Saki sedang membuat salad sayur untuk stoknya beberapa hari ke depan, salad yang di-wrap dengan rice paper. Semua sayur sudah dipotong, ada jagung dan wortel yang telah direbus, kol ungu dan timun yang dipotong memanjang, juga daun selada, telur yang sudah direbus dan ayam yang sudah dimasak dengan lada hitam.
Walau tangannya sibuk, pikirannya berkelana memikirkan pria yang telah menjadi suaminya satu bulan ini.
Dipta dengan perhatiannya, dengan tanggung jawabnya, sikap lembut dan senyumnya setiap bersamanya membuat debaran itu semakin Saki rasakan, membuatnya sekuat tenaga menjaga benteng yang telah dia buat agar tidak jatuh hati pada pria itu.
Tidak pernah sekali pun, Dipta membicarakan tentang perceraian. Pernikahan mereka seperti pernikahan orang normal pada umumnya, yang menikah atas kesadaran, kemauan dan kesepakatan kedua belah pihak.
Saki takut, hatinya dipenuhi kegelisahan tentang bagaimana akhir dari hubungan mereka nanti jika pada akhirnya dia jatuh hati pada Dipta? Terlalu menakutkan untuk dibayangkan jika dia harus patah hati, dia tidak sanggup melukai dirinya lagi karena cinta.
Haruskah dia kembali membahas perceraian dengan pria itu? Setidaknya menanyakan kepastian tentang hubungan mereka ke depannya?
Dipta keluar dari kamar dan melihat Saki sudah sibuk di dapur padahal ini weekend. Dia berhenti di depan kamarnya, bersidekap dan menatap Saki yang terlihat fokus, tanpa tau jika sebenarnya kepala wanita itu sedang penuh dengan banyak hal.
Wanita itu, tidak pernah lagi membuka hijab di depannya, hanya satu kali saat kedatangan Naomi. Saki memperlakukannya dengan baik, benar-benar menjalankan perannya sebagai istri. Seperti yang dikatakan wanita itu saat hari pertama setelah mereka menikah.
Dipta merasakan betapa besar perbedaan saat dirinya bersama dengan Putri dan Saki. Perbedaan yang seolah seperti langit dan bumi.
Bersama Putri kadang membuatnya lelah, wanita itu manja, namun Dipta menyukainya, karena hakikatnya pria senang saat ada seorang wanita yang bergantung padanya. Namun saat bersama Saki, dia bisa melihat Saki selalu menolak perlakuan-perlakuan baiknya, dan itu memberikan rasa tersendiri untuk Dipta, membuatnya semakin memiliki keinginan untuk bisa memaksa Saki menerima perlakuan baiknya.
Putri selalu merajuk, meminta ini dan itu, terkadang menuntut. Dulu Dipta menyukainya, artinya wanita itu telah menggantungkan semua kepadanya, namun bersama dengan Saki, dia merasakan perbedaan yang berbanding terbalik. Wanita itu selalu mengatakan ‘aku bisa ini dan itu, kamu bisa meninggalkanku begini dan begitu.’ Seolah menolak keras setiap perhatian Dipta, Dipta jadi merasa tertantang, dan ingin memperlakukan wanita yang mandiri itu dengan sebaik-baiknya agar bisa bergantung padanya.
Dulu bersama Putri, rasanya wanita itu tidak pernah memikirkan apa yang membuat dia senang, yang dipikirkan Putri hanyalah kesenangannya sendiri. Namun dengan Saki, wanita itu, setiap hari, selalu menanyakan apa yang ingin dimakannya, apa yang dia inginkan? Apa yang bisa dia bantu kerjakan? Selalu mengajaknya mengobrol setelah makan malam. Hingga Dipta merasakan hubungan dua arah itu. Saki pribadi yang menyenangkan, bisa diajak ngobrol apapun, kadang Dipta meminta pendapatnya juga. Hidupnya terasa lebih menyenangkan dan dia merasa memiliki teman diskusi yang bisa menjernihkan pikirannya, bukan yang selalu menuntut untuk disenangkan tanpa tau kondisi.
Nyatanya, satu bulan tinggal bersama wanita yang masih enggan terbuka padanya itu, memberikan banyak pengalaman baru bagi Dipta, yang membuat dia semakin enggan melepaskan Saki, wanita yang memberikan kenyamanan yang tidak pernah Dipta rasakan saat menjalin hubungan.
Nadhira Saki … Dipta rasa dia tidak ingin kehilangan wanita ini.
“Hai, sedang membuat apa?” Tanya Dipta yang membuat Saki terkejut.
“Mas?” Sakit sedikit tersentak. Wanita itu telah selesai menggulung rice paper yang sudah berisi sayur-sayuran dan protein.
Dipta menatapnya penuh minat, belum pernah dia melihat Saki membuat itu. Saat Saki memotong gulungan rice paper itu menjadi dua bagian. Dipta bisa melihat jika semua isinya sayuran.
“Ini salad sayur, Mas. Mau coba?” Saki menawarkan dengan wajah yang senang, sedang Dipta yang tidak terlalu menyukai raw food hanya menggeleng dengan tatapan enggan.
“No, thank you.”
“Ih coba dulu. Ini enak dengan saos wijen sangrai. Coba dulu sekali saja. Ini sehat dan enak.” Saki lalu menuangkan saos wijen ke atasnya lalu memberikannya pada Dipta masih dengan raut senang.
Melihat wajah Saki membuat pria itu jadi tidak tega, dengan rasa enggan dia tetap memakannya. Langsung menggigitnya dari tangan Saki yang membuat wanita itu terkejut.
Dia tadi berniat memberikan potongan itu kepada Dipta, tanpa diduga pria itu justru langsung menggigitnya dari tangannya, padahal dia tidak berniat menyuapinya. Masih sisa setengah di tangan Saki.
Dipta menggigitnya, mengunyahnya dengan raut yang masih menebak-nebak rasanya.
“Oh my god! Ini … enak! Ada telur rebusnya?” Tanya Dipta dengan raut terkejut, padahal tadi dia melihat itu hanya sayur-sayuran yang belum matang.
“Iya, ada.”
“Ada ayamnya juga? Oh Saki … Ayamnya enak sekali. Saus wijennya juga enak. Bagaimana bisa makanan sehat jadi seenak ini?” Dipta semakin takjub, tangan wanita itu yang sepertinya memang ajaib.
Dipta kembali memajukan wajahnya dan memakan sisa setengahnya yang masih ada di tangan Saki.
“Atau mungkin terasa lebih enak karena kamu menyuapiku?” Tanya Dipta mengulum senyumnya saat Saki justru salah tingkah.
“Mas … Itu memang enak. Bukan karena suapanku. Lagian aku tidak berniat menyuapimu, kok. Sumpah!” Saki memberikan tanda peace. Kembali sibuk dengan pikirannya yang negatif.
“Kamu menyuapiku juga tidak apa-apa. Aku senang-senang saja.” Ucap Dipta semakin menggoda Saki.
“Kenapa senang?”
Dipta terkekeh dengan pertanyaan Saki. Wanita itu selalu menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu mendapatkan jawaban.
“Ya kan diperhatiin istri.”
“Hah?”
Saki jadi bingung sendiri, namun Dipta justru terkekeh dan menepuk bahu wanita itu. Lalu beranjak untuk membuat kopi untuk dirinya, pagi ini dia menginginkan kopi.
“Mas …” Panggil Saki membuat Dipta menoleh.
“Iya..” Suara Dipta begitu lembut, jangan lupakan senyum pria itu. Hati Saki jadi ketar-ketir melihatnya.
Sebenarnya dia enggan mengatakan ini, namun sepertinya mengajak Dipta adalah pilihan yang tepat.
Minggu lalu dia mendapat undangan pernikahan dari teman kuliah yang cukup dekat dengannya. Dia mendapat undangan dari mempelai wanitanya, dan dia juga tau jika mempelai prianya adalah teman dari mantannya. Langit. Dia yakin Langit juga pasti datang ke sana. Mantannya itu, walaupun sudah menikah dengan selingkuhannya masih terus mengganggu Saki dan mengiriminya pesan-pesan menjengkelkan, hanya saja Saki tidak pernah menceritakannya pada siapa pun.
“Ada apa, Saki?” Tanya Dipta saat melihat Saki justru diam setelah memanggilnya.
“Besok ada acara?” Tanya Saki lagi, wanita itu menggigit bibir dalamnya. Setidaknya jika dia membawa Dipta, Langit tidak akan mendekat dan macam-macam.
“Tidak, kenapa?” Dipta kini mendekat dengan cangkir kopi di tangannya.
“Bisa temani aku ke resepsi pernikahan temanku besok?”
“Tentu, Saki. Kenapa tegang begitu? Kamu bisa memintaku menemanimu ke mana pun.” Dipta menyentil ringan kening Saki saat melihat wajah wanita itu begitu tegang.
“Thanks, Mas.”
“Anytime.” Dipta lalu duduk di sana, Saki mengemas salad sayurnya ke dalam container dan memasukkannya dalam kulkas.
Wanita itu lanjut ingin membuat sarapan.
“Mas…”
“Saki …”
Keduanya memanggil bersamaan, membuat mereka terkekeh.
“Kamu dulu.” Ucap Dipta sambil menyesap kopinya.
“Mas mau sarapan apa?” Dipta sebenarnya sudah menduga pertanyaan itu, wanita itu selalu menanyakan apa yang ingin dimakannya.
“Sop ayam dengan sambal tomat dan tempe goreng boleh?” Ucap Dipta karena dia sedang menginginkan itu.
“As your order, Sir.” Ucap Saki dengan senyumnya dan mengambil bahan-bahan di kulkas. Dipta tertawa mendengar jawaban Saki.
“Tadi Mas mau tanya apa?”
“Besok, aku mau bawa salad sayur itu ya untuk bekal hari Senin, boleh aku memintanya?” Dipta meringis dengan senyum yang manis, seolah ingin menyogok Saki dengan senyumnya agar wanita itu mau membagi makannya.
“Sure, Mister. That was made for you.”
Ah, sial! Kenapa Saki terlihat manis pagi ini setiap menyanggupi keinginannya!
“Hari ini mau groceries?” Tanya Dipta membuat Saki mengangguk. “Mau jam berapa? Kamu tidak shopping? Aku tidak pernah melihat kamu shopping.” Ungkap Dipta jujur, karena selama sebulan ini setiap weekend wanita itu sibuk dengan laptopnya, Dipta pernah bertanya kenapa wanita itu tetap bekerja, ternyata Saki juga mengambil side job sebagai virtual assistant, bukan hanya di weekend, wanita itu kadang mengerjakannya after office hour.
Saat itu Dipta pernah mendengar dari luar kamar wanita itu yang sedang meeting jam sepuluh malam. Saat pagi dia bertanya, Saki mengatakan jika mengerjakan project dari side job-nya yang memang telah dia tekuni sejak setahun terakhir.
Dari sana dia menyadari jika Saki sangat workaholic.
“Groceries saja, Mas. Aku tidak ingin membeli apapun.” Ucap Saki membuat Dipta mengangguk. Dia juga jadi mengetahui jika wanita itu tidak suka shopping, tidak suka membeli girl things karena lapar mata. Padahal Dipta sudah memberikan ATM untuk wanita itu, satu ATM untuk kebutuhan rumah tangga mereka dan satu ATM untuk kebutuhan pribadi wanita itu.
Tapi kemarin saat asistennya memberikan laporan keuangannya, transaksi di ATM untuk kebutuhan wanita itu kosong. Tidak ada transaksi apapun.
“Kamu workaholic ya, juga sangat hemat.” Ucap Dipta membuat Saki terkekeh.
“Aku kerja seumur hidup juga tetap tidak bisa mengalahkan kekayaan Danadyaksa.” Canda Saki yang membuat Dipta terkekeh.
“Tidak perlu mengalahkan, kamu akan dapat bagian, kan suami kamu pewaris kekayaan Danadyaksa.” Dipta menjawabnya dengan candaan yang sebenarnya serius. Saki hanya tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya.
“Kenapa kamu sampai harus mengambil side job? Gajimu tidak kurang untuk memenuhi kebutuhanmu, kan?” Dipta jadi penasaran, pria itu tau sedikit banyak perkiraan gaji seorang sekertaris.
“Kan sudah kubilang untuk memperkaya diri.”
Mendengar itu membuat Dipta menggeleng, wanita itu sulit ditebak.
“Kenapa tidak suka belanja? Biasanya wanita belanja minimal seminggu sekali, membeli tas, sepatu, baju and so on.”
“Itu karena kamu biasa dikelilingi oleh wanita yang seperti itu kali, Mas. Tidak semua wanita belanja tiap minggu. Cape Mas kalau menuruti napsu belanja.” Ucap Saki, kini sedang memotong-motong kentang menjadi bentuk dadu, wortel yang dibuat potongannya menyerupai bunga.
“Tapi sebagian wanita menjadikan itu kesenangan.”
“Ya, sebagian lagi merasakan lelah karena terus melakukan itu seperti tidak ada habisnya.”
“Anyway, Naomi mengirim pesan padaku, Mas. Katanya akan ada makan malam di rumah Eyang? Benar?” Tanya Saki dengan nada yang sanksi, pasalnya pria itu belum mengatakannya.
“Mas?” Panggil Saki menunggu jawaban pria itu, kenapa pria itu tidak memberi tahunya lebih awal? Apakah Dipta enggan membawanya ke acara keluarganya karena memang pernikahan mereka tidak memiliki masa depan?
Seharusnya Saki sudah menduga itu, bukankah itu yang sejak awal dia tanamkan dalam hati. Untuk tidak memiliki harapan apapun atas pernikahan ini. Namun kenapa dia masih tetap merasakan kecewa saat pria itu secara nyata mengungkapkan ketidak inginannya dia ada dalam acara keluarga pria itu?
Dipta terdiam, menatap lekat pada wanita itu. Ini adalah acara keluarga pertama yang akan dihadiri oleh Saki. Mungkin wanita itu telah merasakan jika keluarganya belum menerimanya kecuali Naomi.
Entah kenapa, Dipta khawatir, khawatir jika ucapan-ucapan Mamanya dan keluarganya di sana nanti akan melukai Saki yang tidak memiliki salah apapun.
Tapi jika dia tidak datang atau tidak mengajak Saki, maka sampai kapan ini akan terus berlarut? Dipta harus menghadapinya dengan Saki.
“Iya, masih minggu depan. Aku baru akan memberi tahumu nanti-nanti. Sepertinya kamu butuh belanja untuk membeli baju baru? Lagian uangku sebagai nafkah belum kamu pakai, Saki.” Dipta memberi penekanan pada wanita itu.
Ucapan Dipta membuat Saki terdiam, benarkah pria itu akan benar-benar mengatakannya? Atau pria itu mengatakannya karena Saki membahas hal ini?
“Oke, nanti aku pakai untuk membeli baju untuk makan malam minggu depan.” Ucap Saki pada akhirnya, enggan untuk bertanya lebih lanjut.