Dipta datang sepuluh menit kemudian di saat Saki juga sudah siap.
“Sudah selesai? Kamu membawa barang ke sini?” Tanya Dipta, Saki langsung menggeleng. Dia hanya membawa sling bag dan tote bag yang kini sudah ada dengannya.
“Oke, ayo berangkat.”
“Tunggu, aku pamit dengan Pakde dulu.” Ucap Saki lalu keluar dari kamar, aneh rasanya mengobrol padahal mereka belum berkenalan sama sekali.
“Pakde … Mas Dipta mengajak pulang malam ini juga ke Jakarta. Apa tidak apa-apa? Bukankah masih ada serangkaian acara yang Pakde buat?” Tanya Saki menatap bingung pada Raharja.
Sedang Raharja hanya tersenyum dan mengusap lembut punggung tangan Saki.
“Tidak apa-apa. Sisa acara di sini biar menjadi urusan Pakde. Turuti suamimu saja. Pakde mendoakan untuk kebahagiaanmu. Jika kamu mengalami kesulitan telepon Pakde ya. Jangan dengarkan ucapan Budemu, kamu tau dia orang yang seperti itu. Pakde minta maaf sekali atas kekacauan semua ini Saki.”
Raharja meneteskan air matanya, membuat Saki ikut menangis dan mengangguk, Raharja langsung membawa keponakannya itu dalam dekapannya.
“Saki menyayangi Pakde. Saki pergi dulu ya, Pakde. Titip salam untuk Bude.”
“Iya, Nduk. Budemu masih ngambek di kamar dan tidak mau keluar. Pergilah, suamimu sudah menunggu.” Ucap Raharja membuat Saki melepaskan pelukannya dan menatap ke belakang melihat Dipta yang sudah menunggu di sana.
“Kami pulang dulu Om.” Ucap Dipta, keluarga pria itu sudah menunggu di mobil yang akan mengantar mereka ke bandara.
Hati Saki berdebar kencang, rasanya belum siap menghadapi keluarga besar pria itu yang pasti memiliki berbagai macam tanggapan tentangnya.
“Dipta. Lama kamu! Mama sudah muak ada di sini. Cepat naik ke mobil!” Itu suara Laras saat melihat Dipta dan Saki yang baru keluar.
“Kami akan naik mobil terpisah, Ma, Pa.” Ucap Dipta yang lagi-lagi membuat Saki terkejut. Apalagi pria itu yang langsung menggenggam tangannya dan mengajaknya masuk ke mobil.
Ada staff di sana yang membukakan pintu mobil untuk Saki. Saki mengenalnya sebagai salah satu pelayan Bude Farah, dia hanya tersenyum sewajarnya dan langsung masuk mobil.
Mobil melaju membelah jalanan Yogyakarta yang cukup lengang di tengah malam itu. Jantung Saki berdetetak keras dengan perasaan yang gugup luar biasa.
“Kamu tinggal di mana di Jakarta, Saki?” Tanya Dipta memulai obrolan, pria itu tetap fokus pada jalanan di depannya.
“Di daerah Kebon Jeruk, Mas.” Ucap Saki berusaha menahan suaranya agar tetap normal.
“Kos? Rumah atau Apartemen?” Tanya Dipta lagi, pria itu terlihat sangat tenang, berbeda dengannya yang masih mencoba mengendalikan dirinya.
“Apartemen. Menyewa tahunan.”
“Oke. Aku juga tinggal di Apartemen, daerah Sudirman, kita akan tinggal di sana untuk ke depannya. Besok aku bantu kamu ambil barang-barangmu di apartemen. Sewanya tidak usah dilanjutkan.”
“Aku baru memperpanjang bulan lalu.” Ucap Saki, membuat Dipta mengangguk.
“Mas … Nama lengkap kamu, aku lupa.” Ucap Saki jujur, mendengar itu membuat Dipta akhirnya menatap sekilas pada Saki dengan alis yang saling bertaut, namun pria itu kembali fokus ke depan.
“Arjuna Dipta Danadyaksa. Remember that, ok?”
“Oke. Arjuna Dipta Danadyaksa. Nama lengkapku …”
“Nadhira Saki Kusumadiningrat. Aku hapal.” Dipta memotongnya, membuat lidah Saki kelu, pria itu begitu mudah menghapal namanya? Apa karena pria itu yang mengucapkan ijab qabul? Sedang dia yang bagian mendengarkan jadi lebih mudah lupa, apalagi tadi pikirannya begitu penuh, bahkan hingga saat ini.
“Ya. Umur kamu, Mas?” Tanya Saki lagi, dia ingin mengetahui hal-hal dasar dari pria yang telah menjadi suaminya yang masih terasa sangat asing.
Dipta kembali menoleh padanya tatapannya begitu lekat, kali ini cukup lama karena lampu merah, Saki merasa gugup. Pria itu seperti sedang menilai dirinya.
“Tiga puluh satu. Umur kamu dua puluh tujuh kan?” Ucap Dipta lagi, membuat Saki kini balik menatapnya. Bagaimana pria itu tau? Namun lidahnya kelu untuk kembali mengajukan pertanyaan dan pada akhirnya dia mengangguk.
“Kamu mengajukan cuti berapa hari?” Kini balik Dipta yang bertanya.
“Hanya sehari, namun aku sudah mengajukan lagi tadi via email. Semoga di-acc. Seharusnya besok tidak ada hal atau meeting yang urgent.”
Saki menggeleng-gelengkan kepalanya, matanya ngantuk berat. Tapi ini kesempatan pertama untuk bisa mengobrol dengan pria itu.
“Kamu kerja di mana? Sebagai apa?”
“Di Aksara Pradiksa, Mas. Sebagai Sekertaris Direktur.” Ucap Saki menahan napasnya, menunggu reaksi Dipta, karena ratusan kali saat dia mengatakan profesinya, pasti 90% orang akan memandang setengah sinis padanya. Saki tidak menyalahkan karena memang sebagian orang memandang rendah pekerjaan itu dengan anggapan, mereka bukan hanya sekertaris yang melayani semua kebutuhan saat di kantor, namun juga di ranjang.
Namun ekspresi Dipta masih datar, membuat Saki tidak ambil pusing. Dia memejamkan matanya, masih lima belas menit untuk sampai di bandara. Dia harus mengendalikan dirinya untuk menghadapi pria di depannya. Dia tidak boleh gugup, tidak boleh grogi. Harus mengutarakan semua yang mengganjal di hatinya tentang pernikahan ini, dan meminta kejelasan tentang rencana pria itu atas pernikahan mereka.
Akan lebih baik dan mudah baginya jika pria itu cepat menceraikannya, sehingga dia bisa kembali pada hidupnya yang normal.
Dipta yang melihat Saki memejamkan matanya membuat pria itu memilih bungkam dan tidak lagi melanjutkan pertanyaan selanjutnya. Hari ini sangat melelahkan dan dia tau lebih melelahkan bagi wanita yang telah menjadi istrinya itu yang tiba-tiba telah berubah status tanpa ada persiapan apa pun.
Saat tiba di bandara, ternyata semua orang telah naik ke pesawat, membuat Dipta kembali meraih tangannya dan mengajak Saki menuju ke landasan pacu di mana seorang pria menghampiri mereka dan menunjukkan jalan di mana pesawat pribadi itu parkir.
Tangan Saki gemetar, dan Dipta merasakan itu di genggamannya, membuatnya menoleh pada wanita yang masih sulit ia baca itu.
“Tidak usah gugup. Keluargaku tidak akan melemparmu keluar.” Ucap Dipta lalu kembali menarik tangan Saki untuk mengikutinya.
Saki hanya menelan ludahnya, entah itu serius atau sarkasme, yang jelas membuat kepala Saki semakin penuh.
“Lama!” Itu suara Mba Erina, kaka sulung Dipta saat pria itu baru tiba di pesawat dengan Saki yang berdiri di belakangnya, tangan mereka yang saling bertaut membuat Erina mendecak keras.
Saki menelan ludahnya, menunduk dan memberikan senyum pada mereka yang menatapnya dengan tatapan menelisik penuh berbagai macam ekspresi, namun yang Saki tau, itu bukan ekspresi senyum, senang atau ramah, ada yang menatapnya sinis, yang memutar bola matanya jengah, yang menatapnya datar, ada yang mendecak. Membuat Saki menahan napasnya, sadar jika dia tidak diterima di sana dan pada akhirnya menunduk mengikut kemana Dipta membawanya, pria itu sama sekali tidak melepaskan genggaman tangannya.
Dipta berhenti, Saki yang masih sibuk dengan pikirannya jadi tidak fokus, hingga dia menabrak d**a Dipta yang sudah membalikkan badannya.
“Aw. Sorry, Mas.” Bisik Saki. Dipta tidak bersuara, dia mengambil totebag Saki dan meletakkannya di kabin atas.
“Duduklah.” Ucap Dipta lagi meminta Saki masuk dulu, Saki menelan ludahnya dan baru menyadari jika desain pesawat ini khusus hanya untuk kelas bisnis, dengan model dua-dua di kanan dan kiri, kursi yang luas dan nyaman, juga mewah. Saki bukannya takjub karena ini kelas bisnis, dia juga biasa naik kelas bisnis jika menemani bosnya perjalanan bisnis.
Tapi mengingat Dipta tadi mengatakan jika itu adalah pesawat pribadi, Saki menelan ludahnya susah payah. Keluarga pria ini benar-benar konglomerat? Saki harus mencari tau lebih banyak tentang siapa pria yang dinikahinya.
Tidak lama setelah mereka duduk, ada pramugari yang menyapanya dengan ramah, memberi tahukan jika mereka akan segera take off. Saki memilih kembali memejamkan matanya, lumayan satu jam untuk tidur sebelum tiba di Jakarta. Tubuhnya masih terasa remuk setelah acara pernikahan itu.
Dipta ingin tidur, namun tidak bisa, terlalu penasaran dengan wanita di sampingnya, yang terlihat sudah terlelap dengan deru napas yang teratur. Siapa wanita ini sebenarnya? Putri tidak pernah menceritakan tentang sepupunya padahal mereka bersaudara.
Dipta masih belum bisa membaca wanita itu, semuanya terlalu mendadak, dan dia perlu mengobrol lebih jauh dengan wanita itu. Dia memilih membuka ponselnya, mengecek jika ada sesuatu yang ditinggalkan Putri yang tiba-tiba menghilang. Namun semua tetap nihil, pesan-pesannya untuk wanita itu masih centang satu. Dia kembali mengingat-ingat pertemuan-pertemuan mereka dan menelaah apakah dia melakukan kesalahan yang menyakiti hati wanita itu? Namun rasanya tidak. Hubungan mereka selama ini baik, hubungan yang sehat dan Dipta memperlakukannya begitu baik.
Nyatanya, matanya yang terasa berat itu tetap tidak bisa terpejam sepanjang perjalanan. Kepalanya penuh tentang kepergian mantan calon istrinya dan wanita asing yang statusnya telah menjadi istrinya.