6

966 Words
ENAM HAPPY READING Hanin tertawa bagai orang gila. Kedua tangannya menghapus kasar air mata yang mengalir membasahi pipinya. Sialan! Semakin di hapus oleh Hanin semakin air matanya mengalir deras. Cukup! Hanin nggak sudi membuang air matanya lagi. Semuanya sudah jelas. Perjuangannya selama empat tahun panjang tak ada hasilnya. Nihil, bayaran atas perjuangannya seorang diri, mengunci hatinya untuk laki-laki lain karena menunggu Kamal kembali, dan menjemput dirinya nihil. Hanya kesakitan tiada kira yang Hanin rasakan atas kesetiaannya yang tak terbalas selama ini. Kesetiaan g****k yang Hanin pertahankan atas nama Kamal, atas nama cintanya yang tulus, dalam, dan suci pada Kamal selama ini. Membuat Hanin menolak bahkan berpuluh laki-laki yang selalu pergi, dan mendekat padanya selama 4 tahun panjang yang Hanin lewati dalam kerinduan, kesepian, dan ketidakpastian yang menghadirkan luka yang sangat dalam untuk Hanin rasakan seorang diri. Tak ada yang Hanin harapkan lagi. Laki-laki yang menyiraminya dengan kebahagiaan, kehidupan penuh warna sekaligus bertabur dosa di masa lalu mengatakan kalau apa yang mereka jalin selama 2 tahun panjang yang di lewati dengan sangat indah. Hanya sebuah kesalahan, dan kekhilafan. Bahkan laki-laki itu tadi mengatakan. Berhubungan dengannya atau mengenalnya adalah kesalahan fatal yang pernah ia lakukan di masa lalu? Sebegitu buruk Hanin? Atau malah laki-laki b******k itu lebih yang buruk? Tetapi melimpahkan semua keburukkan itu untuk Hanin seorang diri? Hanin mengepalkan kedua tangannya erat. Bangkit dengan tak sabar dari atas ranjang kakaknya Maria. Kembali menyimpuhkan dirinya di atas lantai. Memungut berlembar foto itu untuk ia lihat ulang. Hanin menggigit bibir bawahnya kuat. Menatap dalam-dalam pada gambar yang hanya membuat hati Hanin perih. Hanin melihat gambar itu hanya untuk meyakinkan dirinya. Bahwa tidak ada yang tersisa lagi. Tidak ada alasan dirinya menjadi gadis yang menutup diri dari dunia luar, dan menjalani hari demi hari dengan sepi hanya untuk menjaga dirinya dari pandangan laki-laki lain karena alasan Kamal. Kamal akan cemburu apabila ia keluyuran tak ada keperluan di luar. Hanin mengunci dirinya rapat dari dunia luar. Bahkan karena Kamal Hanin juga menolak untuk kuliah, selain ada alasan yang lainnnya juga. Tapi, mulai detik ini. Hanin akan merubah hidupnya. Semua yang Hanin lakukan atas nama Kamal tidak akan Hanin lakukan lagi. Karena mulai detik ini, laki-laki itu bukanlah kekasihnya lagi. Hanin nggak mau menjadi wanita bodoh bertahun-tahun sekian lamanya. Cukup 4 tahun ia menyia-nyiakan hidupnya yang berharga selama ini. "Walau tak dapat di bohongi, menjelang hari bahagiamu. Meninggalkan luka, dan rasa sakit yang sangat dalam untuk aku tanggung seorang diri, Kamal." Bisik Hanin pelan sekali. Hanin memejamkan kedua matanya erat untuk sesaat. Menarik nafas panjang lalu di hembsukan dengan perlahan oleh wanita itu untuk mengurangi sedikit saja rasa sesak yang sedang menikam uluh hatinya di dalam sana. "Aku akan menjadikan ini semua sebagai pelajaran yang sangat berarti dalam hidupku. " "Aku akan menganggap ini semua sudah garis takdir. Selama dua tahun , nyatanya? Aku menjaga jodoh untuk kakakku. Semoga kalian berbahagia."Bisik Hanin , dan melepas begitu saja genggamannya pada berlembar foto yang ada di tangannya membuat foto-foto yang berisi Kamal, dan Maria kebanyakan jatuh berhamburan di atas lantai. Hanin dengan hati yang sedikit plong, dan tak terlalu sesesak tadi. Berniat pergi dari kamar kakaknya. Tapi, niatan Hanin harus urung di saat kakaknya keluar dari dalam kamar mandi. Memanggil namanya, dan bertanya tentang Kamal. "Kamal mana?"Tanya Maria sambil mengedarkan pandangannya kestiap sudut kamarnya. Tapi, tak ada kamal. Hanin siap untuk menjawab pertanyaan kakaknya , tapi... "Ini kemeja , Kamal? Apa yang kalian lakukan?"Tanya Maria dengan marah, dan tinggi yang tak bisa Maria tahan. Hanin masih berdiri tenang di posisinya menatap kakaknya Maria yang sedang menatap dirinya dengan tatapan curiga padanya saat ini. "Jawab! Apa yang kamu atau kalian lakukan?"Bentak Maria tak tahan karena adiknya masih saja bungkam. Hanin terlihat menarik nafas panjang lalu di hembuskan dengan perlahan oleh wanita itu. "Kak Kamal mengeluh gerah. Dia ganti baju dengan kaos couple kalian. "Ucap Hanin dengan nada tenangnya. Maria menunggu cemas lanjutan ucapan dari Hanin yang sengaja Hanin potong sepertinya. "Terus?"Tuntut Maria tak sabar. "Aku melihat bekas luka di lengannya. Aku bertan----" "Adik sialan!"Bentak Maria marah. Bahkan tangan Maria hampir menampar pipi Hanin tapi dengan tangkas, dan lihay Hanin menahan cepat tangan kakaknya, dan menghempas agak kuat tangan kakaknya. Cukup! Hanin merasa ia tidak melakukan kesalahan. Cukup hatinya yang sakit saat ini. Fisiknya jangan. "Apa salahku? Sehingga kakak ingin menamparku?"Tanya Hanin dengan nada, dan raut yang masih tenang. Maria menjambak rambutnya frsutasi. Menatap Hanin dengan tatapan marah, dan ingin membunuhnya. "Gara-gara pertanyaan kamu itu. Kamu tau? Bahkan Kamal akan hilang berhari-hari, Hanin! Dia sangat sensitif dengan luka sialan yang entah dari mana Kamal dapatkan itu!" "Kamu membuat hari bahagiaku menjadi suram hari ini. Keluar kamu dari kamarku, Hanin."Ucap Maria dengan nada yang hampir menangis. Hanin menurut, tidak ingin membuat kakaknya semakin marah. Luka itu? Ada apa dengan bekas luka itu? Kenapa bekas luka itu ada di lengan Kam---- Hanin menggelenglan kepalanya kuat. Apa peduli Hanin pada laki-laki yang sudah mengkhianati, dan menoreh luka yang dalam untuk Hanin rasakan seorang diri. Hanin tersenyum sinis, dan siap melangkah masuk ke dalam kamarnya setelah ia menutup pelan pintu kamar kakaknya yang sempat di banting oleh Kamal. Tapi, tangan Hanin yang ingin membuka pintu kamarnya hanya melayang di udara, di saat ponsel yang ada di saku celananya berbunyi. Hanin mengambil cepat ponselnya. Dan melihat nama yang tertera dalam layar. Hanin terlihat menelan ludahnya kasar saat ini. Rama laki-laki yang tak pernah lelah menunggu, dan mengejar dirinya selama dua tahun terakhir ini. Walau sudah Hanin tolak berkali-kali. Tapi, Hanin kali ini. Mengangkat cepat panggilan Rama. Mengatakan sesuatu yang membuat Rama menegang kaku tak percaya di seberang sana. "Kamu masih suka sama aku? Kalau iya, aku mau jadi kekasihmu, asal kamu mau serius, Ram." Nggak apa-apakan, Hanin menjadikan Rama sebagai pelarian dulu? Lama-lama mungkin ia bisa jatuh hati sama Rama? Ya, Hanin berharap ia bisa segera jatuh cinta sama Rama.... tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD