ingin menghilang. Gibran bingung harus mencari di mana lagi, beberapa teman dekatnya sudah berkali-kali Gibran hubungi, beberapa di antaranya juga sudah disinggahi, tapi tetap saja tidak mendapatkan hasilnya. “Mas, minum teh hangat dulu. Semoga membantu untuk lebih tenang,” ucap Umi menyuguhkan teh hangat dan di taruh di atas meja persis di depan Gibran duduk. “Tenang katamu? Bagaimana aku bisa tenang kalau sampai sekarang Ibu tidak ada kabar,” protes Gibran menatap Umi dengan tajam. “I-iya, aku tahu dan paham, Mas, tapi cobalah untuk t