DUA

1493 Words
DUA Hanin menatap sinis pada wajahnya yang memerah, dan kedua matanya  yang agak sembab di depan cermin yang ada  dalam kamar mandinya saat ini.  Walau sudah Hanin guyur berkali-kali dengan air segar yang mengalir. Jejak kemerahan dari kedua mata, hidung, pipi bahkan telinga, dan raut sehabis ia menangis masih terpampang jelas di kulit wajahnya yang putih bersih tanpa polesan apapun. Untung saja, air matanya yang dengan tak mau malu mengalir begitu saja tak di lihat oleh kakaknya 15 menit yang lalu. Kalau kakaknya lihat, Hanin tidak tau apa yang harus ia katakan pada kakaknya tentang air matanya yang mengalir tadi. Untung saja, kakaknya tak melihatnya bahkan mengusirnya, menyuruh dirinya keluar dari dalam kamarnya tanpa melihat dirinya. Kakaknya sibuk, dan terpaku pada sebuah kalung yang sangat cantik pemberian suaminya, dan mengatakan bawa ia belum ingin berpakaian. Ia ingin tidur lagi, ia lelah menghabiskan waktu sepanjang malam dengan suaminya Kamal. Entah kenapa kakaknya begitu frontal mengatakan hal seperti itu pada dirinya tadi. Dan Hanin tanpa pamit, segera beranjak dari kamar kakaknya berlari secepat kilat menuju kamarnya. Mengunci pintu lalu  segera berlari masuk ke dalam kamar mandi menumpahkan semua tangisnya di sana. Dan saat ini, detik ini , Hanin menyesal karena ia sudah menangis hebat karena seseorang yang tak berarti lagi dalam hidupnya, pada seseorang laki-laki b******k yang membuat hidupnya yang  berwarna di dunia ini dulu menjadi redup bahkan sangat gelap sekali. Mengingat hal itu, Hanin kembali terkekeh sinis. Mengusap kasar wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Jangan mengingat hal itu lagi. Jangan mengingat hal itu lagi, Hanin. "Bisik Hanin dengan kedua tangan yang terlihat mengepal erat saat ini, memberi penguatan pada dirinya yang kembali rapuh karena melihat kalung yang sangat ia suka, dan selalu ia pandangi dulu dengan tatapan puja, tapi melihat kalung itu saat ini hanya membuat hati Hanin sakit , dan seharusnya Hanin tak seperti saat ini keadaannya. Hanin yang kuat yang coba Hanin ciptakan selama 4 bulan  berat yang sudah berlalu. Ambyar karena kalung   sialan tadi, dan Hanin sangat marah pada dirinya saat ini. "Kamu akan segera keluar dari rumah ini. Kamu akan segera keluar dari rumah ini. Kuatkan dirimu hanya tinggal 30 hari lagi. Kamu pasti kuat, dan mampu."Bisik Hanin kali ini dengan bisikan lirih yang terdengar sangat memohon, dan mengiba pada dirinya sendiri agar ia kuat, dan mampu menghabiskan sisa  1 bulan ia tinggal di sini.  Ya, tinggal satu bulan. Rasa sakit yang ia rasakan pasti akan berkurang, dan akan hilang seiring waktu yang terus berjalan, dan bergulir. **** Hanin menghentikan langkahnya dengan tubuh yang terlihat sangat menegang kaku saat ini. Bahkan Hanin juga terlihat menelan ludahnya kasar melihat ada seseorang yang sangat Hanin kenal, dan hapal tubuhnya.  Berdiri membelakanginya dengan kedua tangan yang bertumpu pada westafel. Hanin dengan pelan, dan hati-hati tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Melirik kearah jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pukul 8 lewat 20 menit. Kenapa laki-laki itu masih berada di rumah saat ini? Dan sedang menguasai dapur entah apa yang sedang di lakukannya, dan di buatnya saat ini. Berdiri membelakanginya tepat di depan westafel tempat cuci piring. "Kenapa hanya diam?"Tanya suara itu dengan nada yang sangat dingin.  Membuat Hanin kembali menelan  ludahnya kasar sekali lagi. "Kaget aku masih berada di rumah?"Ucap suara itu lagi dengan nada yang semakin dingin, dan sinis. Apa mau laki-laki sialan yang sedang berdiri membelakanginya saat ini? Apa maunya? Kedua tangan Hanin terlihat mengepal erat di bawah sana. "Tidak jadi."Desis Hanin pelan, dan Hanin berniat pergi meninggalkan dapur. Tapi, langkah, dan niatan  Hanin terhenti di saat suara dingin seorang laki-laki yang merupakan suami kakaknya, kakak iparnya kembali berucap dengan nada yang sangat dingin pada Hanin. "Kamu tidak terlihat sakit hati, dan cemburu  sedikitpun pada kakakmu. Kam-----" "Hati aku sudah mati rasa. Sejak kamu mencampakkanku bagai sampah  4 bulan yang lalu. Apa lagi maumu? Belum cukupkah memanfaatkan kebodohan diriku selama ini hanya untuk menikah, dan memiliki kakakku? Jangan terlalu kejam, Kamal. Aku takutnya kamu menyesal suatu saat nanti." ****** Hanya kamu yang aku miliki di dunia ini, tolong kamu jangan pernah berpaling darikku walau seburuk, dan sebejad apapun di diriku di masa lalu, saat ini, dan di masa depan. Kata- kata di atas yang di simpan rapi, dan kuat oleh Hanin dalam hati, pikirannya saat ini mengiang seakan masih bisa di dengar oleh indera pendengar Hanin saat ini secara berulang kali. Kata-kat yang selalu di ucapkan oleh laki-laki yang mengenalkan Hanin pada kata cinta. Membuat Hanin tau bagaimana rasanya di cintai, di sayangi, di sakiti, dan di khianati. Kata-kata yang terakhir kali Hanin dengar di saat Hanin masih berbaring di ranjang pesakitan empat tahun yang lalu. Yang di bisikkkan dengan suara sangat lirih, dan penuh mohon oleh seseorang itu, seseorang yang berhasil menjerat hati Hanin, dan masih mengunci hati Hanin membuat hati, pikiran, perasaan Hanin hanya mampu berputar pada titik yang sama, terjebak pada masa lalu indah yang pada seseorang , yang nyatanya sudah mencampakkan dirinya bagai sampah empat bulan yang lalu tanpa kata. Seingat Hanin, mereka tak ada masalah. Hanin yang masuk rumah sakit tanpa sepengetahuan keluarganya di rawat dengan telaten oleh orang itu sampai hari ke -4 . Menginap, dan menjaganya dengan penuh cinta, dan kasih sayang. Dan hari ke- 5 Hanin berbaring di rumah sakit. Pagi, laki-laki itu pamit padanya, ijin pergi sebentar untuk mengurus surat-menyurat untuk mendaftar pada kampus yang sama dengan Hanin. Nyatanya, pagi itu, adalah hari terakhir kebersamaan mereka, pertemuan mereka. Laki-laki itu tidak pernah kembali pada Hanin, meninggalkan Hanin seorang diri yang terbaring sampai 7 hari 7 malam di rumah sakit. Dan nyatanya, laki-laki itu juga tidak mendaftar di kampus yang sama dengan Hanin. Bahkan laki-laki itu sejak Hanin keluar dari rumah sakit. Seakan menghilang bagai di telan bumi. Laki-laki itu sudah tak ada di kota yang sama dengan Hanin. Hanin mencari kabar tentangnya bagai orang gila. Cemas, laki-laki itu kenapa-napa di luar sana sehingga menghilang tanpa jejak sedikitpun agar bisa Hanin temui. Dalam kerisauan yang berada pada tingkat tinggi, memikirkan keberadaan laki-laki itu, bagaimana keadaannya, dan sebagainya. Hanin hidup bagai mayat hidup selama empat tahun panjang yang sudah Hanin lalui dengan susah payah selama ini. Hanin tau ia bodoh, sampai sebegitu besar efek yang di tinggalkan oleh laki-laki itu padanya. Karena semuanya, semua yang melekat dalam diri Hanin sudah di serahkan oleh Hanin pada laki-laki itu. Mereka memiliki ikatan tak kasat mata yang akan membuat mereka selalu bersama, itu yang di yakini Hanin. Tapi, nyatanya apa? Empat bulan yang lalu. Hanin sangat bahagia. Luar biasa bahagia di saat Hanin tak sengaja , dan iseng-iseng membuka akun IG-nya yang sudah Hanin tak sentuh setelah sekian tahun lamanya karena setiap pesan yang ia kirim, tak pernah di balas, bahkan di baca oleh orang itu. Di pagi hari yang cerah, masih Hanin ingat betul 4 bulan yang lalu. Hanin melihat ada postingan orang itu untuk pertama kalinya sejak ia menghilang empat tahun yang lalu. Memosting sebuah foto dirinya yang sedang menggeret koper dengan wajah yang dingin seakan tak tersentuh oleh siapapun dengan caption 'back' di posting 2 jam yang lalu Hanin terlonajak bangun dari dudukannya di pinggiran ranjangnya. Menarik asal baju untuk ia pakai dari dalam lemari. Hanin ingin menemui laki-laki itu. Laki-lakinya yang menghilang tanpa kata, kabar, dan kini sudah kembali di kota ini melihat dari latar bandara yang sangat di kenali oleh Hanin dalam foto laki-laki itu, kekasihnya. Tapi, nyatanya, Hanin baru membuka pintu untuk keluar. Laki-laki itu sudah ada di depan pintu rumahnya siap untuk mengetuk pintu dengan dua orang laki-laki paru bayah yang mengapitnya dari samping kiri, dan kanan. Dengan kedua mata yang berkaca-kaca, dan sudah merembeskan airnya dengan buliran yang besar. Hanin bersiap untuk memeluk laki-lakinya. Tapi, apa yang Hanin dapatkan? Hanin malah jatuh tersungkur di atas lantai. Laki-laki itu menghindar, tak menyambut pelukannya. Dan berlalu begitu saja meninggalkan Hanin yang membeku tak percaya di bawah kakinya. Butuh waktu 5 menit untuk mengumpulkan seluruh kesadarannya akan rasa shock yang Hanin dapatkan atas perlakuan seorang laki-laki yang menyiksa persaan Hanin selama empat tahun panjang. Hanin melangkah dengan jantung berdebar kencang. Takut akan perlakuan yang ia dapatkan tadi. Apa yang terjadi dengan laki-lakinya. Dan perlakuan ganjal, tak enak yang Hanin dapatkan beberapa saat yang lalu terjawab di saat Hanin sudah berada di ruang keluarga yang ternyata sudah ada mama, papa, kakaknya, dan kekasihnya sudah berkumpul di sana. "Lamaranmu 1 tahun yang lalu pada puteri kami, kami terima."Ucap papa Hanin dengan nada lembutnya. Hanin memekik senang, air mata kembali mengalir deras di kedua matanya. Hanin tanpa sadar menjadi pusat perhatian semua orang untuk beberapa saat. Tapi, Hanin bungkam dengan wajah yang pucat pasih di saat kakaknya berucap dengan nada yang sangat-sangat lembut kalau.... "Aku sejak 1 tahun yang lalu sudah menerima lamaran darimu sebenarnya. Tapi mama, dan papa mau kamu menyelesaikan dulu kuliahmu. Tapi sekarang sudah selesaikan, Kamal? Kalau sudah, aku mau menjadi isterimu."Ucap Kakaknya Maria dengan raut wajah yang sangat bahagia. Hanin merasa sangat malu. Malu pada semua orang yang ada di depannya, terlebih malu pada dirinya sendiri. Tapi, percayalah, rasa shock, sakit tak berdarah yang lebih mendominasi menikam perasaan Hanin saat itu. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD