Bab 4 - Suasana Yang Hangat

1637 Words
Bab 4 - Suasana Yang Hangat Habibah senang bisa berkumpul bersama keluarganya. Keluarga yang harmonis dan penuh kehangatan. Hanifah dan Yusuf datang bersama anak-anaknya. Sulaiman dan Fatimah hanya terpaut usia tiga tahun. Mereka sangat lucu sekali, mereka berdua lah yang menghangatkan suasana malam ini. Celotehan anak-anak memang selalu membuat kita gemas melihatnya. Habibah menggendong si bungsu Fatimah. "Keponakan tante sudah besar sekarang. Sudah bisa hafalan apa?" Tanya Habibah. Keluarga Habibah memang sudah di didik agar memperdalam agama Islam. Jadi tidak heran kalau Habibah menanyakan hal itu pada Fatimah. Padahal usianya baru empat tahun. "Aku sudah bisa menghafal. Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas," sahut Fatimah polos. "Pintar, de Fatimah enggak pernah manjat-manjat pohon lagi kayak kakak Sulaiman kan?" Fatimah itu perempuan, tapi sangat berani. Meskipun pohon di rumahnya Hanifah tidak terlalu tinggi. Tetap saja berbahaya kalau dipanjat oleh anak usia empat tahun seperti Fatimah. Fatimah melihat kakaknya, Sulaiman yang memanjat pohon, tapi Sulaiman kapok karena pernah terjatuh. Namun, berbeda dengan Fatimah. Sampai sekarang kadang masih suka terlihat memanjat pohon. Fatimah nyengir kuda. Tantenya satu itu memang paling bisa menebak kenakalan Fatimah. "Fatimah itu perempuan. Tidak baik kalau harus memanjat pohon. Apalagi kamu masih kecil. Nanti kalau jatuh seperti kakak Sulaiman bagaimana? Dari pada memanjat pohon. Lebih baik kamu lebih banyak menghafal surat-surat dalam Al-Quran dan hadis. Itu lebih disukai oleh Allah. Pahalanya surga loh," ucap Habibah bijaksana. Semenjak kehadiran Sulaiman dan Fatimah. Habibah jadi sering main dengan mereka. Suasana rumah menjadi hangat kalau ada mereka. Jiwa keibuan Habibah memang sangat baik. Sudah seharusnya Habibah menikah, tapi sepertinya akan sedikit sulit bagi Habibah. Untuk menemukan pendamping hidupnya. Habibah sangat selektif dalam memilih pendamping hidupnya. Karena ia mempunyai prinsip. Hidup hanya sekali, maka menikahpun hanya sekali. Jadi Habibah mencari yang terbaik, untuk hidup lebih baik. "Siap tante. Fatimah mau masuk surga," sahut Fatimah. Hanifah tertawa melihat anak bungsunya yang sangat menurut pada auntienya. Di sini memang Fatimah nurut bilang iya, tapi tetap saja. Fatimah masih suka manjat pohon. "Berarti kalau Fatimah manjat pohon lagi. Umi lapor ya sama tante," goda Hanifah. "Jangan umi, Fatimah janji enggak akan panjat lagi, tapi kalau udah gede boleh kan?" Bisa saja ngelesnya anak kecil satu ini. "Tetap tidak boleh sayang, anak perempuan itu harus jaga sikapnya. Apalagi kalau sudah besar nanti. Kamu harus menjaga aurat kamu. Itu yang terpenting. Karena jika kamu sudah besar, sehelai rambut kamu yang terlihat oleh bukan muhrimnya. Itu akan menjadi dosa. Makanya kamu harus menjaga betul-betul aurat kamu ya," terang Habibah. Pendidikan agama memang sangat bagus di tanamkan sejak kecil. Agar setelah dewasa akan menjadi kebiasaan yang tidak akan bisa dilepaskan. "Iya, Tante. Fatimah akan menjaga aurat Fatimah seperti auntie Habibah," ujar Fatimah dengan percaya diri. "Sulaiman mana kak?" Tanya Habibah. "Sepertinya sedang main sama Abi di ruang tamu. Bagaimana? Kamu sudah menemukan orangnya?" Hanifah mulai memancing hal itu lagi. Apa tidak bosan tiap Minggu Hanifah menanyakan hal itu. "Bisa enggak kak, kita enggak usah bahas itu?" Hanifah tersenyum. "Fatimah ke ruang tamu dulu yah. Main dulu sama kakek dan kakak Sulaiman," pinta Hanifah pada Fatimah. Rasanya kurang pantas saja pembicaraan dewasa, kalau sampai Fatimah mendengarkannya. "Oke, Umi." Fatimah langsung meninggalkan Habibah dan Hanifah. "Menikah itu sunah rosul yang wajib di laksanakan loh! Mau sampai kapan kamu menutup hati terus? Umi dan Abi sampai resah melihat kamu masih santai saja. Apa kamu tidak mempunyai keinginan untuk menikah?" Menikah? Siapa yang tidak mau menikah, tapi kenapa harus terburu-buru. Bukannya Allah sudah menulis jodohnya, sebelum Habibah lahir ke dunia ini. Lantas kenapa mereka selalu mendesak Habibah terus? Habibah masih perlu memantaskan diri dihadapan Allah. Habibah akan mencintai orang yang juga cinta kepada Allah. Bukan hanya cinta pada dirinya saja. Namun, cinta kepada Allah itu yang lebih utama. Karena setelah menikah, ia akan menuruti suaminya. Ridho suami adalah ridho Allah. Surganya pun berpindah pada suami. Bukan lagi di bawah telapak kaki ibu. Mencari pendamping hidup bukan seperti mencari daging di pasar. Yang terlihat tampan, kaya raya dan berilmu banyak. Namun, mencari lelaki yang cinta pada Allah. Itu yang sulit, karena banyak orang yang berilmu juga cinta pada Allah. Namun, ia lupa setelah mendapatkan seorang istri yang cantik. Habibah tidak mau hal itu terjadi. Habibah ingin nantinya bersama suaminya, mereka istiqomah dalam melaksanakan perintah Allah. Membimbing dan menuntunnya ke Surga Allah. Saling melindungi dan menegur jika melakukan kesalahan. "Aku akan menikah, jika saatnya tiba kak. Udah yuk! Aku mau gabung sama Fatimah dan Sulaiman." Habibah kabur ke ruang tamu menyusul Fatimah. Ia tidak mau Hanifah menceramahinya terus. Habibah memang pengisi acara tausiyah, tapi tidak berarti Habibah harus mendengarkan kakaknya mengoceh hal yang sama terus. Bayangkan setiap Minggu pasti Hanifah menanyakan hal itu. Kalau tidak pasti mulai mengenal-ngenalkan Habibah dengan teman-temannya. *********** Kehangatan sebuah rumah tangga adalah seorang anak. Mereka yang terlalu polos dan sangat lucu membuat kita bahagia melihat setiap tingkah lakunya. Maka beruntunglah bagi orang tua yang memiliki anak karena tidak semua wanita dapat memiliki anak. Ada wanita yang sama sekali tidak bisa hamil seumur hidupnya. Ada juga wanita yang memiliki anak sampai belasan. Orang tua dulu bilang, banyak anak banyak rezeki. Betul sebenarnya kata-kata itu. Bukan soal rezeki saja yang mengalir. Dengan banyak saudara. Kita tidak akan merasa kesepian. Bahu membahu saling tolong menolong. Itulah sebuah keluarga. Tidak hanya itu, kasih sayang dan saling melindungi sudah pasti akan mereka lakukan. Kehangatan dalam rumah tangga pasti akan terasa ketika seorang anak lahir di tengah-tengah mereka. Meskipun saat kecil di sibukkan dengan segala macam aktivitas mengurus bayi. Namun, jika sudah besar. Ia akan bisa membanggakan orang tuanya. Mengharumkan nama orang tuanya. Maka jika kita mendapatkan titipan seorang anak. Sudah selayaknya kita patut mendidiknya. Selain pendidikan secara formal. Pendidikan agama juga patut di tanamkan sejak kecil. Agar nantinya terbiasa sampai dewasa. Untungnya di keluarga Habibah sudah biasa di tanamkan ilmu agama sejak kecil. Jadi tidak heran kalau bertemu dengan keponakannya Habibah selalu bertanya sudah hafal surat apa? Atau hadis apa? Karena Hanifah dan Yusuf juga menanamkan itu pada anak-anaknya. Kita harus menanamkan hal yang baik untuk mendidik anak-anak. Agar nanti anak kita menjadi sukses baik dari segi ekonomi maupun agamanya. Yang terpenting adalah agama nomor satu. Belajar dari pengalaman Yusuf yang berjuang menghafalkan juz yang Abi Arifin minta. Agar bisa mengkhitbah Hanifah saat itu. Abi Arifin melakukan hal itu, karena ia sangat menyayangi Hanifah anak perempuannya. Abi Arifin tidak mau sampai anak perempuan yang selama ini ia jaga. Dia didik dengan patuh pada agama Islam. Mendapatkan suami yang sembarangan. Tentunya suaminya harus taat pada agamanya. Karena cinta sesama manusia itu tidak abadi. Hanya cinta pada Allah lah yang abadi. Manusia bisa mati meninggalkan raganya. Sedangkan Allah tidak akan mati. Saat itu Yusuf di berikan waktu satu bulan untuk menghafalkan lima juz Al-Qur'an. Yusuf berujuang menghafalkan juz yang Abi Arifin minta demi mendapatkan restu mengkhitbah Hanifah. Akhirnya lima juz yang Abi Arifin minta berhasil Yusuf hafalkan. Yusuf mendapatkan restu dari Abi Arifin. Namun, tidak hanya itu. Syarat berikutnya, saat akad nikah. Yusuf harus menghadiahkan surat Ar-rahman sebagai hadiah pernikahan mereka. Dengan niat baik, Yusuf juga bisa memenuhi syarat itu. Tidak butuh waktu lama saat mereka menikah. Dua bulan kemudian Hanifah sudah hamil Sulaiman. Abi Arifin dan umi Abidah sangat senang bisa cepat mendapatkan cucu pertamanya. Habibah juga senang karena akan punya keponakan. Selama masa kehamilan, Habibah yang sering menemani Hanifah untuk periksakan kandungannya pada dokter kandungan. Tidak heran sekarang Sulaiman dan Fatimah sangat dekat sekali dengan Habibah. Sejak dalam kandungannya saja Habibah selalu menemani uminya. Habibah juga sangat lembut dalam menasehati keponakannya. Jadi Sulaiman dan Fatimah merasa Habibah adalah ibu kedua bagi mereka. "Habibah kamu di mana?" Panggil umi Abidah. "Ya, umi. Habibah ada di dapur," sahut Habibah. Ia buru-buru ke tempat umi Abidah berada. Ada apa umi Abidah memanggilnya? "Ada apa umi?" "Ini kakak kamu mau pulang," sahut umi. "Kakak sekeluarga pamit dulu ya, kebetulan besok kami sekeluarga mau ke Bogor. Mau ke Oma dan opahnya Sualiman dan Fatimah. Maaf ya, Minggu ini kami enggak bisa nginap. Inssya Allah Minggu depan kami akan menginap seperti biasa," pamit Hanifah. Oh ternyata umi Abidah memanggil Habibah untuk melihat Hanifah pamit. "Ya, tidak apa-apa. Kamu juga harus sering mengunjungi orang tua Yusuf. Jangan sampai mereka cemburu karena kalian lebih sering ke sini," Abi Arifin sedikit terkekeh. "Baik, Abi. Terimakasih, kamu pulang dulu," kali ini Yusuf yang pamit. Sulaiman dan Fatimah sudah terlelap tidur. Mereka sudah tidur di dalam mobil. Setelah pamit, mereka pergi meninggalkan rumah. "Yaaaaahh, padahal masih kangen sama Sulaiman dan Fatimah, rumah sepi lagi deh," gumam Habibah. "Makanya nikah! Biar enggak kesepian," sindir umi Abidah. "Jangan di paksa terus anaknya. Nanti juga jodohnya datang sendiri," bela Abi Arifin. Untunglah Abi Arifin menjadi penyelamat. Habibah sudah bosan di pakasa menikah terus. "Ya, tidak bisa begitu dong Abi, Habibah itu sudah cukup umur untuk menikah," bantah umi Abidah. "Menikah itu perlu keseriusan umi, biarkan Habibah memantaskan diri di depan Allah dulu. Kalau memang jodohnya sudah dekat. Dia pasti datang untuk mengkhitbah Habibah," pendapat Abi Arifin. "Terimakasih Abi, Abi memang selalu mengerti Habibah. Ya udah, Habibah masuk kamar dulu ya. Assalamualaikum umi, Abi." Habibah langsung pergi ke kamarnya. Sayup-sayup setelah menjawab salam dari Habibah. Abi Arifin dan umi Abidah masih terdengar berdebat soal Habibah. Habibah jadi sedikit sedih, mereka pasti sedang beradu argumen. Mungkin memang sudah saatnya Habibah membuka hatinya untuk lelaki yang ingin mengkhitbahnya. Tentunya bukan sembarangan lelaki. Lelaki yang juga mencintainya dan cinta juga kepada Allah. Tidak perlu tampan karena tampan akan hilang jika Allah berkehendak. Tidak perlu kaya, karena harta bisa habis. Yang penting akhlak yang bagus. Dan mau terus belajar dalam mendekat pada Allah. Itu saja sudah cukup bagi Habibah. Sebelum tidur, seperti biasa Habibah merapihkan tempat tidurnya dulu. Setelah itu Habibah berwudhu, selesai berwudhu. Habibah tidak langsung tidur. Habibah baca do'a dan surat-surat pendek. Agar dalam tidurnya tetap terjaga dan terhindar dari mimpi buruk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD