Bab 1 | Mendadak Jadi Pengantin

1567 Words
Langkah kaki wanita itu terlihat pelan sejak turun dari taksi yang mengantarnya pulang ke kampung penuh kenangan hingga masa remajanya. Dari jarak lima meter ke tempat yang dia tuju, sudah terdengar begitu ramai suara musik Jawa juga kemegahan dalam sebuah hajatan pernikahan itu. Bibirnya menyungging senyum, dia bisa membayangkan semewah dan semegah apa pesta pernikahan yang digelar itu. Budenya masih merupakan keturunan ningrat. Memiliki silsilah yang tersambung dengan keluarga keraton Yogyakarta, jelas pesta pernikahan itu digelar begitu meriah dan mengikuti setiap adat yang ada. Wanita itu -Saki- jadi membayangkan selelah apa menjadi sepupunya -Putri.- yang harus mengikuti serangakaian upacara adat. Ah, jika dia menikah nanti dia hanya menginginkan intimate wedding. Dia sengaja datang di hari akad dan resepsi, agar besoknya bisa langsung kembali ke Jakarta karena dia hanya mengambil cuti satu hari. “Mbak Saki … Ya Allah … Alhamdulillah kamu pulang. Dari tadi Pakde Raharja terus menanyakan Mbak sudah sampai atau belum.” Wanita yang menjadi salah satu asisten rumah tangga di tempat Budenya itu menatapnya dengan haru dan menyentuh tangannya, seolah benar-benar merasa bersyukur dengan kehadiran Saki. “Assalamualaikum, Mbok Sri. Apa kabar?” “Waalaikumsalam. Baik, Mba. Alhamdulillah. Tapi sepertinya di dalam sedang tidak baik.” Suara wanita paruh baya yang bertubuh gempal itu terdengar sedih, lalu mendekat pada Saki untuk membisikkan sesuatu. “Den Ayu Putri menghilang, Mbak. Tadi jam tiga pagi kamarnya diketuk untuk membangunkannya karena perias sudah datang, namun justru tidak ada di kamarnya. Tidak ada surat atau apapun. Tiba-tiba saja menghilang.” Ucapan Mbok Sri membuat Saki terperanjat. “Bagaimana bisa, Mbok? Putri menikah dengan pria pilihannya kan? Bukan perjodohan? Kenapa bisa tiba-tiba hilang?” Tanya Saki dengan nada yang juga berbisik. “Iya Mbak, itu adalah suami pilihan Den Ayu, sudah datang melamar enam bulan lalu. Keluarga mempelai pria sudah datang sejak satu jam yang lalu, dan mungkin di dalam mereka sedang berdiskusi. Rasanya acara tidak mungkin dibatalkan, Mbak. Saya dengar keluarga prianya juga merupakan orang berpengaruh, ada sekitar tiga ribu undangan yang datang di acara resepsi ini. Belum di hari-hari sebelumnya.” Ucap Mbok Sri lagi dengan tatapan yang juga bingung namun penasaran apa yang akan terjadi dan bagaimana masalah ini selesai. Saki yang mendengarnya hanya bisa meringis, membayangkan bagaimana wajah Pakde dan Budenya pasti sangat kecewa dan buntung menghadapi ini. “Saki …” Panggilan itu membuat Saki mendongak, itu saudara Budenya, menatapnya lekat dan memanggilnya dengan gerakan tangan meminta untuk mendekat pada wanita tua itu. “Assalamualaikum, Bude Nur. Apa kabar?” “Buruk. Sudah cepat kamu masuk, Budemu mau bicara.” Dengan sedikit kasar Bude Nur menarik Saki untuk mengikutinya, membuat Saki menghela napasnya panjang, bertemu dengan keluarga Budenya selalu menjadi hal yang sangat ia hindari sejak dulu. Namun, dalam keadaan seperti ini, bagaimana dia bisa menghindar? Saki masuk ke salah satu ruangan, itu kamar pengantin, yang membuat Saki menelan ludahnya susah payah. Ada Budenya di sana juga Pakdenya dan beberapa orang yang sebagian dia kenal sebagiannya lagi tidak. Bude meminta semua orang di sana keluar dengan nada yang garang, sedang Pakde terduduk lesu di tepi ranjang yang sudah dihias begitu indah, dengan kelopak bunga mawar di tengah yang membentuk love. Bude Farah menatapnya dengan tajam. “Kamu ingat kan hutang kamu sangat besar kepada kami? Hutang yang membuat kamu bisa hidup sampai saat ini. Kamu saya besarkan, saya sekolahkan bahkan saya angkat menjadi anak saya tanpa sepeser pun uang yang ditinggalkan oleh orang tua kamu. Sudah seharusnya kamu membayar semua itu, dan semua itu tidak bisa diganti dengan uang. Harus dengan sesuatu yang lebih berharga daripada uang. Hidupmu!” Ucap Bude Farah dengan nada yang penuh amarah. Saki sudah ketar-ketir, apa yang diinginkan oleh Budenya? Apakah ini ada hubungannya dengan yang diucapkan oleh Mbok Sri? “Apakah Putri benar-benar pergi, Bude?” Tanya Saki, namun justru tamparan yang dia terima. “Buk. Jangan kasar pada Saki.” Pakde Raharja datang dan mencekal tangan istrinya. Saki hanya meringis dengan senyum yang miris, rasanya sudah lama sekali tidak mendapatkan tamparan ini. “Bude ingin aku melakukan apa untuk membereskan kekacauan ini?” Tanya Saki to the point. Mendengar itu membuat Bude Farah tersenyum sinis. “Menikah dengan calon suami Putri, dan kamu harus bercerai dengannya saat Putri kembali! Dia hanya titipan dan harus kamu kembalikan kepada pemilik aslinya!” Ucapan Bude Farah lebih seperti ultimatum yang mengejutkan Saki, dia menatap pada Pakdenya yang memberikan tatapan iba, namun Saki menemukan jawaban jika artinya memang Pakde nya juga telah mengetahui rencana ini. Saki memejamkan matanya. Inikah yang harus dia bayar sebagai ‘hutang kehidupan’ yang selalu diwanti-wanti oleh budenya itu? “Kurang ajar! Seharusnya keluarga Danadyaksa hanya akan menikahi keturunan sah Kusumadiningrat! Bukan kamu yang hanya memiliki darah rakyat jelata! Ingat ini, Saki! Kamu tidak pantas sama sekali bersanding dengan pria itu! Dia hanya pantas bersanding dengan Putri! Putri hanya menitipkannya sebentar kepadamu! Dan kamu harus segera mengembalikannya saat sang pemilik asli telah kembali!” Bude Fara mengatakannya penuh dengan penekanan, seolah meminta agar Saki mengingat dengan baik setiap kata yang diucapkan oleh wanita paruh baya itu. Benarkah ini adalah balasan ‘hutang kehidupan’ yang setimpal? Tapi pernikahan yang dia bayangkan bukan seperti ini. Yang dia inginkan adalah menikah dengan orang yang dicintainya, berkasih sayang dan saling menenangkan satu sama lain. Sakinah, Mawaddah, Warahmah seperti yang dia lihat ada dalam kehidupan rumah tangga Ayah dan Ibunya puluhan tahun silam. Bisakah dia membayar dengan cara yang lain? Namun adakah cara lain itu di kemudian hari? Dia juga ingin segera membayar ‘hutang kehidupan’ yang selalu diungkit-ungkit budenya itu, yang menjadi beban tersendiri untuknya. Beban yang tidak bisa ia ungkapkan kepada siapa pun, karena dia tidak memiliki siapa pun. “Bagaimana jika aku menolak, Bude? Aku akan membayar hutangku dengan cara lain.” Pada akhirnya Saki mencoba bernegosiasi, sekeping hatinya masih ingin memiliki pernikahan impiannya bersama laki-laki yang dicintainya. Namun justru tamparan kedua kembali dilayangkan, kini lebih perih hingga sudut bibirnya berdarah. “Anak kurang ajar! Tidak tau diri! Kamu pikir kamu memiliki pilihan, hah?! Jika aku tidak memungut kamu! Kamu sudah jadi gembel sejak lama! Tutup mulutmu dan bayar saja hutangmu!” Bude Farah menatapnya dengan tatapan yang nyalang, dan Saki tau sudah tidak ada kesempatan untuk dirinya menantang. Atau jika dia masih nekat menantang, maka mungkin Budenya akan benar-benar menjalankan ancaman yang selama ini selalu dilayangkan untuk Saki. Membongkar makan kedua orang tuanya. Masih sibuk dengan pikirannya, tangan Saki ditarik dengan kuat oleh Bude Farah. “Ratna! Cepat rias dia sebagai mempelai wanita! Yang cepat saja! Tidak perlu cantik!” Ucap Bude Farah yang mendorong Saki pada wanita asing yang tidak dikenalnya, namun wanita itu menyungging senyum pada Saki. Selama dirias, Saki hanya diam, pikirannya penuh dengan begitu banyak kejadian yang mengejutkannya. Tujuh tahun dia tidak pulang namun pulang-pulang justru akan berubah status seperti ini. Menikah dengan pria yang bahkan dia belum tau namanya sama sekali. Siapa tadi, Danadyaksa? Saki tidak mengenalnya sama sekali. No clue. Helaan napasnya panjang. Kepalanya kini juga penuh dengan pertanyaan, kenapa pria itu setuju menikah dengan wanita yang tidak dikenalnya bahkan namanya saja tidak tau. Persis sama sepertinya. Mereka asing dan tidak mengenal satu sama lain. Namun, Saki teringat dengan obrolan Mbok Sri. Jika keluarga pria itu juga berpengaruh, mungkin itulah alasan satu-satunya yang membuat pria itu terpaksa mau menikah dengan wanita asing yang bahkan belum diketahui namanya. Apalagi tadi Mbok Sri mengatakan jika ada tiga ribu undangan. Tangan Saki lihai membuka ponselnya dan mencari nama Danadyaksa di kolom pencarian internet. Semakin dia membaca, semakin dia menganga lebar membaca profil keluarga pria itu. Bukan hanya kaya, namun kelewatan kaya. Lini perusahaan keluarga pria itu bergerak di banyak bidang, pantas saja Budenya tadi mengatakan seperti itu. Saki mengulum senyumnya, apa tanggapan keluarga pria itu jika pada akhirnya putra mereka justru menikah dengan seorang anak yatim piatu, yang bukan dari keturunan darah biru dan hidup tanpa harta warisan dari orang tuanya. “Mbak …” Panggilan itu menyentak Saki dari lamunannya. Mbok Sri datang dengan mata berkaca-kaca. “Yang sabar ya, Mbak. Percaya sama Gusti Allah. Semua ini pasti ada alasannya. Terus berprasangka baik sama Gusti Allah nggih, Mbak. Mbok selalu mendoakan kebahagiaan Mbak.” Mbok Sri kini justru sudah berlinang air mata, membuat Saki juga berkaca-kaca, masih ada yang tulus menyayanginya selain Pakdenya ternyata. “Terima kasih, ya Mbok. Insya Allah Saki jalani dengan ikhlas. Terserah bagaimana Allah saja mau mengaturnya seperti apa.” Ucap Saki menggenggam tangan Mbok Sri. Dia tau semua yang terjadi pasti ada maksud dan tujuan. Saki akan menjalani sebagaimana mestinya. Jika pria itu menginginkan perceraian setelahnya, maka Saki akan menerimanya dengan lapang d**a. Jika pria itu ingin bertahan dengan pernikahan ini sambil menunggu Putri kembali, maka dia akan menjalankan sebaik-baiknya peran istri itu. Sekali pun pernikahan ini terjadi dengan cara yang konyol, Saki tidak akan mempermainkan perannya sebagai seorang Istri di hadapan Allah. Dia teringat nasihat dari Bu Tita. Istri Bosnya di kantor. Pernikahan itu antara seorang hamba dengan Allah, dan kita cukup berada di garis kita sebagai istri dan tidak melanggar apa-apa yang menjadi kewajiban kita. ‘Tenang, Saki. Semua tidak akan seburuk bayanganmu. Bukankah kamu pernah mengalami banyak hal pahit dalam hidup. Tapi hingga detik ini kamu tetap baik, kan? Maka hadapilah masalah ini sebagaimana kamu biasa menghadapi masalah-masalah kamu.’ Saki mencoba memberikan afirmasi positif untuk dirinya, hingga Ratna mengatakan jika riasannya sudah selesai dan artinya ijab qobul akan segera dilaksanakan dan dia juga akan segera bertemu pria asing yang sebentar lagi menjadi suaminya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD