“Dipta … Katakan sesuatu… Kamu kekasihnya, bagaimana mungkin Putri kabur di hari pernikahannya? Kalian bertengkar sebelumnya?” Tanya wanita paruh baya yang menatap putranya dengan tatapan campur aduk.
“Mba Putri yang salah, kenapa harus menyalahkan Mas Dipta, Ma?” Itu suara wanita yang terlihat paling muda di sana, adik bungsu Dipta. “Dia yang bikin keluarga kita malu! Seenaknya kabur tanpa tanggung jawab!” Gadis itu kembali menggerutu.
Sedangkan mempelai pria masih belum mengeluarkan suaranya, keadaan ini terlalu mendadak, di luar nalarnya, kepalanya penuh dengan pertanyaan kenapa dan ada apa dengan calon istrinya itu.
“Dipta … Pernikahan ini tidak mungkin dibatalkan. Semua tamu undangan sudah datang, banyak kerabat dan rekan bisnis yang datang. Eyang tidak mau menanggung malu. Pernikahan ini harus tetap berlangsung, dengan atau pun tanpa Putri.” Itu suara seorang wanita yang usianya sudah terlihat senja namun wajahnya masih terlihat bugar.
“Dipta tau. Dipta akan tetap menikah hari ini! Dipta yakin Tante Farah dan suaminya akan menemukan solusi atas masalah yang dibuat oleh Putri.” Ucap Dipta dengan tatapan mata yang menggelap.
Dia tau semua ini harus tetap berjalan seperti rencana atau keluarganya akan menanggung malu, pun dirinya, dia tidak memiliki kandidat yang bisa dijadikan mempelai dadakan, walau dia bisa mengambil satu dari sekian banyak wanita yang tergila-gila padanya yang akan dengan sukarela mengatakan iya untuk menjadi pengantinnya hari ini. Namun, Dipta tidak akan melakukannya, dia ingin melihat sejauh mana keluarga dari calon istrinya yang telah kabur itu bertanggung jawab.
“Lalu siapa yang mau menjadi mempelai dadakan, Mah? Yang benar saja.” Suara Ayahnya ikut mengerang frustasi.
Hingga pintu diketuk, membuat si bungsu membuka pintunya dan terlihat Farah juga Raharja datang dengan raut wajah yang penuh rasa bersalah.
“Kurang ajar ya kamu! Kamu mempermalukan keluarga saya!” Teriakan itu langsung menggema, memenuhi ruangan yang semakin mencekam.
“Sungguh saya minta maaf Jeng Laras. Ini masalah kita bersama. Saya juga tidak tau alasan anak saya menghilang. Apakah menghilang atau diculik. Namun saya tau pernikahan ini harus tetap berjalan, banyak kerabat Anda dan kerabat saya dari keraton. Tidak mungkin dibatalkan begitu saja.” Ucap Farah yang berusaha menenangkan calon besannya itu.
“Lalu siapa yang bisa menggantikan putrimu yang sembrono itu?!” Laras menatap Farah dengan ketus.
“Sepupunya Putri. Namanya hampir sama, jadi seharusnya para tamu undangan tidak akan terlalu notice dengan perubahan nama itu, walau keluargaku dan kerabat pasti akan menyadarinya, namun aku bisa mengatasi itu nanti.” Ucap Farah dengan tenang walau ada kekesalan di hatinya.
“Dia bersedia?” Tanya Fairuz, ayah dari Dipta dengan nada yang sanksi.
“Atau kita tetap nikahkan Dipta dengan Putri? Dia hanya akan mewakili Putri saja?” Tanya Farah yang tiba-tiba terpikirkan ide itu, wajahnya terlihat lebih cerah.
“Tidak! Aku akan menikahi wanita itu sesuai dengan namanya.” Itu suara Dipta yang mengatakannya dengan tegas. Dia tidak akan membiarkan pernikahannya kembali dipermainkan oleh keluarga dari calon istrinya yang tiba-tiba kabur.
“Kamu ini tidak tau kesalahan kamu ya? Kamu sudah melempar kotoran ke wajah kami. Keluarga Danadyaksa. Dan demi kepentingan kamu yang ingin tetap menjadi besan kami, kamu mengatakan hal gila itu. Saya tidak bisa menerimanya Ibu Farah. Dipta akan tetap menikah dengan sepupunya Putri.” Ucap Surendra, yang paling tua di antara mereka. Wajah tampan itu terlihat menahan kekesalan.
“Saya bukan menawarkan ide gila! Tapi sepupu Putri bukan bagian dari keturunanku, dia hanya rakyat jelata, anak yatim piatu yang kami angkat menjadi anak.” Ucap Farah dengan lantang, membuat Laras membulatkan matanya pun sebagian orang yang ada di sana.
“Setidaknya dia mau mempertanggung jawabkan kebodohan saudaranya yang tidak bertanggung jawab itu. Dipta, kamu setuju tetap menikahinya kan? Mengucap namanya saat ijab qobul?” Kini Dania menatap dalam pada cucunya itu yang terlihat kacau dengan kejadian yang tak terduga, namun sekacau apapun dia harus tetap melanjutkan acara itu sampai selesai.
“Siapa namanya?” Tanya Dipta, membuat Raharja langsung menyodorkan secarik kertas yang berisi nama lengkap mempelai wanitanya.
Nadhira Saki Kusumadiningrat
“Jangan sampai salah. Ucapkan dengan benar. Kamu menikahi Nadhira Saki Kusumadiningrat bukan Nadindra Putri Kusumadiningrat. Saya yang akan menikahkan kalian berdua.” Ucap Raharja yang suaranya terlihat lebih tenang.
Dipta memejamkan matanya, seolah meyakinkan hatinya jika ini adalah keputusan baik yang menyangkut banyak orang yang harus dia ambil.
Dia lalu mengangguk dan menuju keluar untuk melanjutkan prosesi pernikahan dari ijab qobul sampai dengan resepsi dan beberapa adat yang memang telah direncanakan.
Keduanya keluar dari ruangan masing-masing, saat itulah mereka akhirnya saling menatap satu sama lain dengan pikiran yang penuh. Keduanya hanya saling mengangguk, lalu melanjutkan langkahnya. Saki didampingi oleh Bude Nur, sedang Dipta didampingi oleh Ayahnya.
Dipta membaca lagi nama di secarik kertas itu saat telah duduk di meja akad. Wanita di sampingnya masih menunduk, dengan kedua tangan yang saling bertaut dan Dipta melihat tangan itu sedikit gemetar.
Wanita itu bagaimana bisa mau bertanggung jawab atas kekacauan yang dibuat sepupunya? Apakah karena status keluarganya? Siapa yang tidak ingin menjadi menantu dan bagian dari keluarga Danadyaksa?
“Sudah siap, Mas Dipta?” Tanya Raharja yang kini menggenggam tangan Dipta dan tersenyum dengan anggukan kepala. Di depannya dia melihat keponakannya itu masih menunduk.
Saat disodorkan mic oleh salah satu staff wedding organizer, Raharja menggelengkan kepalanya dan dengan maksud meminta ijab qobul itu tanpa menggunakan mic. Dipta memahami, ini untuk meredam perubahan nama dari calon mempelai wanita.
Farah sudah akan protes, namun Laras yang duduk di sebelahnya menahan tangannya dan menatap tajam pada wanita itu. Menurutnya apa yang dilakukan Raharja sudah sangat tepat. Tapi menurut Farah, jika seperti itu, seharusnya Dipta tetap menikahi Putri saja, menyebut nama putri dalam ijab qobul sebagai mempelai wanita! Dia bisa mengambil gadis mana pun untuk dijadikan boneka pengantin yang bisa dia bayar berapa pun!
Tatapan Farah begitu tajam pada suaminya! Kenapa suaminya tidak mengatakan apa yang akan dilakukannya itu?! Sial! Bagaimana suaminya itu mengambil keputusan sendiri?! Tatapannya semakin nyalang! Dia merasa kecolongan dua kali!
“Saya nikahkan dan kawinkan Engkau saudara Arjuna Dipta Danadyaksa bin Fairuz Danadyaksa dengan keponakan saya yang bernama Nadhira Saki Kusumadiningrat binti Bayu Nugroho dengan mas kawin berupa tujuh belas gram emas dan uang tunai sebesar tujuh puluh juta rupiah dibayar tunai.” Ucap Raharja dengan lancar walau hatinya penuh kekhawatiran akan masa depan keponakannya.
Sedang Saki yang mendengar itu mendongak, dia menatap Pakdenya dengan tatapan yang berkaca-kaca, Pakdenya menikahkannya dengan namanya dan nama Ayah kandungnya. Pakdenya menikahkannya agar dia benar-benar sah menjadi istri pria di sampingnya kini.
“Saya terima nikah dan kawinnya Nadhira Saki Kusumadiningrat binti Bayu Nugroho dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
“Bagaimana saksi?”
“Sah.”
“Sah.”
“Alhamdulillah.”
Air mata Saki menetes, dia benar-benar telah berubah menjadi seorang istri? Istri dari Ah, Saki tidak memperhatikan nama lengkapnya tadi, terlalu terkejut dengan tindakan pakdenya. Dia menatap Pakdenya dengan mata yang berkaca-kaca, dan pakdenya membalasnya dengan tatapan yang penuh kasih.
“Cium tangan suamimu, Nduk.” Ucapnya membuat Saki membalikkan badannya kini menghadap Dipta, wajahnya masih menunduk dan tangannya terulur untuk mencium tangan Dipta.
Hingga dia merasakan uluran tangannya bersambut, yang diikuti usapan lembut di kepalanya dan juga sebuah doa yang dia aminkan.
“Nduk, tugas Pakde telah selesai mengantarmu sampai pada pernikahan. Insya Allah ada hikmah dibalik pernikahan ini. Pakde berterima kasih karena kamu telah menyelamatkan Pakde hari ini.” Ucap Pakde Raharja membuat Saki tidak bisa menahan lagi air matanya.
“Pakde…” Bisik Saki yang tidak tau harus mengatakan apa.
“Masih banyak acara yang harus kalian lakukan setelah ini. Nak Dipta, walau pernikahan ini tidak sesuai dengan impian dan rencana kita. Namun Om titip keponakan Om ya, Insya Allah dia wanita yang baik.” Ucap Pakde Raharja dengan tatapan yang tulus. Untuk pertama kalinya, Saki memberanikan diri menatap wajah pria yang telah menjadi suaminya, dan dia bisa melihat pria itu hanya menyungging senyum tipis, Saki tidak bisa membaca ekspresi pria itu.
Nyatanya cuti satu hari yang dia rencanakan kandas begitu saja. Padahal dia sudah memesan tiket pesawat untuk keberangkatan jam tiga sore, karena dia hanya akan menghadiri akad dan ikut resepsi sebentar lalu pulang lagi ke Jakarta jam tiga sore.
Namun, ceritanya telah berbeda, dialah yang menjadi mempelainya, tentu dia harus mengikuti seluruh rangkaian acara hingga selesai.
Tidak banyak kesempatan Saki untuk bisa mengobrol dengan pria yang telah menjadi suaminya itu karena begitu banyaknya tamu undangan yang datang.
Acara selesai sekitar pukul dua belas malam. Saki baru masuk ke kamar pengantin yang seharusnya menjadi kamar Putri, baru saja dia akan merebahkan tubuhnya karena merasa punggungnya akan patah.
Saki jadi tau nama pria itu adalah Dipta karena banyak tamu undangan yang memanggilnya demikian.
Pintu kamar terbuka, membuat Saki mengurungkan niatnya untuk rebah di ranjang. Mereka bahkan secara teknis belum berkenalan satu sama lain.
“Kita akan pulang ke Jakarta sekarang, bersama keluargaku. Kamu juga tinggal di Jakarta kan?” Tanya Dipta tanpa basa-basi, membuat Saki hanya mengangguk kaku. Ini jam dua belas malam. Mereka belum istirahat, kenapa buru-buru sekali? Saki juga baru akan mengirim email kepada bosnya meminta tambahan jatah cuti.
“Tidak ada jadwal penerbangan jam segini.” Ucap Saki, entah kenapa hanya itu yang bisa Saki ucapkan.
“Ada pesawat pribadi keluargaku. Lima belas menit cukup untuk kamu bersiap?” Tanya Dipta lagi, pria itu menatapnya lekat, lalu mendekat, membuat Saki reflek mundur.
“Aku bantu melepas pernak-pernik di kepala kamu. Biar cepat.” Ucap Dipta yang kini mulai melepas satir juga bunga melati yang melekat di jilbab Saki. Saki tidak lagi bergerak, tapi jantungnya rasanya mau copot. Pria ini sangat gesit dan terlalu tiba-tiba, hingga Saki tidak memiliki persiapan untuk hatinya.
“Well done. Gantilah bajumu, aku akan mengemas barang-barangku.” Ucap Dipta lalu beranjak dari sana, Saki masih terdiam. Namun otaknya masih berfungsi untuk tetap bergerak menuju kamar mandi dan mengganti baju yang membuatnya kesusahan bergerak itu.
Tidak ada tatapan permusuhan atau kebencian yang Saki lihat dari tatapan Dipta.
Bahkan ucapan menyakitkan seperti menuduhnya memanfaatkan pernikahan ini karena dia menikahi keluarga terpandang. Atau mungkin belum?
Saki tidak bisa, belum bisa menyimpulkannya sekarang.
Untuk membaca karakter pria asing yang telah menjadi suaminya, Saki masih belum mampu.
Selama bersiap untuk kembali ke Jakarta, pikiran Saki dipenuhi oleh satu nama.
Hingga pintu kembali diketuk dan saat Saki mempersilahkan Dipta membuka pintunya, sekelebat dia bisa melihat tatapan Dipta yang melembut dan terasa menenangkan di hati Saki untuk sepersekian detik, pun hal itu membuat Saki tersentak dengan respon hatinya sendiri.
Kenapa pria itu tidak memperlihatkan satu pun kemungkinan yang Saki pikirkan sejauh ini?